Thursday, December 22, 2016

Perempuan



Ibu, Emak, Bunda, Mbok, Mama, Mami, Mamak, Mommy, Mom. Ibu tetaplah ibu. Perempuan yang terlahir dari rahim seorang perempuan pendahulunya. Sumber kehidupan bagi siapa saja yang mau hidup di bawah naungannya. Celakalah engkau wahai anak-anak jika berani menghabisi hatinya, begitu petuah-petuah disampaikan.

Di telapak kakinya tersimpan surga. Bagian tubuh lainnya tersimpan kehidupan, kesuburan, keindahan, dan hal-hal yang tak akan kau kira ada di sana.

Barangkali ia hanya takjub kepada anak-anaknya. Yang dikasihinya, yang dicintainya. Tak pernah ia akan menyangka bahwa anak-anaknya yang dahulu tinggal di dalam perutnya akan menjadi orang yang ia selalu harapkan akan memiliki hidup lebih baik dari dirinya.

Barangkali juga ia telah miliki sebentuk perasaan yang ia simpan dan siapkan untuk anak-anaknya. Bahkan sebelum ia menemukan ayah untuk mereka. Ia lahirkan anak manusia untuk ia cintai, meski ia tahu cinta yang ia berikan tak akan kembali sama banyaknya.

Barangkali perempuan dilahirkan untuk merasakan banyak cinta yang bertepuk sebelah tangan. Agar nanti ketika menjadi ibu, ia sudah terbiasa. Mencintai semua anak-anaknya, tanpa perlu dibalas dengan cinta yang sama penuhnya.


rahamnita, 2016
ditulis karena selalu kagum dengan makhluk bernama perempuan.
dan di-post karena tanggalnya pas.

Friday, October 21, 2016

Tembok

Ada yang hampir pergi setelah lama menetap hampir tujuh tahun di suatu tempat. Selama tujuh tahun itu, kami banyak mencipta. Mimpi-mimpi, teori-teori, bahasa-bahasa kesepakatan, kebahagiaan, cerita, dan percakapan. Termasuk tembok beton yang tebal, tinggi, dan kokoh. Sebab yang mendasari tembok ini dibangun adalah agar apa yang ada di dalam tembok itu tidak diusik oleh manusia-manusia di luar, dan apa yang ada di dalamnya tak boleh pergi. Saya telah ceritakan tentang makhluk-makhluk ganas yang tak dapat ia bayangkan.

Suatu ketika, saya sadar bahwa yang selama ini saya kurung di tembok itu adalah diri saya sendiri dan sesosok kekosongan. Saya pernah memutuskan untuk menyudahinya. Namun saya terjebak di dalam tembok tinggi yang telah saya bangun sendiri. Selama itu pula saya tak pernah tahu apakah ada yang berusaha menghancurkan tembok yang saya bangun itu. Saya terlalu lama menetap di dalam dan tak ada jendela untuk melihat ke luar.

Pernah suatu hari saya memiliki keyakinan bahwa yang dapat menghancurkan tembok itu adalah manusia terpilih. Dengan hanya disentuhnya saja, tembok itu akan hancur dengan sendirinya. Bukan seorang pemuda sakti dengan segala peralatannya.

Beberapa hari yang lalu, tembok itu hancur. Saya tak tahu apakah ada yang menyentuhnya atau itu kehendak saya yang dari dalam. Dan sosok kosong yang selama tujuh tahun itu pergi. Tak pernah sedikitpun saya berusaha mencari. Masih ada sisa-sisanya yang menetap. Tapi jika sosoknya pergi, sisa-sisa tersebut tak ada yang menggerakan.

Namun setelah tembok itu hancur, saya masih enggan ke mana-mana untuk berpetualang. Saya enggan jatuh cinta. Telah banyak cerita-cerita terdengar di telinga saya tentang kawan yang masuk ke jurang karena jatuh cinta.

Ada yang harus merelakan semua isi kepalanya diisi oleh pria yang ia inginkan namun tak menginginkannya; ada yang harus merugikan temannya; ada yang harus memutus pertemanan karena ia telah buta dan amat menginginkan si pria; ada yang harus memutus pertemanan karena si pria tak suka dengan teman kekasihnya, atau sebaliknya; ada yang harus ingkar janji kepada temannya karena menuruti seseorang yang baru dikenalnya sepuluh hari.

Gila.
Saya tak mau kehilangan pertemanan karena saya.

Selain itu saya tak mau menangis sia-sia. Tak ada ruang dan waktu untuk itu. Saya tak mau patah hati nantinya.

Maka saya memutuskan untuk tinggal saja di ruang terbuka ini. Diam dan ketakutan, barangkali. Karena saya tak tahu menahu tentang dunia di luar tembok.

Siapa saja yang berkenan masuk, tolong bantu saya. Mintalah izin. Jangan sampai saya mengusir orang yang ingin menetap lama di sini, atau malah mengizinkan orang untuk menetap lebih lama padahal ia hanya bertandang untuk minum teh.

Barangkali saya harus membuat tembok itu lagi. Atau harus ada yang saya manipulasi untuk itu.

Wednesday, October 5, 2016

Perangception

Saya mau cerita. Kali ini tentang seorang pria. Dan ini kisah nyata.

Saya baru saja sampai rumah dari menonton film ketika cerita ini ditulis. Film yang saya tonton adalah Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children. Di tengah-tengah cerita saya menangis. Saya kangen dengan kakek saya.

Tidak hanya sampai di situ. Seusai film, saya masih menangis, namun selalu saya tahan. Sayangnya, saya menonton sendirian, dan ponsel pintar saya mat Saya tak bisa menghubungi siapapun untuk laporan bahwa saya kangen dengan kakek. Atau setidaknya menyalakan musik agar saya sedikit lupa akan apa yang saya rasakan.

Maka yang saya lakukan selama berjalan menuju ke tempat parkir sepeda motor adalah: menunduk, berjalan cepat, terus mengusap air mata yang sudah berusaha saya lawan agar tidak keluar, dan membuat tangan sibuk (dengan membuat kepalan kuat, meremas ujung jaket, atau memainkan kunci motor). Otak saya lagi perang sama otak. Otak perang sama hati. Masa lalu perang sama masa sekarang. Perangception.

Awalnya seperti tertarik ke pusaran waktu. Semua ingatan, keputusan, dan sebab-sebabnya berputar secara bersamaan dalam otak. Seperti sengatan, menyerang hanya dalam kurung waktu sedetik. Semua hal-hal yang berhubungan dengan kakek hadir. Saya pernah bercerita tentang kedua kakek saya di sini dan di sini.

Lalu saya berpikir bahwaq selama saya mebuat sosok Galang karena saya membutuhkan kehadiran seorang kakek dalam hidup. Barangkali kami dapat bercengkrama seperti Abe dan Jake. Fase tentang kakek ini sebut saja fase K.

