Sunday, January 21, 2018

4/10 untuk The Greatest Showman

Beberapa hari yang lalu(Kamis 18/01), seperti biasa ada yang mendadak ngajakin nonton film di tengah-tengah suntuk  ngerjain TA. Siapa lagi kalau bukan saya sendiri. Karena belakangan banyak yang sering update tentang The Greatest Showman, akhirnya saya memutuskan untuk menonton film tersebut. Bukan, bukan karena saya penasaran dan betulan ada niat nonton. Semua terjadi berdasarkan intuisi.

*

Film ini bercerita tentang perjalanan hidup P.T. Barnum dan sanggar sirkusnya. Masa kecilnya, Barnum adalah anak dari seorang penjahit yang jatuh cinta dengan seorang anak dari klien bapaknya yang bernama Charity. Charity dan Barnum saling jatuh cinta. Setelah pertemuan pertamanya, pada hari yang sama keduanya berpetualang di sebuah rumah tua. Barnum dengan mudah membuat Charity terkesima dengan caranya bercerita. 

Sampai suatu ketika Charity harus menempuh pendidikan di luar kota membuat keduanya harus berpisah di dua kota yang berbeda. Tapi alhamdulillah, keduanya masih menjalin silturahim lewat surat. 

Tak lama, ayah Barnum meninggal dunia. Sepeninggal ayahnya, Barnum tetap harus bertahan hidup. Meski ia harus sering mencuri roti untuk bisa membeli kertas surat yang nantinya dikirimkan kepada Charity.

Setelah dewasa, Barnum melamar Charity.

Oke, cukup sekian saya membahas sinopsisnya. Kalau dilanjutkan, dapat menimbulkan spoiler.Tapi sayangnya, bakal ada banyak spoiler setelah ini. Hehe.

Secara keseluruhan, saya kurang suka dengan film ini. Bukan karena ini film musikal. Saya termasuk orang yang bisa menikmati dan suka dengan film musikal. La La Land, Les Misérables, dan lain-lain. Mari kita bahas satu-satu.

s t o r y l i n e   d a n   p l o t
Gak masuk akal. Plotnya gampang ditebak. Sekalinya salah tebak, eh gak masuk akal.

Ketika Ayah Charity menolak Barnum, saya menebak bakalan ada drama keluarga. Tetapi dengan mudahnya Charity meninggalkan ayahnya dan menikahi Barnum.

Nah, ketika Jenny Lind bertemu dengan Barnum, saya menebak bakal ada skandal. Eh, iya dong. Padahal setelah research di wikipedia, Jenny Lind dan Barnum gak ada skandal.

Endingnya? Wah kalau dibahas dari segi dramaturgi sih lebih baik tak perlu membahasnya.

m u s i k
I was expecting a time machine. Tapi apa? Musiknya too pop. Belum lagi perkara Jenny Lind. Jenny Lind diperkenalkan sebagai penyanyi opera. Tapi ketika bernyanyi, saya mbatin, "Operanya di mana nih kalo boleh tahu?"

Musiknya bagus, tapi kalau disandingkan dengan set waktunya, gak nyambung. I was expecting too much.

k o s t u m
Terlalu kontemporer. Di mata saya sih agak mencolok. Seperti musik, saya berekspektasi sebuah mesin waktu. Dengan set waktu akhir abad 18an, harusnya saya bisa melihat sesuatu yang lain dari film ini. Tapi ternyata saya gak melihat apa-apa. Kecuali baju Charity yang selalu biru. Gak selalu sih, tapi kebanyakan berwarna biru.

*

Awalnya memang saya tidak berekspektasi apa-apa tentang film ini. Ekspektasi mulai saya buat ketika film dimulai. Tapi bukan ekspektasi berupa "Wah film bagus nih" "Wah soundtracknya menjanjikan nih" "Film musikal, bisa dilihat-lihat koreonya nih". Bukan. Saya lebih berekspektasi tentang mesin waktu yang bisa saya rasakan ketika saya melihat film ini.

