Monday, March 25, 2024

Ide dan Sinikini

Sehun yang lalu, aku pulang dari psikolog dengan sebuah PR besar: sinikini. Bukan, bukan menjadi band favoritku yang hanya punya satu album itu. Tapi menjadi di sini, kini. Hari ini aku bertemu dengan sebuah pemikiran agar aku bisa lebih banyak melatih sinikini. Aku memisah diriku menjadi tiga subyek yang berbeda:

Aku, di sini, kini.
Dia, di sana, kemarin.
Siapa, di mana, entah kapan.

Ini semua bermula karena aku merasa aku lebih bisa menghargai teman-temanku daripada diriku sendiri. Aku selalu melihat teman-temanku dengan positif: pekerja keras, baik hati, logis, mudah memaafkan, dll. Akhirnya aku mencoba memandang diri sendiri dari sudut pandang ketiga.

Aku mengenalnya sejak kecil. Sejak dia tidak tahu apa-apa tentang kehidupan. Aku melihatnya berpikir, melakukan banyak hal, dan segala pertumbuhan yang terjadi pada dirinya. Dia orang yang gigih. Dia usahakan hal-hal yang ia ingin dapatkan. Pun sekarang masih belum banyak yang dia ketahui, dia tak henti-hentinya belajar.

Aku lebih bisa melihat diri sendiri secara obyektif ketika aku memisahkan diri sendiri menjadi dua: aku dan dia. Cara ini pernah dicoba oleh salah seoang teman. Selain bisa melihat diri sendiri secara obyektif, dia juga mengaku bisa lebih banyak menghargai dirinya sendiri.

Selain sinikini, satu PR besar dari psikologku adalah menurunkan ekspektasi. Dalam perjalanan menurunkan ekspektasi, aku mencari definisi tentang ekspektasi yang terjadi di dalam diriku. Lalu aku menemukan diriku sangat lihai dalam berpikir dan beride. 

Ide adalah hasil kerja otak. Apa yang terjadi di otak adalah ide. Aku sering mengalami jatuh cinta dengan ide tentang seseorang(we falling in love with the idea of someone). Aku sering membayangkan seseorang tersebut di dalam kepalaku menjadi sebuah ide dan inspirasi untuk tulisan-tulisanku. 

Ekspektasi adalah bagian dari ide. Aku suka membayangkan hal-hal yang belum terjadi di masa depan sebagai ekspektasi yang indah. Kekecewaan selalu terjadi ketika kenyataan berlainan dengan ekspektasi.

Nostalgia juga bagian dari ide. Bedanya, nostalgia terjadi di masa lalu. Aku suka meromantisasi hal-hal yang sudah terjadi di masa lalu. Hal ini membuatku menjadi individu yang susah move on.

Ide dalam dimensi waktu

Ide–yang di dalamnya terdapat nostalgia dan memori–tidak benar-benar terjadi di depan mata. Semuanya tidak nyata. Semuanya hanya terjadi di dalam kepala. Apalagi aku suka sekali berpikir. Banyak pekerjaan-pekerjaan yang aku lakukan lebih banyak menggunakan kepala: analisa, mengonsep, merancang, memikirkan ide cerita, dll. Nostalgia dan ekspektasi membuat otakku berdaya karena otakku sedang bekerja. Tapi sayangnya hal ini yang membuatku kesulitan untuk sinikini. 

Aku sudah bisa memisahkan diriku sendiri menjadi dua subyek: aku dan dia. Aku juga memisahkan dua subyek ini dengan dua dimensi waktu dan tempat yang berbeda:

Aku, di sini, kini.
Dia, di sana, kemarin.

Aku adalah orang yang aku kenal sekarang. Dia adalah orang yang pernah aku kenal.

Agaknya ada yang kurang. Ada satu subyek yang belum aku temui. Siapa? Di mana? Kapan? Maka aku melengkapinya:

Siapa, di mana, entah kapan.

Untuk bertemu dengan siapa, aku harus terus berjalan. Aku tidak bisa terus-terusan bersama dia. Suatu hari kelak, aku akan menjadi dia, aku menjadi seseorang yang pernah aku tanyakan siapa, dan akan selalu ada siapa yang tak pernah habis.

Dia, aku, dan siapa pada kemarin, hari ini, dan entah kapan.

Inilah mengapa ke-aku-an tidak pernah habis. Aku akan terus menanyakan siapa aku?

Lihatlah, betapa aku suka berpikir seperti ini. Tulisan ini ditulis karena pemikiranku. Aku yakin konsep ini pernah dipaparkan oleh ahlinya. Alih-alih mencari literatur atau artikel, aku mengonsepkan sendiri apa yang terjadi di dalam pikiranku.

Aku sendiri memahami bahwa kerja otakku sering berlebihan. Aku lebih suka berpikir daripada eksekusi. Aku harus bisa mengendalikannya dan melampiaskan ke hal-hal yang tidak melukaiku atau orang lain.

Ketika overthink, aku membaginya dalam dua overthink: (1) overthink yang harus diladeni dan perlu diuraikan lewat menulis, dan (2) overthink yang tidak perlu. Untuk overthink yang tidak perlu, aku percaya kalau otakku sedang butuh kerjaan. Aku biasanya menggunakannya untuk bermain TTS, mengerjakan soal, atau meriset tulisan.