Galang dan kakek (dari pihak ibu). Saya pikir keduanya memiliki beberapa kesamaan. Sama-sama tak pernah bertemu secara fisik (sebelum Lebaran 2014), sering saya rindukan, dan sering saya fantasikan. Saya kalut, bingung, takut. Tentu saja saya boleh menangis, kan? Saya rindu kakek dan saya boleh menangis.

Namun secara bersamaan, saya meniolak untuk menangis. Saya yang lain menolak untuk menangis. Saya jalan sendiri, bertemu dengan orang-orang untuk turun dari bioskop. Lantas apakah saya akan membiarkan mereka untuk melihat saya menangis? Membiarkan mereka menanyai saya, “Kenapa, Mbak?”?

You’re okay. You’re okay. Begitu saya ucapkan berulang-ulang kepada saya ketika berada di dalam lift, dengan ketakutan dan kekacauan yang terjadi di otak seperti yang saya ceritakan di atas.

Keluar dari lift dan berjalan menuju tempat parkir, selain memutar fase K, saya juga ingin menangis, saya juga melarang diri saya untuk menangis. Semua datang bertumpukan sekaligus bergantian. Hasilnya begini : sebentar saya menangis, sebentar kemudian saya memasang muka datar seolah tak terjadi apa-apa, lalu tak lama saya menangis kembali dengan isi kepala fase K.

Sesampainya di motor, saya kembali menangis. Namun saya yang lain menolaknya. Ini sudah malam, ujar saya yang lain. Saya berkendara sendiri, daerah PENS-ITS adalah daerah yang sepi. Kalau saya menangis, saya akan mengeluarkan bahasa tubuh bahwa saya sedang lemah. Jika saya terlihat lemah, bahaya.

Dalam perjalanan, saya bersikap seperti biasa yang saya lakukan ketika pulang agak terlalu malam : pasang muka jelek dan serius, berkendara dengan gaya laki-laki, dan ngebut. Biasanya, agar tak merasa sepi dan berpikiran kosong, saya menyalakan musik. Tapi karena ponsel pintar saya mati, maka saya memilih untuk berbicara dengan Galang.

Lalu saya heran dengan diri saya sendiri. Bagaimana bisa saya mengambil sikap dan keputusan seperti itu? Bagaimana bisa saya melarang diri saya menangis karena hal-hal tersebut?

Banyak teman saya yang menjuluki saya aneh hanya karena saya berbeda dengan teman-teman mereka. Namun ada pula yang mengapresiasi keanehan saya dengan menjuluki saya unik, berbeda, lain dengan yang lain, aneh tapi bikin kagum, cara berpikirnya berbeda, nyeleneh, dan lain sejenisnya.

Pantas saja saya sering kewalahan dan heran dengan apa yang terjadi di diri saya. Seperti apa yang saya ceritakan di atas. Saya tak menyesal lalu mengutuki diri saya. Barangkali saya harus banyak latihan Ilmu Pengendalian Diri dan menjadi bukan Jun atau Nita untuk bisa melihat atau menganalisis apa yang terjadi terhadap diri saya.

Tuh kan. Kalian paham apa yang saya maksud? Saya mulai berprasangka yang tidak-tidak. Pasti sedang mengerutkan kening ya?

*

Mengapa saya menuliskannya?
Sebab jika diceritakan secara lisan, kosa kata saya terbatas. Namun melalui kata yang biasa saya tuliskan, saya dapat dengan lancar dan jujur. Rupanya saya terbiasa menulis ketimbang berbicara. Itung-itung latihan, pamer kelihaian mengolah kata, dan pamer kecantikan.

Mengapa menuliskannya di blog?
Saya tertutup. Saya amat picky dengan siapa calon pendengar yang saya izinkan untuk mendengar cerita saya. Dengan ditulis di blog, semua orang bisa tahu tentang kepribadian saya yang seperti ini. Mencoba untuk terbuka.

Dan siapa tahu orang-orang yang tidak mengerti dengan jalan pikiran saya dapat mengerti dengan baik.

Tapi saya akan menulis apa yang perlu saya tulis saja.

Menulis tangan.
Sebelum mengetiknya di layar digital, saya terlebih dahulu menulisnya di buku atau kertas. Keuntungannya sangat banyak dan saya lebih suka cara ini.

*

Terima kasih telah bersedia meluangkan waktu untuk membaca (dan mendengar) cerita saya.


×××,
Rahmadana Junita

Saturday, August 13, 2016

Review Tiga Dara

Beberapa tahun belakangan saya suka lihat film. Dari gak bisa bedain antara Amy Adams dan Isla Fisher (sampai sekarang pun), atau Natalie Portman dan Keira Knightley (gara-gara The Phantom Manace); sampai sekarang sudah kenalan dengan gaya Tim Burton, Quentin Tarantino, atau Richard Linklater. Kalo di Indonesia, sutradara jagoan saya adalah Garin Nugroho, Riri Riza, Angga Sasongko, dan Joko Anwar. Jangan tanya Hanung Bramantyo. Saya dah gak suka dia semenjak dia menghancurkan Perahu Kertas.

Baru saja tadi saya selesai nonton. Film Indonesia. Judulnya Tiga Dara. Tahun tayangnya sih 1956, tapi direstorasi kembali menjadi kualitas 4K. Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, saya mau nge-review film. Maafkan kalau kalimatnya agak kaku, mengandung spoiler, atau bahkan curhat.

Selamat menikmati.

*

Pada usianya yang baru saja menginjak angka 29, Nunung (anak pertama) belum juga memiliki kekasih. Hal ini meresahkan neneknya, yang merasa mendapat mandat dari mendiang ibu ketiga cucunya. Sebab ayahnya, Sukandar, tak pernah memedulikan tentang asmara ketiga anaknya.

Dengan bujukan neneknya, Nunung mau menghadiri beberapa pesta bersama dengan adiknya, Nana. Tapi apalah daya si Nunung yang pemalu dan pendiam tak seperti Nana yang superior dan ekstrover. Ia hanya duduk termenung dan sedikit sedih menghadapi cibiran teman-teman seusia Nana yang mengira ia adalah tante Nana karena dandanannya.

SINOPSISNYA SUSAH YA. Coba cari sendiri di wikipedia.

Inti ceritanya adalah seorang gadis yang umurnya sudah hampir mendekati kepala tiga, namun belum juga menemukan jodohnya karena ia susah bergaul tak seperti kedua adiknya.

*

Sebelum melihatnya di bioskop, saya pernah melihat film ini sekali di YouTube beberapa hari sebelum premier. Dengan kualitas yang jelek dan durasi hanya 30 menit. Kecewa? Tidak. Tidak ada pengaruhnya bagi saya. Toh meskipun dengan durasi penuh, saya akan melihat film ini di bioskop.

Ekspektasi pertama saya, mungkin saya akan tidur. Ini film hitam putih pertama yang saya lihat. Selain itu, saya juga pernah ketiduran ketika melihat yang di YouTube. Ya karena yang di YouTube kualitasnya jelek aja kali ya, makanya saya ketiduran.