Seperti dibilang di awal, secara keseluruhan saya kecewa dengan film ini. Apakah hanya karena tidak memenuhi ekspektasi saya? Iya, tapi bukan ekspektasi yang demikian. Mungkin karena saya agak sedikit gak terima dengan cara penyampaian sang sutradara yang semi kontemporer.

Memang tidak dijelaskan kalau ini adalah film biopik yang menceritakan kehidupan P.T. Barnum. Tapi beberapa karakternya ada yang beneran nyata, meski beberapa karakternya ada yang buatan atau diganti (Bailey diganti Phillip Carlyle, meski di Wikipedia dijelaskan sebagai composite character). Kejadiannya pun ada yang dibuat-buat (seperti skandal Barnum dan Jenny Lind) meski ada pula yang benar adanya (Pak Barnum bikin pertunjukan sirkus).

Atau saya yang kelewatan pernyataan 'Half Fiction Half Biopic Movie'? Atau memang tujuannya 'Half Classic Half Contemporary Movie' ya? Sorry to say, gak masuk di logika saya. Kesannya setengah-setengah. Mungkin kalau misal semua tokohnya dibuat fiktif dan ceritanya terinspirasi dari Pak Barnum, saya masih bisa menerimanya.

Tapi masih bisa dibilang film ini bagus, meski saya agak sedikit kecewa. Hm, lebih banyak kecewanya sih. Hehe.

Meski begitu, film ini bikin saya research tentang P.T. Barnum, Victoria Era di Amerika, Americans Slavery, sejarah kata 'circus' jika dibedah dari sudut pandang linguistik, Musik Opera, dan beberapa hal lain yang kayaknya ditunda saja karena masih ngurusi Tugas Akhir.

Awalnya sih mau kasih rating 6/10, karena film ini cukup tidak sesuai dengan apa yang saya bayangkan untuk menjadi mesin waktu. Tapi jadi 4/10 karena tokoh utamanya, P.T. Barnum, bukanlah tokoh fiktif. Kalau film Indonesia sih bisa maklum ya.

*rah

Saturday, January 20, 2018

Membaca Si Parasit Lajang

Si Parasit Lajang adalah buku kelima Ayu Utami yang saya selesaikan. Ini sedikit mengejutkan. Mengingat saya punya kepercayaan terhadap diri saya sendiri kalau saya tak mungkin menghabiskan dua-tiga buku dari penulis yang sama. Ini saya membaca lima bukunya! Hebatnya lagi, buku Ayu Utami yang saya punya ada delapan. Sungguh prestasi yang perlu dibanggakan. Ah, nyatanya saya sudah membaca buku Pram sebanyak 2,5 buah dan sepertinya akan selalu jatuh cinta dengan gaya menulis Pram.

Setelah membaca buku ini (Si Parasit Lajang), yang terpikir oleh saya adalah menulis adalah salah satu cara untuk mengungkapkan pemikiran tanpa perlu diinterupsi. Meskipun nantinya akan ada kritik-kritik, setidaknya kritik tersebut tentunya adalah hasil dari pemikiran yang dikaji secara dalam dan tidak spontan.

Membaca Ayu Utami tentunya tidak akan jauh dari paham feminisme. Dan ternyata, secara tidak sadar saya memiliki pemikiran feminis sebelum saya mengerti dan paham arti feminis itu sendiri. Tapi kadang saya juga masih ragu untuk mengecap diri sendiri sebagai seorang feminis meski saya membenci patriarki dan berusaha untuk tidak seksis. Tapi toh nyatanya feminisme lebih dari sekadar itu dan saya merasa ilmu saya masih terlalu cekak untuk memproklamirkan diri sebagai seorang feminis. Oh, tentunya saya mendukung gerakan-gerakan yang bersifat feminis.