Belakangan, ketika aku mulai beride dan berekspektasi tentang seseorang, aku memberi otakku pekerjaan dengan mengonsep cerita atau memikirkan jalan cerita. Ketika aku mulai mengungkit masa lalu yang seharusnya nggak diungkit, aku mengajak kepalaku untuk mempelajari sejarah.

*

Pekerjaan-pekerjaanku yang lebih banyak menggunakan kepala ini membuatku ingin lebih banyak menganggarkan uangku untuk pergi ke psikolog.

Saturday, February 24, 2024

Mari Kita Pergi Saja

Kita sama-sama sedang menanggung duka dan kesukaran hidup yang telah lama membebani bahu. Aku memang tiada banyak tahu seberapa berat duka yang engkau tanggung. Tapi, dari raut sayu matamu, telah dapat kubaca bahwa kau telah menahan keluh yang begitu lama.

Kalaulah bisa bebanmu kau bagi denganku, aku mau membawanya. Tiada mengapa jika aku harus membawa beban berlipat ganda. Asal kau dapat bernapas lega. Tapi sayang beban nasib selalu menempel pada tubuh masing-masing kita. Bebanmu tetap menempel padamu, dan beban hidupku pun.

Kau sering berujar bahwa kau ingin pergi saja. Jika kau pergi, aku mau ikut serta. Aku juga ingin pergi. Atau kau saja yang ikut pergi bersamaku.

Jika kau pergi bersamaku, aku akan mengajakmu ke tempat yang orang lain tiada akan pernah tahu. Tiada orang lain yang akan mau mengekor. Kita buat sendiri dunia yang tiada miliki kesukaran itu. Barangkali jika kita bisa meniadakan hukum grafitasi, mari kita tiadakan saja. Agar beban yang selalu kau bawa itu terasa lebih ringan.

Di sana, hanya akan aku dan engkau. Kita akan buat dunia yang tidak bisa melukai kita dan apa-apa yang kita inginkan bisa di depan mata. Aku tak bisa janji kau bisa menghapus duka itu. Tapi kita bisa sama-sama saling bergurau melupakan waktu sampai mata kita berair. Kurasa itu sama saja dengan air mata.

Namun, kalau kalau kau tak bisa tertawa juga, barangkali kita memang harus menangis saja. Nanti akan aku buat peraturan bahwa air mata adalah alat tukar yang paling berharga. Semakin banyak air mata yang dikumpulkan, maka akan semakin ringan langkah kaki.

Jika memang kita harus menangis selama tiga hari tiga malam untuk meringankan langkah kaki selama sehari, aku mau menangis bersamamu sepanjang tahun untuk meringankan kakimu selama empat bulan. Kalau aku bisa memberikan keringanan langkahku untukmu saja, akan kuberikan. Biarlah aku menangis sepanjang tahun, menggantikan dukamu, agar langkah kakimu terasa ringan lebih lama.

Tak perlu kau risaukan aku. Hatiku akan ringan jika melihat langkah kakimu ringan. Kalau kau bersikeras tak mau menerima upah air mataku, tak apa. Aku pakai sendiri. Tapi izinkan aku menemanimu menangis selama yang kau ingin. Meski duka tak bisa dibagi dua, aku mau ikut merasakan dukamu yang memberatkan itu.

Maka, mari kita pergi saja ke tempat itu. Mari kita menangis saja. Mari kita rasai duka berdua. Mari kita kumpulkan liter-liter air mata.

Wednesday, December 13, 2023

24fps.


Galang dihadirkan karena aku tidak sanggup menghadapi lima perasaan yang datang secara bersamaan ketika aku berusia 16 tahun: kesepian, iri, tidak diinginkan, kehilangan, dan diabaikan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kalutnya perasaanku kala itu ketika harus berhadapan dengan perasaan tidak nyaman tersebut; sehingga harus membuat tokoh khayalan yang hanya hidup di kepalaku.

I was sick. Selama 14 tahun aku menipu diriku. 

Tahun kemarin, tiga belas tahun kemudian, aku mulai memberanikan diri untuk menghadapi perasaan-perasaan itu. Aku mau belajar berjalan dengan satu roda karena aku mau belajar berkompromi dengan satu roda lain yang akan menemaniku menghadapi terjalnya hidup.

Setahun ini rasanya kepayahan. Namun aku cukup mampu dan berani menghadapi satu persatu trauma yang muncul. Lalu datanglah lima hidangan itu secara berurutan: belum selesai merasakan kesepian, datanglah tidak diinginkan, lalu iri, lalu kehilangan teman sekantor, lalu terabaikan.

Aku pingin pulang. Aku pingin pulang ke rumah yang dindingnya terbuat kaos abu-abu semen dan jaket merah bata dengan lantai celana kargo krem selutut dan atap rambut acak-acak. Aku ingin pulang ke pemuda bertelinga empat dan nir-ego.

Aku datangkan ia kembali setelah satu tahun menjalani hidup dengan satu roda.