Ternyata, saya gak tidur! Gila aja sampai tidur di film yang racikannya kayak gini.

Film dibuka dengan Nunung yang meniup lilin. Perayaan ulang tahunnya sederha. Di dalam ruangan itu ada Nunung, Nana, Nenny, ayahnya, neneknya, dan Herman. Lalu mereka menyanyikan lagu ulang tahun. “Lanjut umurnya, lanjut umurnya, lanjut umurnya dan berbahagia, dan berbahagia, dan berbahagia”. Dialog sebentar, lalu menyanyikan lagu Tiga Dara yang sudah sering saya putar.

Saya tak pernah tak terkesima dengan dialog yang menggunakan diksi yang luar biasa. Kala itu, Indonesia baru merdeka sebelas tahun dan EYD belum ada. Saya masih ingat dengan novel Memang Jodoh yang ditulis tahun 50an oleh Marah Rusli. Tanggapannya tetap sama : selalu tersenyum ketika mereka menggunakan kata yang sekarang sudah beda penggunaannya.

Hal kedua yang bikin hati saya terpikat adalah : karakter dan penokohan yang mereka bawakan. Nunung, Nana, dan Nenny memiliki watak yang sama sekali berbeda. Kontras! Nunung, kakak tertua yang pendiam, pemalu, penyayang, suka mengalah, ia juga yang mengurus semua pekerjaan rumah, tapi sangat jual mahal kepada lelaki yang ingin mendekatinya. Nana, gadis tengah yang mudah bergaul, suka nonton film, ambisius, keras kepala, ekstrover. Menurut dugaanku, ia seorang Cancer. Sedangkan si bungsu, Nenny, ia jahil, cerdik, nakal, cerdas, periang, suka melawan orang tua, suka meledek juga, tapi ia tidak egois.

Ini menarik. Nunung suka mengalah, Nana keras kepala, Nenny tidak egois. Perbedaan yang menggemaskan.

Ngomong-ngomong soal karakter, saya tertarik dengan make up dan kostum yang dikenakan oleh Nunung. Ia selalu memakai kebaya di acara-acara penting, tidak seperti adik-adiknya yang sudah memakai baju yang lebih modern. Saya menduga, ia adalah sebagai lambang sesuatu yang lama, usang, tua, tapi hari ini masih ada. Make upnya, saya tertarik di bagian alis. Kalau diperhatikan, ekor alisnya sengaja digambar naik, tidak turun seperti adik-adiknya yang menukik tajam ke bawah. Apalagi dahinya selalu dibuat berkerut. Ini semakin membuat wajahnya terlihat semakin sendu dan terlihat lebih lugu dari ketiga adiknya.

Ada beberapa make up yang ganggu. Pemeran pembantu, contohnya. Saya lupa siapa. Bedaknya terlalu terang. Agak ngaggu, soalnya kelihatan banget. 

Saya suka dengan karakter Herman. Kenapa? Ia tampan, dagunya lancip, mukanya tirus, dan tingkahnya pecicilan. Sedang Toto, entah, saya tak begitu suka. Masa mau ketemu gebetan, pakaiannya tak necis, rambutnya gondrong pula. Tidak seperti Herman.

Masuk ke storyline. Sederhana. Saya suka yang sederhana. Sebenarnya, cerita yang sederhana saja dengan packaging bagus itu bisa bikin sebuah cerita menjadi bagus. Punya konflik dengan hal-hal yang sepele. Ditambah lagi dengan plot twist. Beuh.

Menurut saya, konflik-konflik kecil dimulai dari Nana yang flirting ke Toto, lalu Herman yang suka ke Nana patah hati dan malah mengencani Nenny, adiknya. Cinta segi mbulet antara tiga kakak beradik. Konflik-konflik kecil bisa dibangun, sehingga penonton ikut pula merasakan apa yang ada di dalam sebuah cerita tersebut.

Plot twistnya, bagi saya menarik. Meskipun ketebak. Tapi jika plot twist tersebut disuguhkan pada tahun 1956, mungkin akan terlihat menarik dan lucu. 

Hal yang menarik lainnya disini adalah pada jokes-nya yang meski sudah berjarak 60 tahun, tapi masih bisa ‘direspon’ oleh penonton. Seperti adegan favorit saya yang adalah percakapan antara Toto dan Nunung yang juga ada di trailer hasil restorasi Tiga Dara. Begini

Nunung : Apa kepentinganmu? Apa coba? Kenapa?
Toto : Aku tak mau orang lain menjamahmu.
Nunung : Kenapa?
Toto : Aku cinta padamu. 

Lalu seisi bioskop (yang hanya berjumlah 20 orang) berseru sebagaimana mestinya ketika adegan romantis ditampilkan.

Untuk masalah set, saya sedikit kaget dengan Jakarta saat itu. Begitu sepi dan lapang. Begitu menyenangkan. Rumah-rumahnya aduhai sekali. 

Soal sinematografi, saya tidak mengerti harus berkomentar seperti apa. Bukan karena sinematografi film ini begitu sempurna. Tapi ilmu saya kurang banyak kalau harus berbicara tentang sinematografi. 

Begitupun tata musiknya. Saya angkat tangan, tak berani komentar apa-apa. Kalau tak salah, ada genre melayu, swing, bossanova, ya musik-musik yang kece pada masa itu. Kaki saya menghentak, telinga saya mencermati liriknya. Pingin beli vinylnya...

Ada beberapa kecacatan. Tapi masih bisa dimaafkan. Seperti kebocoran cahaya : bayangan holder lampu yang tertangkap kamera, dan tas Nana yang tergeletak padahal orangnya belum datang.

Nasihat yang tersampaikan kepada saya khususnya : jangan suka jahat sama laki, nanti jadi perawan tua gimana hayo? Untuk laki : jangan pernah patah semangat untuk mengejar perempuan yang dicintai, barangkali ia hanya tak tahu bagaimana menyampaikan perasaannya karena ia tak pernah sekalipun berhadapan dengan lelaki. Lho kok kode?

Overall, film ini layak ditonton. Sangat sayang jika dilewatkan. Sebagai penghargaan untuk mereka yang sudah bersusah payah membenahi film lama ini. Sebab, kalau bukan kita yang menikmati karya anak bangsa, siapa lagi? Wong sak ndunyo? Mungkin a?

Bagi yang sudah lama menantikan film ini, segeralah tonton! Kalau bokek, ngutang dulu! Gak ada teman, berangkat sendiri! Saya yakin, kalau orang demen nonton beneran, pasti gak pernah masalah dengan nonton sendiri. Sebab, di Surabaya, film ini diputar hanya di satu bioskop dan penontonnya gak banyak. Takutnya, film ini bertengger di bioskop hanya beberapa hari.


Friday, July 29, 2016

Menyelami Jagad Adi Januardhanu

Lahir 28 tahun yang lalu. Tepatnya 28 Januari 1988. Di Solo. Ketika lahir, ayahnya menghilang entah kemana, sedang ibunya dalam keadaan kritis. Nama Jagad Adi Januardhanu adalah pemberian dari pakdenya, Pak Langgeng.