Oke, kembali ke buku.

Seperti yang dijelaskan pada sinopsis yang ada di belakang, buku ini berisi tentang cercahan pikiran seorang perempuan urban yang di akhir usia dua puluhannya ia memutuskan untuk tidak menikah dan menyebut diri si parasit lajang (sebutan yang dilontarkan oleh feminis Jepang). 

Jujur, awalnya saya tak membaca sinopsis di bagian belakang buku, lantas saya mengira buku ini berisi tentang pemikiran-pemikiran feminis Ayu Utami tentang hal-hal yang menjadi alasannya untuk tidak menikah. Pada beberapa bab, Ayu Utami memang melontarkan alasan-alasannya untuk tidak menikah. Tapi ternyata buku ini tak melulu tentang itu. Buku ini tidak melulu tentang pandangannya tentang pernikahan, seks, dan segala tetek bengek yang berkaitan tentang hubungan lelaki dan perempuan. Ah, bahkan dia bercerita tentang homoseksual (yang berarti ini bukan hubungan antara lelaki dan perempuan, melainkan sesama jenis).

Sayangnya, saya tidak menulis atau memberi tanda pada bab-bab yang membuat saya setuju atau tidak setuju atas pemikirannya. Salah satu pemikiran yang saya setujui adalah pemikirannya tentang pengetahuan seks bagi perempuan. Kebanyakan remaja putri tidak saling terbuka atas pengalamannya terhadap seks. Tidak seperti remaja putra yang dengan mudahnya bercerita pengalaman seks mereka. Ini membuat kami (remaja putri) suka mencoba dan menerka untuk ‘mengenali’ tubuh kami sendiri. Hal ini sangat disayangkan sebab salah satu pengetahuan yang tidak diajarkan oleh orang tua adalah pengetahuan tentang seks.

Jika saja anak-anak perempuan lebih terbuka mengenai eksplorasi seksual mereka sejak dini, mungkin tak teralu banyak ketakutan yang mereka alami.

Seperti yang saya sebutkan di atas, buku ini tidak hanya bercerita tentang feminisme, pernikahan, dan seks. Ayu Utami juga bercerita tentang Utan Kayu (yang sekarang menjadi Komunitas Salihara), hal-hal magis yang membuatnya tertarik (sehingga ia menulis seri Bilangan Fu), asisten rumah tangganya, dan hal-hal lain yang mebuat saya tertawa satir. Beberapa pemikirannya juga kadang tak sepaham dengan saya. Sayangnya, saya tak mencatat itu semua.

Perihal seks, saya selalu suka dengan cara penyampaian Ayu Utami. Kapan-kapan saya akan bahas hal ini. Saya masih belum menemukan padanan kata untuk mendeskripsikan cara penyampaian Ayu Utami tentang seks. Ini menjadi PR bagi saya sebab sudah lima buku dia yang telah saya baca.

Pada akhirnya, saya tidak bisa memeberikan rating untuk buku ini. Karena saya sudah begitu hapal dengan gaya penulisan Ayu Utami dan tidak mungkin saya beri bintang 5/5 karena buku ini bukanlah novel yang biasa saya baca. Buku ini juga tak sesempurna itu. Saya juga merasa tidak bisa memberikan angka terhadap suatu pemikiran seseorang. Sebab benar bukanlah hal yang mutlak. 

Saya juga banyak belajar dari buku ini. Dulu saya suka menulis suku kata yang baru saya temui. Buku ini menyajikan banyak suku kata (lebih ke arah suku kata yang menyajikan sebuah paham sperti -isme -is) yang belum saya tahu. Tapi sayangnya, saya tak menuliskannya. Ini menjadi evaluasi untuk saya agar tak lagi malas menyelipkan kertas di dalam buku dan membawa pena ketika membaca. Sebab tak mungkin saya berdekatan dengan ponsel pintar saya ketika membaca.

*rah