Wednesday, September 25, 2019

Kepada Adya

Adya, kalau tulisan ini sempat kamu baca, semoga engkau dalam keadaan baik; jauh dari sakit dan mara bahaya meski pada akhirnya kamu lebih suka menantang kedua hal itu.

Ada banyak hal yang rasa-rasanya ingin aku bagi denganmu. Semuanya terasa kurang ketika aku membaginya dengan teman-temanku di sini. Rasa-rasanya aku selalu ingin membagi cerita hidupku kepadamu. Tapi sepertinya percuma, aku kini sudah habis akal dengan cara yang bagaimana lagi aku menghubungimu. Waktuku kini tak sebanyak dulu. Kenyataan telah menarikku untuk lebih bertualang. Kamu pasti senang mendengar kabar ini. Tapi, Dya, bagaimana jika yang aku butuhkan hanyalah kamu?

Adya, kupikir sudah tidak ada lagi yang harus diceritakan lagi tentang duniaku kepadamu dan tentangmu kepada dunia. Semuanya impas. Kamu sepertinya tak akan pernah tahu apa-apa tentang duniaku dan duniaku tak akan pernah mau tahu tentang keberadaanmu. Terima kasih atas sepuluh tahunnya. Semoga aku bisa mengendalikan rindu yang suka berkecamuk. Semoga kamu selalu dalam keadaan baik.

Tuesday, June 11, 2019

Tentang Menunggu

Ada jiwa masa kecil yang masih tertanam padaku. Menunggu. Entah sejak mulai kapan, menunggu adalah hal yang paling menyenangkan. Apalagi jika yang ditunggu memiliki kepastian datang. 

Sejak kecil aku berkenalan dengan menunggu dari sepupuku. Tiap kali lebaran tiba, aku dan keluarga selalu hadir sehari sebelum hari raya. Sedangkan sepupuku selalu hadir pada hari kedua atau ketiga. Selama beberapa hari itu, temanku bermain hanyalah sepi. Sedang adikku selalu bermain ke sawah, sungai, dan hutan tanpa pernah mengajakku. Tapi aku ingat betul ada perasaan tidak sabar yang meletup-letup untuk bertemu dengan sepupu setahun sekali.

"Mas Ario kapan datang, Yah?" adalah pertanyaan yang selalu aku lontarkan kepada ayah karena hanya ayah yang memiliki kuasa menanyakan kepada kakaknya. Tak peduli seberapa lama aku menunggu sepupuku, ayah selalu merancang kepulangan lebih lama agar aku bisa bertemu dengan sepupuku.

Setelah dewasa, setelah kepentingan-kepentingan pribadi merenggut kami, setelah kebebasan-kebebasan pada pilihan menjadi keniscayaan, setelah memiliki ponsel pintar masing-masing, aku masih bertanya kepada ayah, "Mas Ario kapan datang, Yah?" Sampai suatu ketika ayah menjawabnya dengan, "Coba kamu tanya sendiri."

"Nggak tahu, El," begitu jawabnya setiap tahun. Kadang disertai dengan embel-embel alasan yang lebih jelas. Meski begitu, aku selalu menyisakan waktuku untuk menunggunya.

Lalu pada suatu pergantian hari, saat baju-baju telah masuk ke tas ransel bersiap untuk balik ke Surabaya, suara deru mobil hadir. Mas Ario datang. Aku memupuk kembali niat untuk langsung balik bergegas. Bisa agak siangan nanti jam 12an setelah mengobrol sekecap dua kecap dengan mas Ario. 

Namun ternyata Mas Ario datang dengan seorang perempuan. Sengaja tak aku ingat namanya. Siapa peduli? Gemuruh dendam telah aku tanam seiring tangannya menjabat tamanku. Ia merebut mas Arioku.

"Lho, pulang sekarang, El?" tanyanya

"Iya, harus mengurus berkas klien. Di sini sinyal susah," jawabku singkat. Aku lantas pamit, pergi, minta antar bapak ke terminal.

Setelah hari itu, pertemuan kami tak pernah lebih lama seperti biasanya. Tapi bodohnya, aku selalu menunggu. Meski Mas Ario selalu hadir setelah aku hadir dan pergi sebelum aku pergi.

Thursday, May 9, 2019

Isinga

Satu sampai dua tahun belakangan saya amat susah menyelesaikan satu buku. Biasanya, saya meletakkan kembali buku tersebut di rak sebelum saya sampai pada akhir buku. Siang ini tiba-tiba saja buku ‘Isinga : Roman Papua’ menyembul dari barisan buku di rak. Tersisa kurang lebih 40 halaman yang belum terbaca.



*
Sinopsis
Selang beberapa hari, Malom datang. Ia minta Irewa pulang. Mama Kame dan Bapa Labobar tak bisa mencegah. Malom adalah suami yang sah. Orangtua Malom sudah membeli Irewa dengan sejumlah babi-babi sebagai mas kawin. Selain itu, Irewa juga seorang yonime, juru damai dua pihak yang bermusuhan. Irewa harus mau untuk kembali ke Hobone. Kembali ke kehidupan sehari-harinya yang berat. Mau atau tidak, ia harus menjalaninya. Tak ada pilihan.