Memiliki tinggi 170 cm dan berat 65 kilogram. Memiliki wajah yang jawa banget : bulat. Bermata kecil dan cekung dengan bulu mata yang agak lebat, tapi tidak lentik. Kata orang jawa, alisnya nanggal sepisan, giginya miji timun, hidungnya sederhana, dan bibirnya tipis. Rambutnya hitam legam dan lembut, selalu dipotong rapih. Jika disatukan, Jagad memiliki komposisi muka yang teduh. Ia sering berkata kepada wanita yang menjadi incarannya, “Kau tak hanya bisa berteduh di bawah topiku. Tapi juga pada wajahku.”

Pakaian kesukaannya adalah kaos hitam atau abu-abu dan sweater atau flannel berwarna tua seperti merah bata, hijau lumut, atau biru donker. Jam tangan digital berwarna hijau tua pada pergelangan tangan kanan, dan bermacam gelang dari penjuru dunia pada pergelangan tangan kiri. Gelang-gelang yang didapat dari pertemanannya dengan orang asing yang sering ditolongnya. Celana panjang warna tua, sepatu coklat tua dan topi.

Pekerjaannya kini adalah menjadi barista lompat kafe. Tapi baginya, profesi yang sesungguhnya adalah pengamen dengan bayaran pertolongan lainnya. Ia lebih suka dibilang pengamen ketimbang musisi. Ia suka musik. Meski hanya bermodalkan mengaransemen puisi-puisi milik sepupunya.
Kemampuannya bermain gitar dapat membuat semua perempuan dapat mudah ditaklukkan. Pada kesempatannya mengamen, nyaris setiap perempuan yang menyaksikan tak berkedip untuk melihatnya berdendang. Matanya congkak dan nakal. Alis dan senyumnya selalu dimainkan.

*

Jagad kecil sudah teribiasa hidup dan bermain tanpa kehadiran ayah dan ibunya. Ayahnya pergi entah kemana. Dalam seminggu, barangkali hanya dua kali Jagad bertemu dengan ayahnya. Ibunya, Ibu Lestari, harus bekerja siang malam untuk memenuhi kebutuhan Jagad. Maka tak jarang Jagad dititipkan di rumah kakak dari ibunya, Ibu Pertiwi, istri dari Pak Langgeng. Lalu bermain dengan Adya.

Memasuki bangku SD, tanpa diminta, Jagad lebih sering pulang ke rumah budenya yang bisa menjanjikan makanan hangat yang enak dan mainan yang banyak ketimbang harus pulang ke rumah lalu berhadapan dengan makanan yang sudah dingin. Atau jika kurang beruntung, ia harus melihat kedua orang tuanya bertikai. Jika sudah dalam keadaan seperti ini, sebelum masuk bangku SD, ibunya selalu mengutusnya untuk ke rumah budenya. Dan Jagad selalu menurut dengan kegirangan.

Apalagi ketika adik Adya lahir. Jagad adalah anak yang paling gembira ketika itu. Teman bermainnya bertambah satu. Ahista Pradnyani namanya. Dengan sukarela, Jagad memanggilnya dengan nama Ais. Dan Ais selalu tertawa ketika Jagad datang sepulang sekolah dengan bau asam yang menusuk.

Jagad dan Adya tak begitu dekat ketika itu. Sekolah mereka berbeda setahun. Ketika Jagad kelas 1, Adya masih duduk di bangku TK. Jagad naik ke kelas 2, Adya baru duduk di bangku SD. Jagad baru pulang, Adya baru saja akan tidur siang. Lingkungan pertemanan mereka berbeda. Jagad lebih suka bermain dahulu sebelum memutuskan untuk pulang, sedangkan Adya selalu sampai rumah tepat waktu.

Sebenarnya, Jagad adalah anak yang cerdas. Meski tak pernah mengerjakan PR, ia selalu mengangkat tangan paling cepat jika pertanyaan dilempar ke kelas. Sering dihukum karena selalu memberi contekan dan berkelahi di kelas. Menurut gurunya, Jagad mencari perhatian sebab ia tak begitu dihiraukan oleh orang tuanya.

Memasuki kelas tiga, Jagad lebih sering membolos. Ditambah lagi perceraian orang tuanya. Ayahnya pergi entah kemana. Tanpa pamit atau memberikan wejangan khusus untuk Jagad. Ibunya pergi menjadi TKW. Jagad merasa dicampakkan. Ia tak pernah pergi ke sekolah setelah itu. Ini membuatnya tinggal kelas.

Sebelum ibunya pergi, Jagad dititipkan ke budenya. Bude yang selama ini ikut mengasuhnya. Ibunya berpesan bahwa Jagad tidak boleh merepotkan. Jagad hanya mengangguk dan menolak pelukan ibunya. Tanpa tangis, Jagad mengantarkan Bu Lestari.

Sejak saat itu, Jagad tinggal serumah dengan keluarga pak Langgeng. Ia kini sekelas dengan Adya. Keduanya semakin dekat. Apalagi Jagad selalu mengajak Adya berbuat nakal, sedang Adya selalu mengajak Jagad untuk taat peraturan.

Bu Tiwi mengasuh mereka laiknya sesama anak sendiri. Sedang pak Langgeng tidak. Beliau lebih keras kepada Adya, kepada Jagad beliau membebaskan. Ini membuat Jagad dan Adya sering bersekongkol untuk membuat kenakalan. Bagi Adya, Jagad adalah celah kebebasan yang susah ia dapat jika mereka tak serumah. Bagi Jagad, Adya adalah pengingat bahwa ada yang harus dibalas untuk keluarga yang selama ini mau menampungnya.

Mereka tumbuh besar bersama. Seperti dua sejoli yang tak dapat dipisah. Jagad selalu menimbulkan keributan. Dan Adya yang pendiam dan pemikir sering melerai lantas memberi ceramah-ceramah sarkas kepada sepupunya.

Rokok pertama Jagad adalah kelas 3 SMP. Tapi ketika itu, ia tak sering menghisapnya. Hanya sesekali mengincipi milik teman. Ketika kelas 2 SMA, Adya ketularan.

Meski tak jarang bertengkar, keduanya tak pernah memperebutkan sebuah hal bernama perempuan. Keduanya memiliki tipe yang berbeda. Jagad suka perempuan cantik, dan semua perempuan yang ia inginkan selalu dapat ia taklukkan. Sedangkan Adya suka perempuan yang polos dan berani.

Ketika SMA, Jagad adalah playboy kelas kakap. Ia pernah memacari 3 wanita sekaligus, dan ketiganya bertahan kurang lebih masing-masing setahun. Baginya, kalau ia memiliki kemampuan untuk menaklukkan hati perempuan, mengapa tak digunakan?