Lalu muncullah ide untuk dapat menyekapnya dalam potret dan tulisan. Sekaligus berbicara pada dunia tentang betapa sepi, sengsara, sakit, dan kosongnya aku. Apalagi sebagian besar inspirasi dan doronganku untuk menulis adalah Galang Adyatarna. Doronganku untuk mempelajari dan melakukan banyak hal juga Galang Adyatarna. Masa-masa yang membuat hidupku lebih hidup juga karena di kepalaku ada Galang Adyatarna.

Jadi aku aku akan membuat proyek tentang Galang Adytarna di Kabelegi:

24 semester, 24 jam, 24 tempat, dan 24 frame dalam 1 detik. 24fps.

Tentu saja aku skeptis dengan proyek ini.

Pertama, seperti proyek-proyek lainnya, proyek ini pasti tidak selesai karena ada proyek lain yang lebih menarik bagiku.

Kedua, kupikir aku akan sedikit gila. Ah, aku memang gila. Aku memang selalu merasa kesakitan selama 14 tahun belakangan. Aku selalu meminta tolong, namun sepertinya tidak ada yang mengindahkan. Aku selalu mencari bahasa yang tepat untuk menyampaikan segala luka dan kesakitanku lewat tulisan tapi sepertinya juga percuma.

Ah, ternyata ada 3 hal yang membuatku skeptis: tidak selesai, terlihat sakit, dan tidak ada yang akan peduli. Tapi ya, kalau dipikir-pikir, siapa tahu cara ini adalah cara yang tepat untuk mengakhiri kesakitan dan berkomunikasi dengan dunia bahwa aku sakit.

Kita lihat nanti.

Monday, October 30, 2023

FCT #1: Rencana Pmbnhn

Setiap kali aku mendengar kabar dari ibu tentang kerabat atau saudara yang akan melangsungkan lamaran atau pernikahan, dadaku seperti terbakar. Sama seperti ketika aku mendengar kabar serupa dari kawanku. Ketika mendengar kabar-kabar itu, sebenarnya aku tak benar-benar bahagia. Aku tak benar-benar ingin datang dan merayakannya. Aku ingin selalu mendoakan agar langkahnya tak mudah, hidupnya tak bahagia, dan akan selalu tersandung duka dan lara.

Ada kalimat yang selalu berhenti di tenggorokan: aku juga ingin. Aku juga ingin memiliki pasangan, melaksanakan lamaran, lalu menikah. Namun, alih-alih aku mengutarakan keinginan ini, aku lebih penasaran dengan siapa aku akan menghabiskan sisa hidupku. Untuk memenuhi rasa penasaran ini, kupikir jalan satu-satunya adalah membunuh banyak orang dan menyisakan satu orang yang akan menjadi suamiku.

Manusia-manusia pertama yang aku bunuh adalah kekasih dan mantan kekasih adik-adikku. Kalau mereka tidak memiliki kekasih atau mantan kekasih—yang kurasa tidak mungkin—, aku akan membunuh perempuan yang membuat mereka jatuh hati. Adik-adikku tidak boleh lebih dulu bahagia dariku. Ah, dunia ini sungguh tak adil. Aku telah membayar banyak hal untuk mereka, lalu mereka dengan mudahnya mendapat pasangan. Aku yang menderita, mereka yang serta merta bahagia.

Lalu manusia-manusia berikutnya yang akan aku bunuh adalah mereka yang pernah berujar kalimat-kalimat yang tak menyenangkan, kamudian membuatku terdiam lama, dan bertengger di kepala sampai saat ini. Mereka berbicara begitu mudahnya tanpa pikir panjang. Kalau aku tak mampu membunuh mereka, barangkali aku potong saja bibir atau lidahnya agar mereka tak perlu semena-mena lagi padaku. Mereka adalah yang pernah berbicara:

‌"Nikmatilah masa jomlomu." Tai anjing! Kurang menikmati bagaimana?!? Aku telah lama jomlo daripada ia. Ia yang tak kuat merasakan nikmat jomlo, sehingga menikah, lalu ternyata pernikahannya tak bahagia. Aku yakin suaminya telah mengekang geraknya dari kanan, kiri, dan tiga anak.

"Jadi perempuan jangan suka menggambar alis, terlalu berani, mandiri, pintar, bisa segalanya, dll. Nanti suamimu apa tugasnya?" Ketahuilah, manusia seperti ini adalah mereka yang tak bisa menggambar alis, tak bisa apa-apa, menggantungkan diri kepada orang lain, tak bisa bernalar logis, dan bodoh. Mereka berujar seperti ini karena mereka tak tahu bagaimana cara memuji. Sepanjang hidupnya mereka hanya menelan celaan. Kasihan sekali. Apakah harus kupotong saja telinganya agar mereka tak lagi bisa mendengar celaan dan cercaan yang menyakitkan itu?

"Menikahlah, jangan terlalu banyak menikmati hidup." Manusia seperti ini sebenarnya memiliki hidup yang tak jauh berbeda dari manusia yang pertama. Rumah tangganya tidak bahagia. Bedanya, ia ingin mengajak aku turut serta untuk merasakan nestapa yang tak kunjung usai itu. Beban yang ditanggungnya berat dan ia tidak bisa berkomunikasi dengan pasangannya. Sengsaralah hidupnya. Ah, kasihan betul.

