Thursday, November 5, 2020

Ke Tenggara

Timur, katamu, adalah arah yang paling damai. Kau bisa melihat matahari terbit dari sana atau menuggu purnama naik. Tentu saja jika di hadapanmu terlihat cakrawala yang jelas. 

Namun selatan, bagiku, adalah debur paling ganas yang selalu ingin aku dengar. Aku tak pernah peduli jika ia dapat mengikisku. Aku mau ditenggelamkan oleh ombak besar.

Dapatkah kau bayangkan bagaimana ombak pantai selatan ketika purnama sedang naik?

Mau kau ke tenggara? Jalan tengah dari masing-masing arah yang kita ambil. Tiada mengapa jika memang aku tak bisa ditenggelamkan oleh ombak besar. Tapi, apakah kau mau sedikit menoleh ke kiri untuk melihat waktu-waktu berhargamu? Oh, tenang saja, sepertinya pada bulan-bulan tertentu, matahari bisa terbit agak sedikit ke tenggara.

Tapi aku selalu mengira ada gadis lain yang suka menghadap ke barat. Melihat senja tenggelam ke peraduannya. Lalu pada akhirnya, kalian dapat berhadapan, bahkan berpelukan. Tak perlu mencari arah tengah seperti yang aku cari untuk kita. Adakah gadis itu benar-benar ada di hadapanmu?

Friday, October 2, 2020

Untuk si Terang

Akhir November 2009, seorang aku yang berusia 16,5 tahun dengan polosnya membuat sosok imajinasi di kepalanya. Ketika itu ia (aku sebelas tahun yang lalu) berharap pada sosok ini untuk menghapus sepi dan memberi warna. Sejak hari itu, ia percaya bahwa bulan November telah berganti nama menjadi Lovember.

Tahun berganti, sosok ini memiliki nama berikut segala latar belakang. Betapa naifnya ia, ia tak tahu jika ia sedang membohongi dirinya sendiri. Tapi ia telah memiliki teman untuk berbagi mimpi. Ia telah menciptakan sosok yang percaya akan mimpi-mimpinya.

Tahun 2010, sosok ini telah meyakinkan ia, bahwa mimpi besar yang selalu diceritakannya tak akan bisa direnggut oleh orang lain meski orang-orang itu telah mendapat hal-hal kecil yang selama ini ia inginkan. Tahun 2011, ia ingat betul semangat belajarnya bertambah untuk masuk ke universitas impiannya setalah mendapat pesan singkat dari sosok tersebut.

Tahun-tahun bergulir, ia tak pernah kehabisan stok semangat dari sosok yang tak pernah lelah untuk selalu ada meski tak nyata. Membaca buku-buku, diskusi demi diskusi, dan latihan ninja selalu dilakukan ia tiap kali mendapat perintah dari sosok tersebut. Ia selalu merasa bahwa hanya sosok tersebut yang mampu memahami mimpi miliknya.
"Bisa, kah? Bisa, kan? Bisa lah! Aku gak kenal dengan Nita yang gak bisa apa-apa."
Tiap kali ada langkah baru yang berkenaan dengan mimpinya, ia selalu menceritakannya dengan bangga kepada sosok tersebut. Ia tahu langkahnya masih berat dan jauh untuk dapat benar-benar sampai ke mimpi besarnya. Tapi ia selalu merasa perlu menceritakan langkahnya kepada sosok itu. Meski ia kadang lupa bahwa sosok itu tak pernah benar-benar membantunya secara langsung.

Sekecil apapun langkah yang ia hadapi dan ambil, ia selalu merasa lebih dekat lagi dengan mimpi-mimpinya. Ia selalu merasa bahwa ia mendapat langkah tersebut berkat dukungan dari sosok yang diciptakannya. Sungguh, ada rasa ingin dalam hatinya untuk berterima kasih kepada sosok itu. Tapi, bagaimana caranya?