Jagad juga jarang di rumah. Musiknya tidak satu selera dengan Pak Langgeng dan Adya : campur sari. Ia lebih suka pergi ke luar, menonton gigs band indie Bandung, lalu berkenalan dengan mereka. Sampai akhirnya ia jatuh hati kepada musik.

Selama ini, uang kiriman ibunya tak pernah ia gunakan. Selalu diberikan ke budenya. Dan ia selalu menolak uang saku dari budenya. Menurutnya, jajan di sekolah itu ndak perlu. Yang penting kenyang sarapan di rumah sudah cukup. Atau terkadang, ia menraktir Adya barang-barang mahal atau kaset impor incaran Adya.

Tahun 2007, mereka masuk ke bangku kuliah, Jagad dan Adya berpindah ke Yogya. Jagad mengambil sekolah perhotelan selama tiga tahun, dan Adya masuk di jurusan Sastra Indonesia di UGM.

Tak lama setelah tinggal di Yogya, ia membuat tatto pertamanya. Letaknya di balik siku lengan, hasil ilustrasi Adya sebagai kado untuk ulang tahunnya yang ke 19. Adya memberikannya sebuah illustrasi surealis dari gitar yang diimpikan Jagad. Karena Adya tak memiliki cukup uang, maka ia memberikan illustrasi tersebut kepada Jagad.

Tahun pertama di Yogya, Jagad iseng untuk bermain gitar di sebuah acara seorang teman. Ia begitu saja menawarkan dirinya untuk mengisi acaranya. Tak perlu dibayar, katanya. Cukup terima kasih dan doa semoga dirinya tetap sehat walafiat dan diberikan rizki yang berkecukupan agar bisa mengamen tanpa perlu dibayar.

Ia bekerja part time di sebuah kafe milik kakak temannya. Kadang menjadi waiter, membantu di dapur, atau malah ngejam ketika malam minggu.

Tak jarang beberapa kali Jagad membawakan lagu yang ia aransemen dari puisi-puisi bikinan Adya. Hanya satu-dua, tak banyak. Sebab ia lebih suka melihat penontonnya berdendang bersama karena lagu yang tak asing ketimbang harus bangga dan autis sendiri membawakan karyanya.

Kemampuan gitarnya yang mahir membuatnya semakin nakal dalam menggoda perempuan.

Pada tahun 2009, Jagad memiliki peran penting dalam keputusan hidup Adya. Ikut merayu dan membujuk Pak Langgeng agar Adya diperbolehkan untuk mengambil studi Desain di luar Jawa, meninggalkan pendidikannya saat ini.

Pak Langgeng tidak mengizinkan. Adya bertikai hebat dengan ayahnya. Jagad tak tahu pasti bagaimana pertikaian tersebut terjadi. Yang jelas, Adya tak mau lagi pulang ke rumah. Dan Jagad selalu mendukung Adya untuk mengejar mimpinya. Akhirnya, Adya pergi.

Tapi pada November 2009, pesawat Adya hilang. Bangkainya tak diketemukan. Hati Jagad terpukul. Ia tak berani pulang ke Solo selama satu tahun. Merasa bersalah dengan pakde dan budenya telah mengompori Adya untuk mengejar mimpinya.

Semua puisi Adya digubahnya sebagai kemarahan atas dirinya sendiri. Yang bercerita tentang kebahagiaan, digubahnya dengan irama yang menyayat hati. Yang bercerita tentang kebahagiaan, dibawakannya dengan riang.

Sekar, calon kekasih Adya lah yang dapat menyembuhkan rasa bersalah Jagad. Dengan memberikan sebuah kesibukan baru. Jagad bergabung di sebuah komunitas Teater di Yogya yang salah satu anggotanya adalah teman Sekar. Perannya di komunitas tersebut tidak jauh-jauh dari musik. Kebetulan, komunitas tersebut akan mengadakan pentas kolosal besar. Jagad menjadi setengah otak dalam peracikan komposisi musik pentas tersebut.

Pelan-pelan, Jagad mulai mengikhlaskan Adya. Meski seringkali rasa bersalah itu masih ada.

Februari 2011, ia tamat kuliah. Tanpa pikir panjang, ia langsung pindah ke Bali. Menelusuri jejak-jejak yang sering diceritakan Adya. Barangkali itu dapat menjadi pengobat rindu baginya. Tentu saja dengan meminta pertolongan kepada teman-teman yang pernah ditolongnya pada masa silam.

Pada suatu kesempatan, banyak mantan kekasihnya mengunggah foto pernikahan. Nyaris secara bersamaan. Tak lama setelah itu, undangan dari teman SD, SMP, SMA, dan kuliah datang menyerbunya. Lantas ia teringat akan komitmen yang ayah dan ibunya buat. Ia membenci kedua orang tua yang menurutnya telah pergi secara tak masuk akal. “Kalau pada akhirnya saya ditinggalkan, mengapa harus menghadirkan saya?” begitu yang selalu ia pertanyakan.

Lalu ia sadar, bahwa sebuah hubungan dengan manusia berjenis kelamin perempuan, pada akhirnya akan berakhir di pelaminan. Ketakutannya adalah ia akan menjadi seorah ayah seperti ayahnya. Ia tak mau menyakiti hati seorang perempuan. Maka ia memutuskan untuk membenci sebuah pernikahan.

Setelah keputusan itu, ia merekam lagu-lagu yang pernah dibuatnya. Dengan modal studio rumah pinjaman sukarela dari temannya dan sebuah aplikasi yang bernama Soundcloud.

Hingga hari ini, meski namanya tak begitu terkenal, tapi ia begitu dapat menikmati hidupnya. Menjadi barista lompat dan ‘pengamen’ dengan nama panggung : Jagad Adyatarna. Adyatarna adalah nama belakang sepupunya.

*

Dialog saya dengan Jagad : 
Saya : Halo mas Jagad. Gimana fansnya? 
Jagad : Halo. Saya harap mereka baik-baik saja. Agar dapat mendengarkan musik saya. 
S : Langsung saja ya, Mas. Saya hendak bertanya. Mas Jagad percaya cinta? 
J : Percaya 
S : Lalu, mengapa Mas memutuskan tidak menikah? 
J : Cinta dan pernikahan adalah dua hal yang berbeda. Cinta itu buta, tak dapat dikendalikan. Iya kan? Sedangkan menikah adalah rumit. Tak hanya menyatukan dua manusia, tapi juga dua keluarga, persetujuan dua belah pihak, dan lain-lain. Adakah syarat di KUA yang berisi tentang calon kedua mempelai harus saling mencintai? Hmm, banyak juga teman saya yang menikahi orang yang tak dicintai. Teman kamu banyak juga, kan? Dan mencintai tak harus dinikahi. 
S : Oh.. Saya berduka atas meninggalnya sepupu Mas Jagad. 
J : Terima kasih atas dukanya. Adya orang baik. Banyak yang kehilangan dia. Bahkan orang-orang yang tak dikenalnya sekalipun. 
S : *tersenyum sambil mbatin*

*

Tulisan panjang di atas adalah fiksi dan sebuah pemenuhan hasrat untuk pendalaman karakter sebuah cerita. Baru kali ini saya membuat karakter tukang protes. Ia memilih sendiri tanggal lahirnya. Semula 8 Februari 1988 (8-2-88). Lalu, setelah saya menemukan versi cetaknya, ia setuju tanggal lahirnya dirubah menjadi 28 Januari 1988 (28-1-88). Lalu, beberapa minggu belakangan, ia meminta angka 5289 (5 Feb 1989) menjadi tanggal ulang tahunnya. Katanya, kelahiran 1988 terlalu tua untuknya. Bagi kalian yang sudah tahu siapa ‘kiblat’ Jagad ini, silakan mesem-mesem sambil membayangkan versi cetak Jagad. Apakah sudah terbayangkan?