"Kamu terlalu unik, punya cara pandang yang berbeda, ekspresif pula. Lelaki idamanmu di luar sana ada banyak. Tapi aku tak yakin apakah kamu adalah idaman mereka." Aku telah menelan kalimat serupa seperti ini selama bertahun-tahun. Sejak SMK hingga kuliah. Aku memang sudah melupakan betapa sakitnya hati ini karena terus mempertanyakan apakah aku harus mengubah diri. Tapi aku akan selalu mengingat nama mereka yang dengan entengnya mengucapkan kalimat tersebut. Barangkali ucapan mereka terbukti: tak ada laki-laki yang mengidamkanku. Barangkali mereka mudah menghasut manusia. Barangkali aku saja yang mudah terhasut oleh omongan mereka. Maka dari itu, aku bunuh saja orang-orang ini agar mereka tak menghasut laki-laki yang ternyata mengidamkanku.

‌"Jadilah seperti perempuan pada umumnya. Laki-laki tak suka perempuan seperti kamu." Tak sekali dua kali aku diminta untuk menjadi orang lain, lalu nantinya aku akan kehilangan diri sendiri. Orang-orang seperti ini sejatinya adalah tak punya jati diri. Makanya mereka bisa menjadi siapa saja agar bisa dicintai. Untuk manusia-manusia ini, barangkali aku akan penuhi permintaannya untuk menjadi orang lain. Aku akan mengelupas kulit wajah mereka dan memajangnya di etalase agar mereka bisa bergantian ingin memiliki wajah seperti apa dan menjadi siapa.

"Sudahkah kamu menyelesaikan trauma masa lalumu?" Aku sungguh betul ingin membantah apakah di KUA nanti ada tes penilaian penyelesaian masa lalu. Kalau belum 100% beres, tidak boleh menikah! Konyol, aku seperti akan menikah dengan malaikat saja yang tak punya masa lalu dan dosa. Dikiranya aku juga tak punyai kesadaran diri dan tak mampu mencintai seseorang dengan segala traumanya, lalu aku tidak diperbolehkan untuk menikah sebelum seluruh trauma yang pernah aku miliki hilang dan musnah. Orang-orang seperti ini akan aku kurung di dalam sel-sel sempit tanpa makan tanpa apa. Agar mereka bisa menjelajahi masa lalu dan masa depan, kemudian menghadapi dengan gagah segala trauma dan ketakutan yang katanya sudah mereka damaikan.

Setelah aku membuat orang orang ini tak bisa bicara lagi, atau mati, aku akan membunuh seluruh pasangan-pasangan. Pasangan suami istri, pasangan yang akan menikah, atau pasangan kekasih. Aku tak peduli umur. Seluruh manusia yang telah berpasangan akan aku bunuh. Aku mungkin bisa membunuh perempuannya saja, tapi aku tak mau merebut lelaki dari seorang perempuan lain untuk kebahagaiaanku sendiri. Aku tak mau menyakiti perempuan lain. Maka aku bunuh saja dua-duanya. Lalu, jika mereka memiliki anak, aku juga akan membunuh anak yang tak berdosa itu. Aku tak mau mereka menjadi anak yatim piatu yang terlunta tanpa orang tua. Aku tak tega.

Selanjutnya, aku akan membunuh seluruh perempuan yang tidak berpasangan. Aku tak mungkin menikahi perempuan. Kemudian setelah perempuan-perempuan ini mati, muncullah laki-laki yang melolong menangisi perempuan yang dicintainya telah tiada. Mereka akan kebingungan bagaimana menghabiskan hidup tanpa perempuan-perempuan ini. Maka aku permudah saja hidup mereka dengan membunuhnya. Agar mereka tak kesusahan lagi atau bingung bagaimana menghabiskan hidup tanpa perempuan yang dicintainya. Laki-laki yang mencintai perempuan lain juga tak akan mungkin dengan mudahnya berbelok langsung menginginkanku.

Manusia terakhir yang aku habisi adalah laki-laki yang usianya terlalu muda atau terlalu tua untukku. Aku tidak mungkin menikahi seseorang yang berusia tujuh belas tahun.

Lalu tersisalah laki-laki yang tidak memiliki pasangan dengan usia yang tak jauh berbeda denganku. Untuk mempertahankan hidupnya, mereka harus bertarung. Aku akan menyediakan banyak babak untuk mereka lewati. Modal yang mereka harus miliki hanyalah isi kepala yang kaya. Pertarungan sengit ini barangkali akan seperti acara Kuis Siapa Berani atau Rangking Satu. Mereka akan mempertaruhkan pengetahuan mereka dengan berbagai soal dan pertanyaan.

Jika kandidat sudah menipis menjadi sepuluh, tes terakhir adalah tes berkencan dengan penilaian yang sangat subyektif dariku. Kencan yang akan kami lakukan akan penuh dengan obrolan seperti tes wawancara tapi akan lebih mudah karena aku tak perlu menanyakan beberapa hal seperti: mantannya, saudara-saudaranya, atau bahkan orang tuanya. Karena barangkali mereka telah aku bunuh dan perjalanan kami ke depan tak akan lebih mudah tanpa adanya hal-hal tersebut.

