Sunday, January 3, 2021

Surat Terbuka untuk Ibu

Bu, sejak masuk ke SMK, aku memutuskan untuk jadi orang yang berbeda dari teman-temanku. Keputusan ini kadang menyelamatku.

Ketika teman-temanku lebih suka dengan lagu-lagu yang lagi ngetren, aku memilih untuk mencari lagu dari band/musisi yang jarang mereka tahu: Mocca, Incognito, Sinikini. Keputusanku memilih kuliah di jurusan Matematika adalah karena nyaris semua teman-temanku memilih meneruskan kuliah di jurusan Farmasi dan kesehatan. Bahkan, ketika banyak dari temanku ngecengin TNI, aku memilih untuk tak tertarik. Ketika banyak temanku sibuk dengan asmara dan punya banyak kenalan cowok, aku menciptakan sendiri manusia yang aku ingini di dalam kepala.

Bu, aku minta maaf kalau aku suka menyalahkan Ibu karena membuatku memilih sekolah di SMK Farmasi. Masa mudaku terrenggut, Bu. Aku tak bisa merasakan memakai baju putih abu-abu, aku tak bisa merasakan sore di rumah karena sekolahku dari pagi sampai maghrib, aku tak bisa mempelajari lebih dalam mapel IPA yang bisa mengantarku ke jurusan PTN yang lebih kece, dan aku tak bisa mengerti bagaimana cara berteman yang baik dengan laki-laki. 

Yang perlu Ibu tahu, aku jarang menyesali betapa padatnya sekolahku dulu. Berangkat jam 6 pagi, sampai rumah jam 7 malam. Mapel kimia (anorganik, organik, analis) yang katanya teman-temanku susah, aku mudah melibasnya. Praktikum, mata pelajaran yang berjumlah 23, UTS UAS 2 minggu (SMA lain cuma seminggu), jarang main, dll. Kalau boleh sombong, sebagai orang yang ambisius dan cepet nangkep, aku menikmatinya. Apalagi tak ada tetek bengek pacar yang aku harus perhatikan.

Sekolah di tempat yang banyak perempuannya membuat siswa laki-laki membentuk satu komunitas yang sangat amat seksis. Komunitas ini isinya 'cowok cowok maskulin' (ih, jijik kali aku bilangnya, padahal mereka tuh toksik). Komunitas ini memandangku sebagai cewek aneh karena aku tidak cantik dan memiliki cara berpikir yang berbeda. Teman laki-lakiku ada yang baik, kok, Bu. Tidak seksis dan menerimaku sebagai selayaknya manusia. Tapi cuma 3-4 orang seangkatan. Oh ya, laki-laki di angkatan ada 20 orang termasuk 3 tubel (tugas belajar TNI). 

Ibu mungkin ga bisa bayangkan bagaimana tersiksanya aku selama tiga tahun di sana sebagai seorang gadis yang memiliki cara pikir berbeda berada di lingkungan TNI yang sangat seksis. Bahkan aku sering mendapat kalimat yang sampai hari ini sering bikin aku nangis, "Cewe aneh kayak kamu emang ada yang mau? #heyitrhymes" Tapi aku menyangkal kalimat itu dengan membuat teman imajinasi yang mau ke aku. Tuh kan, aneh banget aku, Bu.

Di bangku kuliah, aku menghindari semua laki-laki. Padahal teman laki-lakiku sangat amat beragam meski masih ada satu dua yang memandangku jijik hanya karena aku aneh. Jangankan kepikiran untuk memulai hubungan, membuka pertemanan platonik aja susahnya minta ampun. Aku selalu mikir kalau gak ada yang mau temenan ama aku karena aku aneh dan beda. Bahkan, Bu, di bangku kuliah, aku masih mendapat kalimat serupa. Sambil tertawa, teman laki-lakiku bilang, "Cowok kayak tipemu mah banyak, Jun. Tapi yang mau ama kamu tuh; ada gak?" 

Ya mungkin kedua kalimat celetukan itu bercandaan, ya. Tapi efeknya besar, lho, Bu. Belum lagi ditambah kenyataan bahwa laki-laki yang aku mau, gak mau ke aku. Hehe.

Ibu pernah bilang, kan, kalau jadi perempuan gak boleh banyak tergantung ke laki. Maka itu aku keras ke diri sendiri, Bu. Aku membuat diriku mandiri, kuat, dan tangguh. Hal ini membuatku membaca banyak buku feminis, Bu. Tapi ternyata feminis bukanlah teori untuk tidak membutuhkan laki-laki. Feminis adalah spirit untuk membuat perempuan memiliki hak setara dengan laki-laki. Aku belajar banyak dari kesalahan persepsi ini.

Butuh bertahun-tahun untuk membangun kepercayaan diri, Bu. Bukan sebagai perempuan yang diidamkan banyak laki, melainkan sebagai manusia yang memiliki hak yang sama. Temanku banyak kali, Bu. Aku amat sangat mudah bergaul dan masuk ke lingkaran pertemanan. Teman lelakiku kini juga lebih banyak dan mereka lebih menghargaiku sebagai selayaknya manusia. Mereka menjawab bahwa aku aneh dan mereka mau berteman denganku. Tapi tetap saja, perkara hati itu masalah lain.

Aku pernah dekat dengan sejumlah laki-laki yang jumlahnya bisa dihitung jari. Banyak orang mengira kalau aku pemilih. Padahal aku susah didekati laki-laki karena ada luka yang amat meradang. Tapi pada akhirnya, ya...belum ada yang cocok, Bu.

Jadi, Bu, jangan desak-desak aku menikah. Aku mau ke sana, tapi biarkan aku menyembuhkan luka hatiku yang meradang sangat hebat ini. Biarkan aku mengubah dendam menjadi memaafkan. Sembari aku memperbaiki diri menjadi manusia yang lebih baik, aku menyembuhkan luka itu dengan berbagai cara.

Aku tak cari laki-laki yang sempurna bak malaikat. Aku mencari laki-laki yang melihatku sebagai seorang manusia, vice versa.

Di atas aku sempat singgung kalau aku selalu memilih jalan yang berbeda dengan teman-teman kebanyakan. Jadi, jangan pernah samakan aku dengan teman-temanku. Aku punya caraku sendiri. Mungkin aku akan nikah kalau lagi gak musim nikah. Hehe, canda, Bu.


--


Surat yang harusnya ibu baca, tapi aku takut untuk sampaikan.