Bagi kalian yang sedang menerka siapa Jagad versi cetak yang menjadi ‘kiblat’-nya, silakan ditebak sendiri. :p

×××, 
Rahmadana Junita

Thursday, June 16, 2016

Tak Ada Jam di Rumah Kami

09.45. Rupanya kelas telah dimulai 45 menit yang lalu.

“Kenapa terlambat?” Tanyanya menodong.

“Tak ada jam di rumah saya, Pak.”

Lalu ia tersenyum sinis. Dan saya hanya menantang matanya sambil berkata dalam hati.

Kalau Bapak hendak mendengar alasan saya yang lebih panjang dan lebih logis, saya akan jelaskan. Baiklah, alasan yang lebih logis adalah : saya terlambat terjaga. Tapi saya tidak tahu apakah saya terlambat atau tidak. Dan alasan ketidaktahuan saya adalah : tak ada jam dinding di rumah saya.

Jika tak ada jam dinding di rumah, bagaimana saya bisa tahu pukul berapa saya baru terjaga?

Begini, Pak, sudah hampir tiga tahun tak ada jam dinding di rumah. Dan orang rumah bukan pemakai jam tangan. Untuk tahu pukul berapa, biasanya kami bertanya kepada mereka yang sedang ada di depan layar laptop atau ponsel. Tapi toh, adzan masih berkumandang, dan kami jadi keluarga penghapal rutinitas tetangga.

Pak Toni, tetangga seberang rumah selalu menyalakan mesin mobilnya pada pukul setengah enam pagi. Dan kegiatan kampung saya baru dimulai ketika pukul enam pagi. Pengantar koran mulai berteriak lantang, penjual pecel keliling tak mau kalah, Abrar dan Abi si kembar selalu ribut mengenai kaus kaki, sampai Bu Lastri yang selalu repot mengantar kelima anaknya sendirian.

Kesibukan pagi selalu selesai pukul delapan pagi. Semua anak sekolah sudah duduk di meja sekolahnya, dan pekerja telah merutuki jalanan. Ketika itu, pedagang donat lewat. Setelah itu disusul pedagang ikan keliling. Tak akan ada pedagang sayur yang lewat, sebab ia akan kalah saing dengan penjual sayur di ujung kampung saya.

Kedua orang tua saya bekerja. Adik-adik saya sekolah. Saya sendiri di rumah. Tadi pagi ponsel saya mati total. Tapi begitu terjaga, saya langsung mengintip jalanan lewat jendela. Sinar matahari sudah menerangi seluruh jalan. Sudah pukul sembilan, saya hapal itu. Entah tepat, kurang, atau lebih, saya tak tahu. Sebab, hanya jam adalah penunjuk waktu yang paling akurat, kan?

Saya tak hiraukan pukul berapa saya terjaga. Saya langsung bergegas mandi, ganti baju, lantas berangkat. Saya melupakan ponsel saya. Bahkan, saya baru tahu jika saya terlambat sampai 45 menit ketika masuk ke kelas ini. Saya memang keterlaluan, Pak.

Saya harap Bapak maklum dan membuka logikanya. Terima kasih. Saya akan duduk dan mendengarkan Bapak mengajar.

***

Beberapanya fakta, beberapanya fiksi. Jika terjadi kesamaan cerita, barangkali itu fakta, Pak.

16 Juni 2016
×××,
Rahmadana Junita.

Saturday, June 4, 2016

Perayaan

Nak, sebelum kau lahir, ibu akan sampaikan kepadamu bahwa perayaan itu tak perlu. Seperti perayaan perpisahan. Berpisah sejatinya tak butuh perayaan. Seperti nanti jika ibu tiada.

Tak akan ada perayaan untuk berulangnya hari lahirmu yang kau temui kembali. Tak akan ibu izinkan.

Kalau kau ingin mendapatkan kado untuk kau buka bungkusnya, nanti akan ibu siapkan 365 atau 366 hadiah kecil untukmu yang telah ibu siapkan pada hari ulang tahunmu. Yang dibungkus dengan kertas warna-warni dan akan ibu berikan setiap hari. Tidak selalu berisi benda-benda yang dipasang di toko. Tapi mereka akan menjadi benda yang akan mengejutkanmu dan membuatmu gembira.

Tiup lilin itu tak perlu. Sebab semua orang melakukan hal itu ketika lampu mati. Lebih baik tiup bunga liar serupa dandellion. Jangan lupa panjatkan doa sebelum terlepasnya tiupanmu. Agar mereka membawa serta doa-doamu lantas membisikkannya kepada semesta untuk dikabulkan

Tak perlu takut kekurangan doa-doa tentang umur yang panjang atau kesehatan yang menyertaimu. Sebab harapan dan doa selalu ibu panjatkan yang tak pernah kurang-kurangnya. Dan berbuat baiklah kepada sesama. Sebab berbuat baik akan mendatangkan doa yang baik.

Tentang kue tart, itu hal sepele. Tak melulu kue tart, tiada mengapa, kan? Sebagai gantinya, hidangan istimewa akan ibu sajikan.

Perayaan hanya untuk mereka yang memiliki ketakutan akan hari depan.

**

Mulai ditulis 15 Mei 2015 di C20 ketika menunggu AriReda yang syahdu.
Diselesaikan 16 Mei 2015 di C20 (juga) ketika menunggu empat lagu Silampukau.
Untuk yang berulang tahun hari ini. Kiranya umurmu tak panjang, semoga kau dapat abadi dalam karya-karyamu. Mustinya, aku kan selalu berdoa tentang umurmu yang akan selalu bertambah dan karya yang nanti tak kan ada habisnya. Amini dan jalani. Itu tugasmu.

Wednesday, April 13, 2016

Hal yang Amat Kuinginkan

Aku tak ingin menjadi kekasihmu; yang akan menangis jika kehilanganmu.

Aku ingin menjadi kelima jemari tangan kananmu; yang selalu kau gunakan untuk makan, karena aku ingin lebih dekat dengan bibirmu; yang selalu kau gunakan untuk meraba dagumu, untuk mengecek apakah jenggotmu perlu dicukur;  yang  untkau gunakanuk memetik gitar, sampai membiru dan kapalan; yang kau gunakan untuk menulis puisi, menggambar sketsa.