Ia juga ingin selalu berbagi dan melaporkan persoalan mimpi-mimpinya sebab hanya sosok tersebut yang tahu. Namun, ia juga sadar kalau sosok itu tak nyata. Ada rasa janggal yang selalu ada dalam dadanya.
-    Kok aku nulis sih, mas?
                    +    Lah, kan kamu yang minta dan ingin.
-    Kok dikasih? Kenapa pintaku yang lain tidak?
Empat hari lagi sosok tersebut akan berulang tahun. Rasanya akan jadi waktu yang tepat untuk memberi kejutan dan menjelma menjadi panitia kebahagiaan. Tapi ia tahu hal itu tak bisa ia lakukan. Jika ia berdoa agar sosok tersebut segera diganti menjadi yang nyata, akan terdengar sangat egois. Tapi toh, seegois apapun ia, ia tak akan melukai siapa-siapa. 
"Kowe sing ngelakoni, aku mung biso ndungo lan ngamini. Ra biso ngancani."


Friday, August 7, 2020

Dikoyak-Koyak Struktur

Writing is a lonely job. Having someone who believes in you makes a lot if difference. They don't have to makes speeches. Just believing is usually enough.
 Stephen King
Beberapa hari yang lalu membaca quote ini di Twitter. Sedih rasanya ketika diri ini menyetujui kalimat pertamanya: Writing is a lonely job. Ketika menyelami dunia di dalam kepalaku, aku seperti berjuang seorang diri. Tak ada siapa-siapa di sana. Teman-teman nyataku jarang aku ajak ikut serta karena kupikir mereka tidak paham dengan imajinasi dan jalan pikirku. Aku harus menyusun satu demi satu teka-teki di kepala untuk disajikan kepada teman-teman nyataku. Sendirian. 

Namun, ketika aku keluar dari dunia di dalam kepala, aku seringkali didera kesepian. Aku tak mendapati siapa-siapa yang bisa aku ajak bicara tentang hal-hal remeh dunia nyata. Aku seperti kehilangan kemampuan berkomunikasi dengan manusia nyata. Maka dari itu kalimat kedua menjadi penolong: Having someone who believes in you makes a lot if difference. Sayangnya, aku hanya tahu kalau seseorang yang percaya itu adalah teman imajinasiku sendiri.

Aku sering mengutuk diri sendiri untuk berhenti menulis lantaran aku tak kuat dengan perbedaan dunia di dalam kepalaku dan dunia nyata. Aku lelah dengan tantrum-tantrum yang sering terjadi karena aku berkonflik dengan dunia di dalam kepalaku. Lebih sialnya lagi, aku sering takut menceritakannya ke teman nyataku karena aku yakin mereka tidak mengerti apa yang aku rasakan. 

Aku juga sering tidak percaya diri. Merasa tidak layak untuk menulis dan menerbitkan cerita. Merasa semua cerita yang ada di dalam kepalaku adalah picisan, omong kosong, dan tak layak dinikmati oleh orang lain. Tak kurang sekaliasekali mempertanyakan kemampuan menulisku. Apakah aku yakin dengan keinginan itu?

Sampai di titik ini, aku sadar kalau suatu hari nanti aku butuh pergi ke psikolog.

*

Beberapa hari yang lalu, aku menyelesaikan buku Save The Cat karya Blake Snyder. Aku sikat dengan lekas sebab akan dibahas dan didiskusikan bersama Mbak Nabila dan Mama Na yang baru saja mendapat 'ilmu' dari bahasan buku Save The Cat untuk novel. 

Ternyata, struktur cerita adalah teori yang mudah namun susah dilakukan.

Mampus kau dikoyak-koyak struktur!

Setelah membaca buku itu, aku sadar sendiri kalau aku tidak berhenti untuk menuju apa yang aku impikan selama ini. Aku juga tiba-tiba sadar tentang jalan lengang dan pintu yang terbuka lebar untukku selama dua tahun belakangan. Tersebutlah Kelas Menulis Skenario Ernest Prakasa, SCARA 2019, Gramedia Short Film Festival, dan Klub Literasi Anak. 

I'm not quitting.

Meski harus terjerembab dan terseok-seok sendirian.

Setelah berdiskusi membahas isi buku dan struktur cerita, kepala terasa gaduh kembali. Metode-metode baru tercetuskan. Ide cerita yang berdiam selama enam tahun menemukan jalan akhirnya. Selama tiga hari, aku menyusuri kota sendirian tanpa tujuan untuk menelusuri jalan cerita. Malamnya, aku mengurung diri di kamar memetakan isi kepala.

