Friday, October 21, 2016

Tembok

Ada yang hampir pergi setelah lama menetap hampir tujuh tahun di suatu tempat. Selama tujuh tahun itu, kami banyak mencipta. Mimpi-mimpi, teori-teori, bahasa-bahasa kesepakatan, kebahagiaan, cerita, dan percakapan. Termasuk tembok beton yang tebal, tinggi, dan kokoh. Sebab yang mendasari tembok ini dibangun adalah agar apa yang ada di dalam tembok itu tidak diusik oleh manusia-manusia di luar, dan apa yang ada di dalamnya tak boleh pergi. Saya telah ceritakan tentang makhluk-makhluk ganas yang tak dapat ia bayangkan.

Suatu ketika, saya sadar bahwa yang selama ini saya kurung di tembok itu adalah diri saya sendiri dan sesosok kekosongan. Saya pernah memutuskan untuk menyudahinya. Namun saya terjebak di dalam tembok tinggi yang telah saya bangun sendiri. Selama itu pula saya tak pernah tahu apakah ada yang berusaha menghancurkan tembok yang saya bangun itu. Saya terlalu lama menetap di dalam dan tak ada jendela untuk melihat ke luar.

Pernah suatu hari saya memiliki keyakinan bahwa yang dapat menghancurkan tembok itu adalah manusia terpilih. Dengan hanya disentuhnya saja, tembok itu akan hancur dengan sendirinya. Bukan seorang pemuda sakti dengan segala peralatannya.

Beberapa hari yang lalu, tembok itu hancur. Saya tak tahu apakah ada yang menyentuhnya atau itu kehendak saya yang dari dalam. Dan sosok kosong yang selama tujuh tahun itu pergi. Tak pernah sedikitpun saya berusaha mencari. Masih ada sisa-sisanya yang menetap. Tapi jika sosoknya pergi, sisa-sisa tersebut tak ada yang menggerakan.

Namun setelah tembok itu hancur, saya masih enggan ke mana-mana untuk berpetualang. Saya enggan jatuh cinta. Telah banyak cerita-cerita terdengar di telinga saya tentang kawan yang masuk ke jurang karena jatuh cinta.

Ada yang harus merelakan semua isi kepalanya diisi oleh pria yang ia inginkan namun tak menginginkannya; ada yang harus merugikan temannya; ada yang harus memutus pertemanan karena ia telah buta dan amat menginginkan si pria; ada yang harus memutus pertemanan karena si pria tak suka dengan teman kekasihnya, atau sebaliknya; ada yang harus ingkar janji kepada temannya karena menuruti seseorang yang baru dikenalnya sepuluh hari.

Gila.
Saya tak mau kehilangan pertemanan karena saya.

Selain itu saya tak mau menangis sia-sia. Tak ada ruang dan waktu untuk itu. Saya tak mau patah hati nantinya.

Maka saya memutuskan untuk tinggal saja di ruang terbuka ini. Diam dan ketakutan, barangkali. Karena saya tak tahu menahu tentang dunia di luar tembok.

Siapa saja yang berkenan masuk, tolong bantu saya. Mintalah izin. Jangan sampai saya mengusir orang yang ingin menetap lama di sini, atau malah mengizinkan orang untuk menetap lebih lama padahal ia hanya bertandang untuk minum teh.

Barangkali saya harus membuat tembok itu lagi. Atau harus ada yang saya manipulasi untuk itu.

Wednesday, October 5, 2016

Perangception

Saya mau cerita. Kali ini tentang seorang pria. Dan ini kisah nyata.

Saya baru saja sampai rumah dari menonton film ketika cerita ini ditulis. Film yang saya tonton adalah Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children. Di tengah-tengah cerita saya menangis. Saya kangen dengan kakek saya.

Tidak hanya sampai di situ. Seusai film, saya masih menangis, namun selalu saya tahan. Sayangnya, saya menonton sendirian, dan ponsel pintar saya mat Saya tak bisa menghubungi siapapun untuk laporan bahwa saya kangen dengan kakek. Atau setidaknya menyalakan musik agar saya sedikit lupa akan apa yang saya rasakan.

Maka yang saya lakukan selama berjalan menuju ke tempat parkir sepeda motor adalah: menunduk, berjalan cepat, terus mengusap air mata yang sudah berusaha saya lawan agar tidak keluar, dan membuat tangan sibuk (dengan membuat kepalan kuat, meremas ujung jaket, atau memainkan kunci motor). Otak saya lagi perang sama otak. Otak perang sama hati. Masa lalu perang sama masa sekarang. Perangception.

Awalnya seperti tertarik ke pusaran waktu. Semua ingatan, keputusan, dan sebab-sebabnya berputar secara bersamaan dalam otak. Seperti sengatan, menyerang hanya dalam kurung waktu sedetik. Semua hal-hal yang berhubungan dengan kakek hadir. Saya pernah bercerita tentang kedua kakek saya di sini dan di sini.