Aku ingin menjadi punggung tanganmu. Tentu saja hanya karena aku ingin mengusap peluhmu.

Aku ingin menjadi bagian dari tangan kananmu yang kau butuhkan, yang tak pernah lepas darimu, yang tak kan kau sia-siakan. Sebab aku tahu bahwa kau mencintainya, dan kau akan menangis jika kehilangannya.

Monday, April 11, 2016

Ketika Hanya Kami Berdua

Mirip Galang, katanya. Itu yang ia laporkan kepada saya ketika kami berdua duduk memperhatikan orang-orang. Lalu mendapati seorang pria datang dengan setelan kaos abu-abu, jaket merah marun, celana cargo selutut, tas merah butut dengan buku gambar yang mencuat di salah satu sisinya.

Saya tak tahu Galang itu lelaki yang mana.

Yang kurus, tinggi, jangkung, rambut lurusnya ––yang jarang dipotong dan disisir–– selalu menutupi setengah telinga dan tengkuknya. Pundaknya nraju mas. Matanya kecil tapi tidak sipit, sedikit cekung. Begitu katanya.

Saya tetap tak mengerti.

Dia suka menulis. Amat suka. Yang dibuatnya pertama kali adalah karakter lelaki. Dan itu selalu sama. Kurus, tinggi, rambutnya mencuat kemana-mana. Seperti yang ia katakan tadi. Profesinya selalu nyaris sama : berhubungan dengan gambar-menggambar. Illustrator, arsitek, desainer, atau perupa lainnya. Pendiam, temannya tak banyak, nyaris anti sosial, dan satu lagi : bermusuhan dengan bapaknya.

“Galang itu masterpiece-ku!”

Patokan karakter?

“Iya!”

Mirip dia semua?

“Iya. Nyaris.”

Sama saja, ah!

“Beda! Sebentar, kamu tak biasanya banyak bicara.”

Apa kalimatnya panjang?

“....”

Apa kita baru kenal kemarin?

“Kamu ini selalu. Kalau bikin pernyataan selalu pakai pertanyaan.”

Aku ini bikinan siapa?


“Sudahlah, Galang Adyatarna! Kamu diam saja di otakku. Tak usah banyak tanya dan protes.” Ujarnya seperti membentak dan nyaris marah. Tak lama, umpatan Suroboyo-annya akan keluar. Taruhan?

Monday, February 29, 2016

Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti

Aku patah hati. Bukan, tentu saja bukan karena lelaki. Itu sudah kujauhkan dari hari-hari sebelum ini. Melainkan karena kecintaanku.

Sanggar tempatku menari selama hampir setengah tahun belakangan ini tutup. Padahal baru saja berdiri lagi lima bulan yang lalu, setelah bertahun-tahun vakum.

Baru tadi sore aku mengetahuinya dari Hesti, anak dari sang empunya sanggar. Ingin menangis, rasanya.

Alasan selama ini untukku beristirahat, meninggalkan sejenak tanggung jawab dan kesibukan, untuk suatu kecintaan yang baru saja hadir dan dipersilahkan oleh semesta untuk menjalaninya, kini berhenti sejenak.

Untuk beberapa waktu kedepan, aku tak lagi pandangi mata dari anak-anak kecil ketika menghapal gerakan. Yang begitu menyenangkan dan membuatku berdecak dan menyesal mengapa aku baru saja menemukan kecintaan ini.

Untuk sementara waktu, aku sedikit bisa untuk melupakan seorang yang suka berkata, “Perempuan yang menari tu, cantik-cantik.”

Sejenak. Aku yakin ini hanya sejenak. Hatiku tak lama lagi akan bertumbuh menjadi suatu yang lain. Yang lebih mencinta dan tak menjadikannya sia-sia. Seperti kata Banda Neira:

Yang patah tumbuh, yang hilang berganti
Yang hancur lebur akan terobati
Yang sia-sia akan jadi makna
Yang terus berulang suatu saat henti
Yang pernah jatuh ‘kan berdiri lagi
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti


Friday, January 22, 2016

Kejutan Untukmu

Pada suatu malam yang telah kutentukan nanti, bersiaplah atas kedatanganku. Tak perlu kau siapkan teh hangat atau biskuit cokelat kesukaanku. Bahkan, kau tak perlu terjaga dari tidurmu untuk sekadar membukakan pintu lantas mempersilakanku untuk masuk. Sebab, aku telah mengantongi segala izin yang akan kuperbuat padamu. Kecuali satu hal saja. Dan itu akan menjadi kejutan.

Pada malam itu, tidurlah dengan nyenyak. Diselimuti kelelahan setelah bekerja seharian dan meladeni kemacetan Surabaya. Kalau tak nyenyak, aku yang akan membuatnya. Sebab aku tak ingin berurusan dengan jantungku ketika bertatapan dengan kedua bola matamu yang teduh sekaligus menantang itu.

Asal kau tahu, dari ratusan lelaki yang kukenal, aku hanya menemukan mata seperti itu hanya ada padamu, ayahku, dan kakakku saja. Aku sudah terbiasa dengan mata ayah dan kakakku. Aku mencintainya, dan mereka mencintaiku. Sedang kepadamu, yang kau cintai bukan aku.

Tak apa, aku akan membuatnya menjadi milikku malam ini. Meski hanya kedua bola matamu saja.

Telah kupersiapkan segala hal yang berhubungan dengan kejutan. Roti tart dan lilin angka dua dan tujuh yang bertengger di atasnya, sketchbook buatanku sendiri yang selalu ingin kau nikmati, jam tangan impianmu agar kau tahu bahwa membatasi waktu itu perlu, dan lima belas buah balon warna warni agar senyummu dapat terbuka lebar.

Untungnya, sudah kupastkan kepada Rudi, tetangga kamar tempat kostmu, bahwa kau tertidur sangat lelap, sehingga aku tak perlu jalan berjingkat agar tak membangunkanmu.

Seperti yang kuduga. Kau terlelap begitu nyenyaknya, hingga tak sampai hati aku melaksanakan misiku untukmu malam ini. Namun setelah melihat fotomu berdua dengan kekasihmu yang tertempel di salah satu dinding, tekadku makin bulat.

Maafkan aku, alat yang kupakai adalah seadanya. Namun, teknik yang kugunakan adalah benar. Sudah kubaca di banyak buku dan video tutorial di internet. Hanya untuk membuatmu terkejut. Di hari spesialmu ini, aku akan menyederhanakannya menjadi hari yang tak akan kau lupakan seumur hidupmu.

Kusiapkan semuanya, dan kulakukan seperti apa yang sudah aku latih agar mendapatkan hasil yang sempurna untukmu.

Ternyata hanya lima belas menit. Dan aku bahagia memandang toples kosong yang berisi formalin kini berwarna agak kemerahan. Aku melengos.