Kehamilan demi kehamilan, keguguran demi keguguran tidak mengurangi niat Malom untuk terus punya anak. Malom berpikir itu sudah menjadi tugasnya sebagai laki-laki. Tugas yang diminta masyarakat. Suami harus mengawini istri agar menghasilkan anak. Perempuan adalah makhluk yang mendatangkan kesuburan. Anak laki-laki berguna untuk menuntut pengakuan akan tanah dan simbol penerus keturunan. Makin banyak anak laki-laki, makin berharga dan bermartabat. Tanah luas dan keturunan banyak. Anak laki-laki juga berguna agar prajurit mati ada yang menggantikan. Anak perempuan bernilai ekonomi. Perempuan berguna untuk mendapatkan mas kawin dan harta adat (babi).

*

Ringkasan
Di Aitubu, Papua, laki-laki hanya pakai koteka, dan perempuan hanya menutup kemaluannya (entah dengan apa dan entah kemaluan yang mana). Namun ketika bertemu, keduanya tidak saling bertukar salam dan sapa. Bahkan perempuannya akan menunduk. Mereka-mereka yang takut akan leluhur akan menjaga segala interaksi lawan jenis sampai mereka sah menikah. Untuk mendekati perempuan saja butuh perantara. Kepercayaan akan leluhur dijunjung. Mereka takut akan malapetaka, kutukan, penyakit, dan segala hal buruk yang akan menimpa mereka jika melawan peraturan. Upacara-upacara adat dan ritual-ritual diselenggarakan agar mereka terhindar dari mara bahaya.

Meage mencintai Irewa. Ia ingin memperistri Irewa. Meage tahu bahwa Irewa juga merasakan hal yang sama. Ada suatu tradisi di Aitubu untuk menyampaikan rasa cinta dari seorang lelaki kepada perempuan yang dicintainya. Yaitu dengan memberikan betatas dan sayuran. Meage melakukan hal itu. Ia meminta tolong seorang teman untuk menyerahkan keduanya kepada Irewa. Si perempuan memiliki hak untuk menerima atau menolaknya. Tentu saja Irewa menerima barang pemberian dari Meage tersebut. Meage siap mempersunting Irewa dengan segala bekal kebun dan babi yang telah ditabungnya.

Namun ketika upacara menstruasi pertama Irewa selesai, ia diculik.

Review
Membaca cerita fiksi dengan latar adat dan budaya dari suatu suku di Indonesia selalu menjadi hal yang menarik buat saya. Saya bisa menikmati cerita, menjelajahi ragam budaya, sekaligus ‘mampir’ di tempat yang menjadi latar cerita berlangsung. Tiap kejadian dan fakta yang disajikan selalu membuat saya berdecak. Salah satunya dengan gaya berpakaian di Aitubu seperti yang saya tulis di atas. Dari sini saya bisa lihat bahwa pelecehan seksual terjadi bukan karena busana yang dikenakan si perempuan. Penduduk Aitubu juga masih memiliki kepercayaan terhadap leluhur dan dinamisme. Kepercayaan inilah yang membuat mereka takut melakukan hal-hal yang tidak sesuai norma.

Banyak pesan yang disampaikan dari buku ini. Tidak ada post it atau catatan-catatan kecil yang saya buat. Karena memang menurut saya pesan yang disampaikan semuanya berlanjut di satu buku. Apalagi ketika penulis menceritakan tentang keteguhan hati, mental, dan fisik Irewa dalam mengasuh keempat anaknya. Penulis begitu apik menjabarkan keteguhan Irewa lewat narasi panjangnya yang tidak membosankan. Apalagi ditambah dengan percakapan yang minim. Menurut saya, penulis cukup kuat dalam menuliskan narasi.

Ada banyak jurnal dan artikel yang membahas tentang diskriminasi gender yang terkandung dalam novel ini. Saya merasakan hal tersebut. Ada sedikit perasaan tidak terima dan marah. Tapi tokoh-tokoh perempuan yang ada dalam novel ini sedikit mampu menyembuhkan perasaan itu. Mereka saling berhubungan, terkoneksi, dan membantu satu sama lain. Tak ada tokoh perempuan yang saling menyakiti atau memusuhi. Seharusnya ini bisa diterapkan di kehidupan nyata.

Ada dua hal yang membuat saya penasaran ingin terus membaca buku ini. Yang pertama adalah setting waktu berlangsungnya cerita. Penulis menjelaskan bahwa segala sesuatu terjadi secara lambat dan terbelakang di Papua. Jauh dari tanah tempat berpusatnya hiruk pikuk negara (baca: Pulau Jawa) membuat Papua tampak begitu jauh dari peradaban. Apalagi ditambah dengan setting tempat yang merupakan pedalaman Papua dan masyarakatnya yang masih percaya dengan leluhur dan menganut dinamisme. Akhirnya penulis mampu menjawab di akhir cerita.