Lalu saya berpikir bahwaq selama saya mebuat sosok Galang karena saya membutuhkan kehadiran seorang kakek dalam hidup. Barangkali kami dapat bercengkrama seperti Abe dan Jake. Fase tentang kakek ini sebut saja fase K.

Galang dan kakek (dari pihak ibu). Saya pikir keduanya memiliki beberapa kesamaan. Sama-sama tak pernah bertemu secara fisik (sebelum Lebaran 2014), sering saya rindukan, dan sering saya fantasikan. Saya kalut, bingung, takut. Tentu saja saya boleh menangis, kan? Saya rindu kakek dan saya boleh menangis.

Namun secara bersamaan, saya meniolak untuk menangis. Saya yang lain menolak untuk menangis. Saya jalan sendiri, bertemu dengan orang-orang untuk turun dari bioskop. Lantas apakah saya akan membiarkan mereka untuk melihat saya menangis? Membiarkan mereka menanyai saya, “Kenapa, Mbak?”?

You’re okay. You’re okay. Begitu saya ucapkan berulang-ulang kepada saya ketika berada di dalam lift, dengan ketakutan dan kekacauan yang terjadi di otak seperti yang saya ceritakan di atas.

Keluar dari lift dan berjalan menuju tempat parkir, selain memutar fase K, saya juga ingin menangis, saya juga melarang diri saya untuk menangis. Semua datang bertumpukan sekaligus bergantian. Hasilnya begini : sebentar saya menangis, sebentar kemudian saya memasang muka datar seolah tak terjadi apa-apa, lalu tak lama saya menangis kembali dengan isi kepala fase K.

Sesampainya di motor, saya kembali menangis. Namun saya yang lain menolaknya. Ini sudah malam, ujar saya yang lain. Saya berkendara sendiri, daerah PENS-ITS adalah daerah yang sepi. Kalau saya menangis, saya akan mengeluarkan bahasa tubuh bahwa saya sedang lemah. Jika saya terlihat lemah, bahaya.

Dalam perjalanan, saya bersikap seperti biasa yang saya lakukan ketika pulang agak terlalu malam : pasang muka jelek dan serius, berkendara dengan gaya laki-laki, dan ngebut. Biasanya, agar tak merasa sepi dan berpikiran kosong, saya menyalakan musik. Tapi karena ponsel pintar saya mati, maka saya memilih untuk berbicara dengan Galang.

Lalu saya heran dengan diri saya sendiri. Bagaimana bisa saya mengambil sikap dan keputusan seperti itu? Bagaimana bisa saya melarang diri saya menangis karena hal-hal tersebut?

Banyak teman saya yang menjuluki saya aneh hanya karena saya berbeda dengan teman-teman mereka. Namun ada pula yang mengapresiasi keanehan saya dengan menjuluki saya unik, berbeda, lain dengan yang lain, aneh tapi bikin kagum, cara berpikirnya berbeda, nyeleneh, dan lain sejenisnya.

Pantas saja saya sering kewalahan dan heran dengan apa yang terjadi di diri saya. Seperti apa yang saya ceritakan di atas. Saya tak menyesal lalu mengutuki diri saya. Barangkali saya harus banyak latihan Ilmu Pengendalian Diri dan menjadi bukan Jun atau Nita untuk bisa melihat atau menganalisis apa yang terjadi terhadap diri saya.

Tuh kan. Kalian paham apa yang saya maksud? Saya mulai berprasangka yang tidak-tidak. Pasti sedang mengerutkan kening ya?

*

Mengapa saya menuliskannya?
Sebab jika diceritakan secara lisan, kosa kata saya terbatas. Namun melalui kata yang biasa saya tuliskan, saya dapat dengan lancar dan jujur. Rupanya saya terbiasa menulis ketimbang berbicara. Itung-itung latihan, pamer kelihaian mengolah kata, dan pamer kecantikan.

Mengapa menuliskannya di blog?
Saya tertutup. Saya amat picky dengan siapa calon pendengar yang saya izinkan untuk mendengar cerita saya. Dengan ditulis di blog, semua orang bisa tahu tentang kepribadian saya yang seperti ini. Mencoba untuk terbuka.

Dan siapa tahu orang-orang yang tidak mengerti dengan jalan pikiran saya dapat mengerti dengan baik.

Tapi saya akan menulis apa yang perlu saya tulis saja.

Menulis tangan.
Sebelum mengetiknya di layar digital, saya terlebih dahulu menulisnya di buku atau kertas. Keuntungannya sangat banyak dan saya lebih suka cara ini.

*

Terima kasih telah bersedia meluangkan waktu untuk membaca (dan mendengar) cerita saya.


×××,
Rahmadana Junita