Ah, kurasa aku sia-sia mempersiapkan roti tar dan segala bentuk kejutan. Kau tak akan terkejut. Sebab, kedua bola matamu telah hilang. Akan kubawa pulang sebelum seluruh lilin yang kunyalakan habis dimakan api.


Tapi kau akan terkejut ketika melihat dunia dan wajah kekasihmu ternyata hitam semua.

*

Rahmadana Junita, yang sedang marah dengan dirinya sendiri.
Surabaya, 21 Januari 2016

Saturday, January 2, 2016

Yang Kung

Awal Desember 2014 lalu, saya membuat suatu cerita rekaan punya saya tentang Yang Kung di blog lama saya. Bisa dibaca disini.

Tadi pagi, saya bermimpi tentang seorang lelaki yang menyatakan perasaannya kepada saya. Sampai tak bisanya saya membedakan mana yang mimpi mana yang nyata, saya bertanya kepada diri saya sendiri, 'Ini saya tidak mimpi, kan?'

Untuk membuktikan bahwa saya tidak sedang bermimpi, maka saya tidur. Namun sayangnya, saya terbangun di dimensi lain bernama kenyataan. Sambil enggan terjaga, telinga sayup-sayup mendengar ibu berkata, "Innalillahi wa innailaihi rojiun...".

Tak lama, ibu terisak. Yang Kung meninggal. Yang Kung, bapak dari ibu saya meninggal.

Entah akal sehat sebelah mana yang membuat saya memilih untuk tidur kembali, melanjutkan mimpi yang terputus tadi. Tapi nihil. Lima menit berselang, saya tak menemukan mimpi yang harusnya saya tuju. Saya kembali terjaga.

Ibu bergegas bersiap diri untuk ke Mojosari. ngelayat bapaknya. Tak ada rasa kehilangan yang begitu menyayat untuk saya. Barangkali karena saya tak memiliki ingatan yang kuat terhadap Yang Kung. Sebab saya hanya bertemu beliau hanya dua kali.

Kedekatan saya kepada Yang Kung hanya karena saya tak pernah bertemu dengannya semenjak kecil. Lantas saya amat sering membuat ingatan sendiri tentang beliau. Dan sentuhan kami hanya terjadi sebatas ciuman tangan.

Berbeda dengan Yang Kung dari pihak bapak. Meski cuma setahun sekali bertemu, tapi ingatan saya tentang beliau amat banyak. Pijatannya, kelapa muda yang dipetikkan untuk saya, high-five-nya, dan macam-macam.

Pada akhir November 2011 yang lalu, Yang Kung dari pihak bapak meninggal. Saya masih ingat, saya yang masih berpakaian putih-hitam sepulang LKMM Pra TD tidak mau pulang dari cangkruk bersama teman-teman teater seusai menghadiri undangan dari UKTK Universitas Airlangga.

Tidak hendak membedakan. Hanya ingin mengungkapkan bahwa entah mengapa saya tidak merasa kehilangan sama sekali. Tapi satu hal yang melekat di ingatan saya, bahwa Yang Kung dari pihak ibu memiliki cucu dan anak lelaki yang memiliki pundak yang nraju mas.

Dan beberapa menit yang lalu, teman main saya ketika kuliah, akan mengadakan akad nikah di bulan Januari ini dengan seorang lelaki. Lelaki yang pada 2 tahun yang lalu pernah saya taksir secara becandaan. Terharu dan bahagia.

Ya sudah.

2015 / 2016

//postingan pertama di 2016, Bre!!//

Seperti yang pernah saya ucapkan dan sepakati (untuk diri saya sendiri) bahwa jika ingin memiliki kekasih, harus menjadi klisé. Namun, untuk masalah resolusi, bagi saya bukanlah perkara menjadi klisé atau kebanyakan. 2015 lah yang membuatnya.

Jika diputar kembali apa saja yang saya dapat pada tahun 2015, hanya memori-memori yang paling kuat dan terakhirlah yang paling bisa diingat.

Menari. Akan banyak yang akan saya bahas mengenai hal yang satu ini. Yang jelas, menari membuat saya sadar akan pentingnya target, dan memiliki tubuh yang gak gendut itu penting.

Kelulusan teman seangkatan. Hari yang berat. Melepas teman-teman. Dan yang tersisa hanya ingatan. Bahkan, tak banyak saya berfoto dengan mereka. Padahal pinjaman kamera sudah di tangan. 

Film Senyap dan Jagal (20%). Yang Senyap, dilihat di lab kampus. Ketika ada yang menanyai 'Itu film apa?', saya yang sudah membaca banyak propaganda dalam buku-buku fiksi sejarah tentang PKI (cuma Amba dan Pulang, sih) bingung hendak menjawab apa. Dan saya menangis dibuatnya. Sedangkan Jagal, terdownload, dan belum tehu akan dilihat kapan. Sepertinya akan mebutuhkan keberanian dan tekad yang kuat.

Jualan. Tahun ini saya sudah menghabiskan kertas ukuran A1 sebanyak 3 rim.

Buku. Yang menurut saya membeli terlalu berlebih, tapi tak disempatkan membaca. 

Yogyakarta. Menyelesaikan hati. Obervasi hati, katanya. Menemukan karakter Adhimas Wiryo K.

2016?

Mengurangi lemak, menata awak. Agar ketika mementaskan sebuah tarian, yang saya sajikan adalah keindahan. Bukan kentang loncat yang dibungkus kain super indah. Sebab tubuh saya bukan milik saya ketika sudah di atas panggung.

Ngremo di salah satu acara. Kalau bisa dua. Kalau bisa lebih. Tapi terlebih dahulu menguasainya.

Kamera. Cita-cita sebelum masehi. Cita-cita yang sengaja dipendam karena harus menabung ribuan koin dan berpuasa puluhan ribu jam. 

Menulis. Lebih banyak lagi. Katanya, hendak menyelesaikan satu kumcer yang harus selesai sebelum buku TA selesai.

#adyaTArna. TA. Tugas Akhir. Belum bisa diselesaikan tahun ini. Tapi pada akhir tahun ini InsyaAllah akan mendaftar sidang (belum keluar jadwal, padahal. Belum mulai dikerjakan juga proposalnya).

Membeli baju sedikit lebih banyak ketimbang buku. Sebab saya sadar. Saya selalu ngomel ketika ada sampah visual bertebaran, Tapi, saya tak menata cara saya berpenampilan.

Menghargai karya anak bangsa. Dengan cara membelinya. CD musik salah satunya. Sebab, kita mengapresiasi agar kelak kita diapresiasi.

Menyelesaikan buku-buku yang telah dibeli di tahun 2015. Hehe.

Ramayana Ballet di Prambanan. Dan Tari Kecak di Bali

Menonton Pementasan Teater Koma di Jakarta!!

Bikin Naskah Teater. Dua. Atau lebih. Kalau bisa, lebih.

dan target-target lainnya yang masih tersimpan.

Saat kau menerima dirimu
Dan berdamai dengan itu
Kau menari dengan waktu
Tanpa ragu yang membelenggu

×××, 
Rahmadana Junita