Dari sepuluh kandidat ini akan aku saring lagi menjadi lima dan aku akan memilih satu laki-laki yang paling cocok denganku.

Lalu bagaimana jika sampai akhir pertarungan tak ada satu kandidat pun yang lolos? Bagaimana jika setelah membunuh laki-laki dengan usia yang terlalu muda dan terlalu tua, tak ada satu laki-laki pun yang tersisa? Tak jadi masalah. Kalau memang betul tak ada laki-laki yang tersisa, artinya memang betul tak ada laki-laki yang ditakdirkan untukku. Buktinya sudah jelas; teramat jelas.

Ketika sudah pasti tak ada laki-laki yang ditakdirkan untukku, aku akan menghabiskan sisa hidupku dengan keluargaku: bapak, ibu, dan kedua adik-adikku. Tak jadi masalah jika memang aku akan menghabiskan sisa hidupku seorang diri. Toh aku sudah melakukannya selama 30 tahun ini. Kami akan merayakan pembuktian yang jelas terbukti. Kami akan habiskan sisa waktu di dunia ini dengan rasa sepi berlima. Kami akan sama-sama sengsara dan kesepian. Setidaknya tidak hanya aku yang tidak bisa menikah. Adik adikku juga. Kami akan menjadi lima manusia terakhir yang ada di bumi.

Tuesday, October 3, 2023

Untuk Nita si Petualang

Segala ingatan tentang pengalaman pertama apresiasi seni selalu tersimpan rapi di kepala. Aku tak pernah lupa bagaimana pertama kali aku menonton wayang dengan pencahayaan ublik (lentera) dan debog (pohon pisang) di Trenggalek bersama kakek di tempat mbecek (kondangan) dengan berangkat menaiki sepeda kumbang, teater pertama yang kebetulan cukup surealis di Gedung Kesenian Cak Durasim dengan kaos berkerah berwarna merah jambu, dan tentu saja film pertama di bioskop, Petualangan Sherina.

Kala itu tahun 2000 aku masih berusia tujuh tahun, kenaikan kelas 3 SD. Setelah menerima rapor dan mendapatkan hasil yang memuaskan yaitu rangking 1, aku langsung mengutarakan keinginanku: "Nonton Petualangan Sherina sekarang. Pokoknya sekarang. Titik." Bioskop dekat rumah yang menjadi tujuan adalah Mitra 21. Tiketnya masih Rp8.000 dan ngantrinya lamaa banget. Berangkat dari rumah jam 12, bersama bapak, dan kami baru dapat jadwal nonton jam 19. Ketika ditawari untuk pulang dan menunggu di rumah, aku bersikeras menolak. Akhirnya aku dan bapak mengaso di masjid belakang Mitra 21 yang sekarang menjadi satu kawasan Balai Pemuda a.k.a Alun-Alun Surabaya. Sampai hari ini, 23 tahun kemudian, ingatan dan perasaanku hari itu masih tersimpan rapi di kepala.

Sejak kecil, aku lebih suka memilih mainan pistol dan pedang. Setelah menonton Petualangan Sherina, aku jadi semakin suka dengan karakter-karakter cewek pemberani dan perkasa. Xena The Princess Warrior dan Sherina adalah karakter cewek yang aku suka sejak kecil. Petualangan Sherina memberikan efek yang luar biasa di masa kecilku. Aku tak begitu punya kenangan fisik berupa CD atau poster. Tapi di kepalaku ada ingatan yang terus berputar bagaimana inginnya aku menjadi petualang yang pemberani dan kuat. Kalau ke luar kota aku selalu ingin pakai sepatu boots, tas ransel, dan jaket bomber.

Ketika umur bertambah, aku tumbuh dengan benih-benih yang Sherina tinggalkan di filmnya: selalu bertanya, 'Kenapa sih kok...' 'Emang...' 'Kok bisa ya...' Ketika umur bertambah, sebenarnya aku juga tumbuh jadi gadis tomboy yang kadang terobsesi pakai flannel dan kaos oblong. Waktu kuliah, aku suka banget pakai celana jeans belel dan selalu merasakan kesenangan yang meletupp-letup tiap kali ada perjalanan ke luar kota. Ketika menonton sekuelnya, Petualangan Sherina 2, aku seperti diingatkan bahwa aku dulu juga sempat memiliki kepercayaan diri dan keberanian yang cukup besar. Aku pernah menjadi Nita yang tidak meragukan kemampuan dirinya. Tapi sayangnya, aku cukup pengecut untuk jadi petualang. Aku merasa aku tak ke mana-mana dan diam di tempat.

Meski hari ini aku masih menjadi Nita yang keras kepala dan ngeyelan seperti Sherina, tapi aku seperti kehilangan dan merindukan Nita yang percaya diri dan pemberani.

Awalnya aku pikir aku memang tidak pernah ke mana-mana. Aku tak pernah menjelajah panjangnya sungai Kapuas, menaiki tingginya gunung Jaya Wijaya, ke tempat paling asing, ke Banda Neira, mengunjungi suku Baduy, atau bahkan ke luar negeri melihat aurora. Aku tidak pernah merantau, ke luar pulau hanya ke Bali, liburan favorit cuma ke Solo, berkemah di alam juga baru sekali.