Yang kedua adalah: apakah Irewa dan Meage akan dipersatukan? Penulis juga mampu menjawab rasa penasaran saya dengan puas. Nilai 5/5 dari saya membuat saya paham mengapa buku ini layak memenangkan Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2015 di bidang prosa. Saya cukup menyesal baru menyelesaikan buku ini hari ini. (diselesaikan 17-12-2017)

Tuesday, April 16, 2019

Untuk Aku

You will be loved. Tak perlu risaukan hal lain. Kamu akan dicintai. Ceruk milikmu akan terisi penuh.

Monday, April 8, 2019

Picisan Dikit

Beberapa manusia dilahirkan hanya untuk menjadi alasan bagi seseorang. Ia biasa hadir tanpa pertanda, tedeng aling-aling, atau bahkan syarat. Kadang ia juga tidak mengerti bahwa kehadirannya dapat berdampak besar bagi hidup seseorang.

Cuma mau bilang, terima kasih telah ada. Terima kasih telah tertawa. Terima kasih telah membuatku menumbuhkan gairah-gairah hidup yang nyaris hilang beberapa bulan belakangan. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku tak bisa kekotamu lalu merencanakan pertemuan. Tapi yang jelas, kehadiranmu begitu memiliki pengaruh di hidupku.

Mengutip lagunya Ipang:
Janganlah berhenti
Tetaplah seperti ini

ps : yang masih mengganggu di kepalaku adalah, we asli ngendi to mas? boso jowone iso muantep tur lancar ngono. tapi ngomong gue-elu yo ora medok blas. ora katon jowo-jowone.

Wednesday, January 30, 2019

Tentang Mencintai

Mencintai adalah perbuatan baik. Seperti berbuat baik, mencintai harus didasarkan dengan rasa ikhlas dan tanpa pamrih. Itulah mengapa harusnya tak perlu ada dendam jika kita sering menemui banyak cinta yang tidak berbalas dari orang yang sama. Karena toh tujuan dari berbuat baik bukanlah untuk dibalas. Barangkali jika kita bisa mencintai seikhlas dan setulus berbuat baik, perkara balasan adalah hal yang tak perlu kita risaukan.

Biasanya balasan dari berbuat baik datang dari orang yang berbeda. Begitulah siklus berbuat baik. A berbuat baik kepada B, B berbuat baik kepada C, C berbuat baik kepada D,  dan seterusnya sampai pada akhirnya nanti akan ada yang berbuat baik kepada A. Cara bekerja mencintai juga seperti itu. Ada siklus tak kasat mata yang pada akhirnya akan berakhir kepada kita. 

Jika siklus ini terjadi dan berakhir kepada kita, maka suatu hari kelak akan ada yang mencintai kita dengan tulus seperti cara kita mencintai orang lain. Itulah balasan dari berbuat baik; balasan dari mencintai dengan cara yang tulus.

Namun ada perbedaan yang sangat menonjol antara berbuat baik dan mencintai. Adalah ketika kita menjadi orang yang dicintai atau menerima perbuatan baik dari orang lain. Kita dapat dengan mudah berkata, "Terima kasih telah berbuat baik kepadaku. Aku tidak bisa membalas dengan cara yang sama. Orang lain pasti akan membalas kebaikanmu." Tapi betapa kita amat susah berkata, "Aku tidak bisa membalas cintamu dengan cara yang sama."

Dibalas atau tidak, itu urusan belakangan. Mencintailah dengan suka cita. Rayakanlah cinta seperti tiada hari lain untuk mencintai. Utarakan cinta karena sudah terlalu banyak kebencian di dunia ini.

xx, 
omong kosong rahamnita

Sunday, January 20, 2019

Menua

Tulisan-tulisanku akan membuat kita tidak nampak menua sedikitpun. Engkau bisa kembali ke usiamu yang ke 27. Usia di mana kakimu masih menginjak tanah perantauan. Tak ingin pulang karena keangkuhan dan egomu yang tinggi terhadap ayahmu. Kita selamanya tidak akan pernah menua karena tulisan-tulisanku akan menyekap usiamu agar tidak bertambah.

Perayaan yang kita lakukan tiap tahun hanya omong kosong agar kita dapat seperti manusia lainnya. Agar seolah-olah kita memiliki hidup yang sama seperti manusia lainnya. 

Kalau saja engku berulang tahun dalam waktu dekat, bukan doa panjang umur yang akan aku sematkan. Tapi aku akan berujar, "Tak perlu takut menua, aku dapat membuatmu terjebak di usia yang sama."

Tapi sayang ulang tahunmu masih lama. Tapi tetap ingat, kau tak perlu takut menua jika bersamaku.