Tadi, pukul 8 malam aku ketiduran. Aku didatangi mimpi yang terasa begitu dekat dan nyata: aku menjadi penulis. Ketika terbangun, tak ada hasrat lain selain ingin mewujudkannya. Baru saja selesai mengerjakan sinopsis, keputusan ending yang aku gunakan, tabel kondisi awal dan akhir tokoh, dan index card tiap adegan. Masih banyak yang harus dikerjakan, masih banyak cerita yang masih kusut. 

Bikin stres dan pusing tapi seneng. Maka, jadilah kata Stephen King pada kalimat ketiga dan keempat: They don't have to makes speeches. Just believing is usually enough.

*baru sadar udah subuh.


Image
Sajen perut dan minum adalah wajib

xx, rahamnita




Friday, May 8, 2020

Jatuh pada Jiwa

Telah aku temui sebentuk jiwa paling indah. Betapa manusianya ia dengan segala lebih dan kurang, luka dan bahagia, nestapa dan tawa telah mengisi ceruk miliknya. Segala yang ia tak punya adalah kekayaan untuk melihat warna lain yang ia miliki.

Aku ingin memasuki raganya. Aku ingin menyusuri kepalanya dan akan membiarkan diriku tersesat. Agar aku dapat lebih lama berkenalan denan caranya memandang dunia, jalan pikirnya, bahasa yang ia kuasai, rencana-rencananya, dan segala hal rumit yang tak dapat ia urai.

Aku ingin merayakan segala duka, lara, tangis, dan nestapa yang ia paksa untuk tidur lebih lama lalu menerimanya sebagai hal yang membuatnya semakin menjadi manusia.

Aku ingin bercerita tentangnya sepanjang hari karena sebanyak itu aku telah mengagumi jiwa paling indah yang tak pernah aku temui sebelumnya.

Tuesday, March 31, 2020

Pemacu Pemicu

Gimana? Mau nulis apa ini? Niat sudah ada lho. 

Coba dikulik otaknya ya. Isinya apa? Ada siapa saja di dalam situ? Siapa yang akan memainkan cerita? 

Jika tak ada yang bermain, coba didirikan dulu taman bermainnya. Prosotan, jungkat-jungkit? Panggung pertunjukan? Waktu? Perjalanan? Peradaban baru? Apa?

Kalau masih belum ada taman bermainnya, coba bayangkan halaman kosong. Ah, ternyata halaman ini tak lagi kosong. Kau bisa menggelar apa saja di atas halaman yang sudah kau mulai ini. Bisa taman bermain, pasar malam, ruang gelap kosong yang ada di kepalamu, bait, paragraf, atau bahkan omong kosong. Tapi, kalau bisa jangan omong kosong. Orang akan abai. Kecuali kau sudah lama berkiprah mengisi halaman yang didatangi banyak orang. 

Coba renungkan kembali, apa yang cocok untuk halaman yang sudah terisi dengan 123 kata ini? Kalau sampai malam nanti tak jua bertemu dengan permainannya, kau boleh menginap sehari-dua hari. Bebas. Toh halaman ini milikmu. 

Tapi, ya, kamu harus ingat saja kalau rumput tetangga akan selalu lebih hijau. Kalau halamanmu tak kau isi sekarang, tetangga akan lebih dulu menuai rumput hijaunya.

Tuesday, March 17, 2020

Hari Depan

Sering kali aku didera ketakutan akan hari depan. Takut jika nantinya aku tak sanggup menghadapi apa yang terjadi. Takut jika nantinya tiba-tiba orang-orang tak lagi dapat mengingatku. Jika aku dihadapkan oleh hal ini, aku biasanya tidur sepagi mungkin sampai setidaknya orang rumah baru bangun. Lalu jika aku mulai terjaga, aku paksa mataku untuk kembali terpejam. Kenyataan begitu menakutkan.

Jika ini terjadi kepadaku, aku biasa menarik diri dari pertemanan, keluar dari semua grup WhatsApp, membenci semua temanku, membuktikan bagaimana jadinya jika mereka hidup tanpa aku.

Dua hari yang lalu aku bertanya pada diriku sendiri. Bagaimana jika aku tak pernah dilahirkan? Bagaimana jika suatu hari nanti aku tiba-tiba menghilang dari bumi dan ingatan orang-orang yang mengenalku? Adakah mereka akan lebih bahagia?