Aku sedih. Aku seperti tidak pernah mengajak Nita ke tempat-tempat baru yang asing namun menyenangkan. Ternyata aku cukup pengecut.

Tapi aku punya ingatan yang baik tentang bagaimana ia membawa bekal yang cukup banyak untuk menghadapi hidup. Segala pengalaman hidup yang aku hadapi adalah petualangan bagi Nita. Nita membuat hidup seperti perjalanan ke tempat-tempat.

Nita,

kita telah berpetualang jauh ke rimba raya hidup yang tak pernah kita duga. Kita punya tubuh yang luar biasa; tidak pernah mabok. Tubuh kita mampu bertahan begitu hebatnya di dalam situasi dan keadaan apapun. Naik mobil, bus ekonomi yang penuh sesak dan keringat, kereta ekonomi dengan kursi tegak selama dua belas jam, naik perahu dengan ombak yang rasanya seperti ditimang lalu tertidur. Bahkan, kita tak pernah butuh sandaran leher dan bisa mengatur tubuh untuk bisa tetap tidur di dalam perjalanan.

Kita jago membaca peta. Kita tahu bagaimana cara membaca peta topografi. Kita tahu dan paham mana letak barat, timur, utara, dan selatan. Tapi toh kita pernah juga tersesat tanpa arah dan terpaksa mengubah tujuan; tanpa ada petunjuk berupa bintang utara atau remah roti. Tapi kita selalu menemukan jalan. Kita selalu melihat peristiwa tersesat adalah sebuah petualangan untuk mengenal jalan pintas baru.

Kita pernah tenggelam di tempat paling dalam: Palung Mariana. Rasanya gelap, sepi, sendiri, dan basah. Kita pernah ada di tempat dengan malam paling panjang, penuh badai, dan tanpa matahari. Namun kita tetap saja selalu selamat dan melanjutkan perjalanan selanjutnya.

Kita pernah bertemu dengan satu dua petualang. Petualang pertama bernama Kelana yang kemudian mengubah namanya menjadi Pak Tualang dan ia tak pernah mau pulang ke bait. Satu petualang lain adalah petualang yang cukup lama membersamai malam-malam panjang namun ternyata berbeda tujuan. Ia hendak ke Timur, kita ke Selatan. Kita tawarkan untuk ke Tenggara, namun ia menolak.

Kita pernah ke hutan beton Jakarta yang asing dan membingungkan. Ah, ternyata kita selalu mengaitkan hal-hal yang kita temui ini menjadi tempat petualangan.

Nita,

tubuh kita memang tak pernah banyak menjajaki tempat-tempat. Tapi kita tumbuh dengan membaca, dan ini yang membuat kita berpetualang melewati waktu dan tempat. Kita tumbuh dengan rasa penasaran yang tinggi, dan ini bisa membuat kita terus belajar dan berpetualang menjelajahi dunia meski raga tetap di sini-sini saja. 

Kita memang belum sampai ke puncak hidup. Tapi perjalanan yang berkelok dan sering tersesat tak tahu arah ini adalah petualangan yang tak kalah menyenangkan.

Terima kasih, ya. Aku janji, suatu hari nanti, kita akan pergi ke Indonesia Timur untuk menjadi Panitia Penerbitan Matahari, ke Kabelegi untuk residensi, atau bahkan kita akan ke tempat-tempat yang orang lain tak pernah kunjungi. Barangkali petualang-petualangan selanjutnya akan ditemani oleh petualang lain dengan tujuan yang sama. Suatu hari nanti.

*

Aku dan Nita akan terus tetap berpetualang. Aku akan biarkan ia melihat dunia ini dengan caranya sendiri. Sebab aku telah hidup bersamanya selama 30 tahun. Sampai atau tidak sampai di puncak hidup, kami akan terus berpetualang. Kami tak sabar untuk bertemu dengan hal-hal yang mengejutkan lain dalam hidup.

Sunday, January 29, 2023

Self-train

Soal belajar, aku sering tidak mengingat bagaimana caraku belajar sampai bisa mengantarkanku untuk memiliki beberapa keahlian. Di bangku sekolah, aku tidak pernah mengingat betapa tersiksanya masa-masa belajar di sekolah formal. Bahkan ketika duduk di bangku SMK yang memiliki 25 mata pelajaran, praktikum, dan kimia tiga biji, aku tidak merasa sekalipun tersiksa.

Ibu sering bercerita ke orang lain bahwa beliau tidak pernah memaksa anak-anaknya belajar. Ini benar adanya. Pernah suatu waktu di minggu-minggu UAS, ibu mengingatkan, "Besok UAS. Tidak belajar?" Aku menolak dengan alasan malas. Kata ibu, nilai jelek dan malu karena tidak naik kelas adalah urusanku. Pada akhirnya nilaiku bervariasi. 0, 20, 35, sampai 100 pernah kudapat. Ibu tak pernah marah.

Sampai suatu ketika, aku mengajar seorang murid les yang memiliki kesulitan belajar. Ia tidak mau belajar. Lalu aku bertanya pada ibu, "Bu, dulu tuh ngajarin aku baca dan tulis seperti apa?" Berkali-kali ibu menjawab tak pernah mengajari secara formal dengan duduk dan buku. Tak puas, aku mengoreknya lagi.

