Tuesday, January 25, 2022

Untuk Todi/Kelana

Ada baiknya membaca tulisan ini sambil mendengarkan lagu Vierra - Seandainya.

*

Kami dipertemukan karena undian lotre yang dikocok Tuhan. Kencan pertama kami adalah jalan kaki 3,5 kilometer, pembacaan puisi Pada Suatu Hari Nanti karya Sapardi dengan lirih di toko buku, dan menunggu hujan dengan bermain siapa paling banyak menonton film TOP 50 IMdB. Setelah itu, kencan-kencan terjadi di Perpustakaan C2O dan warung Mbah Cokro. Yang paling penting adalah obrolan kami yang tak pernah ada habisnya. Apa saja kami bicarakan.

Dari kepalanya aku mengenal Sartre, Carl Jung, dan Freud. Tokoh wayang kesukaannya adalah Bhisma. Film favoritnya adalah 12 Angry Men yang belum pernah berhasil aku tonton. Baginya, Raden Mandasia adalah novel yang haram untuk dilewatkan. Aku masih ingat caranya membaca di warung kopi tempat kami biasa bertemu. Musik favoritnya adalah musik metal, punk, rock, dan musik-musik keras lainnya yang sayangnya tak pernah bisa aku pelajari. Aku masih ingat bagaimana ia berduka ketika mendengar Chester Bennington meninggal.

Aku masih ingat bagaimana ia selalu membayangkan obsesinya tentang anarko dan menjadi anak punk. Celana jeans favoritnya adalah yang berwarna hitam, berbentuk pensil ketat, agak belel, dan paling tidak pernah dicuci. Aku yakin, baju-baju di lemarinya hanya hitam, hitam, hitam, abu-abu, dan navy. Pernah suatu kali aku datang dengan kaos berwarna oranye. Ia langsung menunduk dan menghindari bertukar pandang. Sepatu favoritnya yang selalu ia kenakan adalah Converse High Chuck Taylor berwarna hitam. Aku bahkan masih mengingat parfum apa yang ia pakai.

Di kepalaku terrekam jelas bagaimana ia tertawa begitu lepas; seperti telah terkurung lama. Aku mengingat betul ia suka menggunakan kata 'kemudian' ketika bercerita. Ia kehilangan logat jawanya ketika mengobrol denganku, namun logat matramanannya masih lekat di lidah ketika berbahasa Jawa. Ia memanggilku 'Mbak', aku memanggilnya 'Pak'.

Kopi adalah oleh-oleh yang selalu ia tawarkan ketika melakukan dinas ke luar kota yang dalam sebulan bisa sampai dua hingga tiga kali. Ia selalu mengirim laporan "I'm on board" melalui chat WhatsApp jam berapa pun, meski aku masih tertidur. Ia memperkenalkanku pada sapaan selamat pagi dan malam. Ia yang memperkenalkan aku dengan pertanyaan sepele tentang sudah makan atau belum. Ia suka mengirim meme dari twitter, info twitwor, artikel, dan apa pun yang menarik di internet.

Aku tak pernah lupa bagaimana ia menjadi relawan untuk menggantikan peran Galang Adyatarna. Meski ia tak bisa menggambar, bermain musik, dan fitur-fitur di tubuhnya tak mirip seperi Galang, ia berhasil menjadi sumber inspirasiku. Aku suka mendokumentasikan kejadian-kejadian yang kami lalui ke dalam tulisan. Aku menulis dua cerpen yang terinspirasi darinya. Padahal sebelumnya aku tak pernah membuatkan cerpen yang aku dedikasikan untuk seseorang; ia dapat dua. Sampai saat ini, belum ada yang bisa membuatku menulis sebanyak itu lagi untuk seseorang.

Aku sempat merayakan ulang tahunnya yang ke-25½. Karena aku belum mengenalnya ketika ia berumur 25 dan belum tentu kami masih bisa bersama ketika ia berumur 26. Sebuah pop up dengan angka 25½, cheesecake, dan sebuah buku mampu membuat mukanya berubah merah padam. Barangkali ia pernah dan akan merayakan ulang tahun di hari kelahirannya bersama perempuan lain. Tapi hanya ketika ia bersamaku, ia merayakan ulang tahunnya yang ke 25½.

Sebulan setelah perayaan ulang tahunnya yang ke 25½, ia memilih pergi. Pamit, tapi meninggalkan janji dan luka. Ia mengaku masih memiliki kekasih yang menjalani hubungan jarak jauh. Ia pernah berjanji ingin diantar ke bandara—jobdesc favoritku di dalam pertemanan. Sebulan setelah itu, peristiwa-peristiwa penting dalam hidupnya ia kabarkan lewat mimpi; termasuk perempuan baru yang mengisi hidupnya. Perkiraanku benar: kami tidak bisa merayakan ulang tahun bersama di bulan Maret, ketika usianya bulat 26 dan aku 25.

Aku dihantui oleh kabar hidup dari seseorang yang tak ingin aku pedulikan lagi. Aku marah, aku dendam. Sedang ia bahagia dengan hidupnya. Kepada perempuan barunya, aku diceritakannya. Tentu saja dengan narasi berbeda: Juni, seorang teman perempuan yang ia temui di perpustakaan. Selama 1,5 tahun, dendam itu kubiarkan membara. Namun, setelah ia mengabarkan pernikahannya dengan perempuan yang ia temui ketika masih berkencan denganku, perasaan itu tiba-tiba hilang. Berganti menjadi tanya tentang narasi yang ia ciptakan tentangku kepada perempuannya. Sayang, sampai hari ini, aku tak bisa menuntut penjelasan lebih banyak tentang perilakunya ketika kami masih sering berkencan, alasannya pergi, dan narasinya tentangku.

Maka, untuk hidupku yang lebih baik, agaknya aku harus meluruskannya sendiri dengan merevisi beberapa bagian:

Kami bertemu di perpustakaan secara tidak sengaja. Tidak dari lotre. Percakapan pertama kami adalah tentang buku yang aku baca di dekat rak. Bukan karena pertanyaan tentang konsep ke-Tuhan-an.Kami bercakap banyak. Sangat banyak, sampai-sampai aku memilih untuk menyamakannya saja dengan kejadian sebenarnya. Kami tak pernah membicarakan tentang masa depan karena itu adalah satu-satunya topik yang paling mustahil.

Bagi orang yang suka membaca buku, bertemu dan berkenalan dengan seseorang di perpustakaan adalah khayalan picisan yang paling tinggi; apalagi sampai merencanakan pertemuan di luar perpustakaan dan toko buku. Hal itu terjadi kepada kami. Aku yakin, inilah alasan mengapa ia bersikeras menarasikan aku sebagai perempuan yang ia temui di perpustakaan.

Kejadian-kejadian setelahnya anggap saja sama persis. Aku hanya ingin mengubah bagaimana kami bertemu dan berpisah.Ia tidak pergi. Kami memutuskan untuk sama-sama menyudahi. Masa depan tak akan pernah bisa kami hampiri. Dengan begini, tak ada kesumat, tak ada angkara.

Todi—Kelana, kalau tulisan ini telah sampai ke hadapanmu, kamu tak perlu lagi menjelaskan apa-apa. Hutangmu lunas. Kamu hanya perlu menunggu ceritaku tentang seorang laki-laki yang membuat Galang Adyatarna purnatugas. Aku juga menunggu hari itu datang.