Lalu tibalah hari ini. Hari yang aku tunggu-tunggu akhirnya tiba. Bagiku, usia 27 adalah sebuah ketakutan terbesar. Chairil Anwar dan Soe Hok Gie waat sebelum usianya 27. Hal ini yang selalu aku wanti-wanti kepada temanku untuk menyelamatkan hidupnya dalam perjalanannya menuju 27. Apakah aku sanggup bertahan sampai usiaku 27?

Barangkali aku sudah cukup bertahan sampai hari ini. Tapi, apakah aku bisa bertahan setidaknya sampai tahun depan?

Hari ini terasa sedikit menyenangkan karena doa baik yang terpanjat dari teman-teman. Panjang umur, bahagia selalu, dan dilimpahkan rezekinya. Aku berharap tak ada doa-doa tentang jodoh dan cinta. Aku pikir aku dan teman-teman sudah bosan dengan permintaan tentang hal itu. Barangkali aku harus menghentikan pertanyaan bagaimana rasanya dicintai?

Tapi jika ini adalah kesempatan terakhir, izinkan aku memohon doa ini:
Jika memang dia adalah orangnya, buat kami dekat. Jadikan ia nyala, nyata, dan nyata. Karena aku ingin merasakan dan mengerti bagaimana rasanya memberi. Aku janji akan mencintainya sebanyak yang aku bisa. 
Jika bukan ia, beri ia hidup yang lebih bahagia dari hari ini. Buat ia menjadi dewasa dan bijaksana. Pertemukan ia dengan perempuan yang dapat saling melengkapi. Kebahagiaannya adalah kebahagiaanku juga.

Hatiku telah patah berkali-kali dan remuk berkeping-keping tapi semoga ia tidak kehilangan kemampuannya untuk memaafkan dan mengikhlaskan.

Saturday, January 11, 2020

Utara

Ada derap dada tiap kali mendengarkannya berbicara. Aku percaya bahwa yang hidup dapat menyalakan degup meski nyala makin meredup. Kini aku bertemu lagi satu manusia yang tak ingin aku ceraikan nyawa dari tubuhnya lewat untaian kata yang aku buat. Tak ada metafora untuk menggantikan jiwanya jika harus aku bunuh rasanya. Kepalaku adalah orbit tempat dunianya berputar. Tapi toh dunianya tak hanya berputar untukku. Aku tak ingin menginginkannya.

Wednesday, January 1, 2020

Menuju 2020

Aku tak begitu mengingat apa saja yang terjadi pada semester pertama 2019. Ingatanku hanya ada di bulan April. Selebihnya mungkin gagal sidang, menjalani hari-hari dengan biasa saja, kesepian, dan aku menikmati masa-masa kelamku.

Patah hati, ke Solo.
Pernah aku tulis di postingan berikut(tapi sepertinya akan segera dihapus karena ada hal yang menggembirakan). Tidak bisa dibilang patah hati terbaikku. Tapi dari patah hati tersebut aku belajar memaafkan dan menemui diri sendiri di Solo.


Sidang
Setelah pernikahan sahabatku tepat di akhir semester pertama 2019, 30 Juni 2019, tiba-tiba tangan dan otak bergerak untuk segera sigap menyelesaikan tanggungan Tugas Akhir. Ditambah lagi kepala departemen dan dosen pembimbing mengancam akan mengeluarkanku jika aku tak segera maju sidang. Hari-hari yang amat berat; menyelesaikan apa yang telah aku mulai. 26 Juli 2019 akhirnya selesai sidang. 

Image
S. Mat: Sarjana Mathemaesthetic

Klub Literasi Anak
Dua sampai tiga minggu setelah sidang, tiba-tiba seseorang menghubungiku untuk menjadi pengajar di Klub Literasi Anak atas rekomendasi Hestia Istiviani. Sudah lama penasaran dengan KLA dan tiba-tiba saja ada tawaran mengajar. Kesempatan yang tak pernah terpikirkan. Betapa menyenangkannya berbagi ilmu dan pengalaman bersama teman-teman kecil tentang dunia literasi(membaca dan menulis). Di KLA juga aku belajar banyak hal dari penggagasnya dan dari teman-teman kecil.


Jakarta
Wawancara program dari BEKRAF, SCARA 2019. Pertama kalinya menginjakkan kaki di tanah ibukota. Tak hanya wawancara, aku juga datang ke JILF yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki; pasar santa; POST; ketemu teman-teman; merasakan naik MRT, Trans Jakarta, dan KRL, dan banyak pengalaman seru.