Ibu kemudian mengaku. Ibu mengajariku berhitung lewat kegiatan rumah sehari-hari: menghitung cabe, telor untuk bikin kue, bertanya jam, dll. Ibu juga sering membuka empat meja (satu untuk dia, satu untuk anak-anaknya) dan membuka jurnal pekerjaannya. Katanya, setelah itu, aku dan adik-adik membuka buku. Entah itu cuma membaca atau mengerjakan PR.

Aku juga mencoba mengingat bagaimana aku mempelajari belajar. Yang aku ingat, ketika sudah bisa membaca, semua hal kubaca. Baliho, iklan, brosur, stiker. Apapun. Aku mau mengenali dan membaca semua huruf tanpa peduli artinya dan salah ucap. Aku begitu antusias dengan huruf-huruf yang berjejer dan bisa dibaca lalu menghasilkan bunyi. Kebiasaan ini ternyata terpatri hingga dewasa.

Setahun lalu, aku belajar aksara Hangeul. Sekarang, setiap kali aku melihat Hangeul, aku baca. Aku tidak peduli salah tajwid dan tidak memahami artinya. Aku justru lebih senang kalau kawanku mengoreksi dan memberi masukan. Kebiasaan seperti ini ternyata juga berlaku di bidang lain seperti fotografi, tari, menulis, memasak, renang, dll. Hampir semua keahlianku tidak bermentor. Aku suka mengulik dan mempelajari semuanya sendiri. Sesekali mengikuti lokakarya, pelatihan, dan mencari teman diskusi.

Belakangan aku juga menyadari bahwa aku tidak cocok dengan metode belajar duduk dan mendengarkan. Awalnya aku merasa aneh kenapa teman-temanku suka belajar(duduk dan mendengarkan) sedangkan aku tidak. Lalu dari mana datangnya semua keahlian ini? Ternyata, aku lebih nyaman dengan metode belajar eksploratif, observasi, dan self-train.

Tapi sayangnya, metode belajarku tentu saja memiliki kekurangan. Ketika temanku memintaku untuk mengajari suatu keahlian—menulis— aku kebingungan harus dimulai dari mana. Padahal aku juga butuh mengurai step belajar menulis untuk membuat kurikulum agar apa yang aku pelajari selama ini bisa disebar dan dibagikan.

Maka dari itu, aku merasa sangat senang sekali kalau ada kawanku yang meminta masukan tulisannya dan mengajakku berdiskusi tentang tulisan. Belum lagi ternyata hal ini pelan pelan mengembalikan kepercayaan diriku untuk menulis.

Monday, December 26, 2022

Mencatat Prestasi Baru

Kata Putu Wijaya, semakin pergi orang, maka ia semakin pulang. Bagiku, pulang adalah perjalanan-perjalanan yang bertolak dari Surabaya. Inilah kenapa aku selalu merasa senang ketika harus melakukan perjalanan. Apalagi perjalanan adalah salah satu cara perjumpaan dengan diri. 

Aku selalu membawa masalah hidup ketika melakukan perjalanan. Destinasi paling utama dalam setiap perjalanan adalah bengong dan jurnaling di kafe. Meski aku melakukan perjalanan bersama orang lain, aku selalu menyempatkan waktu untuk melakukan ritual ini. Pulang dari perjalanan, tas terasa enteng. Bukan bebannya yang berkurang, tapi pundaknya yang semakin kuat. 

Namun pernah ada satu kejadian yang membuatku memutuskan bahwa perjalanan paling baik adalah perjalanan yang dilakukan sendirian.

Pertengahan tahun lalu aku melakukan perjalanan ke Semarang, menginap di salah satu kos teman komunitas. Ternyata, beberapa orang dari komunitas yang sama sedang berada di kota itu untuk melakukan perjalanan dinas. Lalu kami semua bersepakat untuk bertemu dan main bareng pada hari Sabtu malam dan Minggu. 

Seperti biasa, aku membawa masalahku yang akan aku uraikan dan bahas pada hari Senin. Aku berencana meminjam motor kawanku yang sedang bekerja untuk berkeliling kota Semarang. Namun rencana hanyalah rencana. 

Pada hari Sabtu malam, aku dan enam kawanku bertemu dan mengobrol. Kami tertawa, bercanda, dan menukar banyak cerita seperti tujuh kawan lama yang pernah terpisah. Semua berjalan menyenangkan. Hingga sampai pada hari Minggu siang, salah satu kawanku tak sengaja menyenggol beban masalah yang sudah aku sembunyikan dengan rapi. Aku meledak. 

Setelah dua jam, tangisku mereda. Setelah satu setengah tahun kemudian, yaitu hari ini, aku baru saja menyadari kalau aku tidak nyaman dengan cara mereka meredakan tangisku. "Apa yang kamu rasakan tidak benar", "Kamu tidak seharusnya (menangis) begini", "Energi yang kamu keluarkan untuk menangis tadi cukup besar, harusnya kamu bisa gunakan energi itu untuk bersenang-senang", "Liburan ini agak rusak karena kamu menangis", diplomasi lain agar aku meredakan tangisku, dan martabak asin dan manis masing-masing sekotak yang dimakan bersama denganku yang berusaha menekan tangisku.