Jakarta without saying its word.


SCARA 2019
Aku ingat betul baru sampai Surabaya hari Selasa pagi, badan langsung tepar. Ketika tidur, aku bermimpi kalau aku diterima dalam program SCARA 2019. Tiba tiba aku terbangun dan pukul 11 siang aku langsung mengecek surel. Alhamdulillah! Aku diterima menjadi salah satu dari 20 peserta terpilih.

Dari SCARA 2019 ini aku bertemu dengan teman-teman baru yang sefrekuensi, seru, dan menyenangkan! Salah satu pengalaman yang gak bisa aku lupakan dari SCARA adalah pertama kalinya naik pesawat dan tidur di hotel dibayarin! Haha, norak ya. Tapi untuk bisa bertemu dengan teman-teman SCARA 2019 dan dilatih oleh mentor-mentor kece adalah sebuah pengalaman yang tak disangka-sangka. Bikin pingin ikutan lagi tahun depan tapi BEKRAF sudah bubar. :(

Bersama kelompok 4: (ki-ka) Mas Chandra, Widan, aku, Kak Diva as mentor, Mba Dini, dan Koko.
Katanya mas Salman Aristo, 
"Sampai jumpa di industri!"


Wisuda
Setelah delapan tahun kuliah, akhirnya wisuda juga! Seperti janjiku kepada diriku sendiri, aku menari di acara wisudaku. Dan, aku punya dokumentasi acara wisuda di jurusan. Terima kasih, Cici!




Indonesia Menari
Entah kapan mulai berpikir untuk mengikuti ajang Indonesia Menari. Awal tahun 2019 kemarin aku memutuskan untuk ikut sanggar tari lagi, Komunitas Kuwung. Yang punya sanggar masih muda pun. Oktober kemarin dia menantang kami untuk ikut Indonesia Menari 2019 di Solo. Berbekal nekat, kami berenam berangkat termasuk dia.


Kami tak membawa piala. Karena tujuan kami bukanlah piala atau kemenangan. Tujuan kami adalah berangkat ke Solo dan mengikuti lomba. Menyenangkan sekali bisa tiba-tiba menyoret salah satu mimpi di list tanpa disangka-sangka.

Antologi Pertama
Sebelum menghitung mundur pergantian tahun, Ihdina tiba-tiba mengirimkan pesan lewat WhatsApp. Begini isinya:


Tulisanku lolos kurasi. Tulisan patah hati yang aku bahas di pembuka postingan ini aku ikutkan lomba. Tulisan dari 25 penulis yang lolos kurasi akan diterbitkan menjadi antologi. Berikut tautan pengumumannya.


*
2019 adalah tahun yang begitu tak terduga. Banyak mimpi yang tiba-tiba mewujud di tahun ini. Mimpi yang ditulis, mimpi yang diucap, bahkan mimpi yang masih dalam angan-angan. 

Di akhir tahun 2019 juga aku belajar mencintai diri sendiri, belajar menerima apa yang telah terjadi pada diriku. Semua hidup ternyata punya siasat. Ternyata benar kata orang-orang. Semua terasa mudah jika kita mampu mencintai diri sendiri. Aku lebih bisa mendengarkan apa yang dibutuhkan oleh diri. Bisa menahan apa saja yang menjadi nafsu yang dulu sering aku turuti.

Desember pertengahan kemarin juga memulai projek kecil-kecilan bersama dua orang teman yang masih belum bisa aku umumkan sekarang. Nanti, ya! Kami juga tak sabar menyajikannya ke hadapan kalian.

Tahun 2019 juga mencoba berbagai kota. Surabaya, Malang bertemu dengan Ayu Utami, Jakarta untuk SCARA 2019, Solo setelah patah hati dan Indonesia Menari, Jogjakarta mengunjungi JAFF, dan Trenggalek dengan pergantian tahun.

2020 nanti aku ingin lebih mencintai diri sendiri, lebih banyak menulis, dan berkarya. Aku siap menyambut kejutan-kejutan 2020! Termasuk jatuh cinta dan patah hati.

Pergantian tahun 2020 kemarin aku memutuskan untuk menghabiskannya di Trenggalek. Membawa laptop, menulis, dan memotret. 


xx,
rah