Setelah perjalanan Semarang itu, aku bertekad untuk melakukan perjalanan demi perjalanan dengan seorang diri. Satu-satunya orang yang hanya ingin aku temui adalah diriku sendiri.

Lalu, beberapa bulan lalu, keinginan untuk berjalan lebih jauh muncul. Untuk perjalanan kota dan perjalanan hidup. Katanya, kalau mau berjalan jauh, jalannya bareng-bareng; kalau jalannya mau cepet sampe, jalannya sendirian. Aku juga tidak mau menghabiskan sisa kesempatan perjalananku dengan tergesa. Maka dari itu, aku harus melatih diriku untuk mencoba membuka diri untuk bisa melakukan perjalanan dengan teman.

Percobaan pertama tidak berakhir dengan baik. Namun aku tidak melihat perjalanan ini sebagai kegagalan. Aku justru malah menemukan dan menyadari perasaan sepi yang sudah lama aku tekan untuk kemudian aku hadapi, olah, dan selesaikan. Aku sudah menulis cerita ini, tapi masih diedit karena tidak mudah bagiku menghadapi perasaan kesepian. Maka, ketika aku siap, aku akan melakukan percobaan kedua.

Kemarin Sabtu(24/12) dan Minggu(25/12), aku baru saja menyelesaikan percoban kedua. Lagi lagi perjalanan ini tidak berakhir dengan baik namun aku menemukan hal baru di dalam diriku(masih ingat tetang tujuan perjalanan adalah pertemuan dengan diri?).

Perjalanan kali ini lebih ekstrim dari perjalanan sebelumnya. Aku dan belasan kawan lain berangkat dari Surabaya untuk berkumpul bersama di satu villa di Trawas. Aku akan bertemu dengan 25 orang asing dan tidur semalam dengan satu atap dengan mereka.

Akhir yang tidak baik itu adalah: aku kelelahan. Aku kesulitan beradaptasi. Aku lelah dengan banyaknya orang. Aku lelah dengan usahaku untuk terkoneksi dengan mereka. Ini belum pernah aku lakukan sebelumnya. Namun aku berkenalan dengan sebuah perilaku baru dariku; nanti aku ceritakan. Aku juga berkenalan dengan sebentuk cinta yang baru.

Malam hari, setelah makan malam, kami duduk ber-26 di ruang tengah untuk bermain kartu Tentang Kita. Di lingkaran ini, tidak asing bagi kami untuk membiacarakan hal hal yang pelik dan rumit. Ada tangis dan tawa ketika kami berusaha menjawab pertanyaan dari kartu Tentang Kita. Tak hanya makanan, kami juga membagi banyak peristiwa, cerita, pengalaman, dan emosi. 

Salah seorang dari kami baru saja mengalami hal yang pernah aku alami enam bulan yang lalu. Aku pernah ada di posisinya. Meski kondisi dan peristiwa kami tidak presisi, aku dapat mengerti betul apa yang ia rasakan sekaligus menjadi pendegar ceritanya. Ketika aku menguatkannya, aku seperti menguatkan diriku sendiri.

Jawaban-jawaban pertanyaan dari kartu, mendatangkan cerita lain. Kalau aku bisa menjadi lampu yang menerangi kami, aku sedang melihat ada 26 manusia yang sedang menciptakan sebuah ruang untuk bisa sama-sama saling mendengar. Sama-sama saling bersedia dan berani untuk ikut mencicipi kepahitan hidup orang lain. Sama-sama saling belajar untuk menghadapi pembicaraan tentang hal hal yang berat dan rumit. Aku mengenal sebentuk cinta yang baru.

Tentu saja peristiwa ini memiliki efek samping. Bagi aku yang memiliki perasaan yang sensitif dan mudah berempati begini, mendengarkan 25 cerita seperti sedang memeras emosi. Aku tadi sempat bilang kalau kami belajar untuk terlatih membicarakan hal-hal yang berat. Aku jarang ikut dalam forum itu. Aku suka obrolan berat. Aku bisa berjam jam bahkan sampai subuh melakukan hal ini dengan satu orang. Hanya dengan satu orang. Kalau dengan 25 orang...tenagaku rasanya diperas. 

Belum lagi aku memosisikan diri untuk mendapat tiga sudut pandang. Aku sebagai diri sendiri yang mengalami hal yang sama seperti yang dialami kawanku, aku sebagai pendengar bagian dari koloni, dan aku sebagai sudut pandang ketiga yaitu lampu ruang tengah yang melihat koloni ini.

Malamnya, aku hanya bisa tidur selama setengah jam dan pulangnya berhasil membawa oleh-oleh angin dari Trawas yang sejuk yang aku simpan di dalam tubuh. Untungnya Tanggulangin tak memperbolehkanku membawa angin tersebut ke Surabaya karena Tanggulangin adalah Tanggul Angin.

Meski berakhir ngedrop, tapi prestasi baru telah tercatat: mengizinkan diri sendiri untuk berangkat dan bermalam dengan 25 orang asing dalam satu atap.