Monday, December 26, 2022

Mencatat Prestasi Baru

Kata Putu Wijaya, semakin pergi orang, maka ia semakin pulang. Bagiku, pulang adalah perjalanan-perjalanan yang bertolak dari Surabaya. Inilah kenapa aku selalu merasa senang ketika harus melakukan perjalanan. Apalagi perjalanan adalah salah satu cara perjumpaan dengan diri. 

Aku selalu membawa masalah hidup ketika melakukan perjalanan. Destinasi paling utama dalam setiap perjalanan adalah bengong dan jurnaling di kafe. Meski aku melakukan perjalanan bersama orang lain, aku selalu menyempatkan waktu untuk melakukan ritual ini. Pulang dari perjalanan, tas terasa enteng. Bukan bebannya yang berkurang, tapi pundaknya yang semakin kuat. 

Namun pernah ada satu kejadian yang membuatku memutuskan bahwa perjalanan paling baik adalah perjalanan yang dilakukan sendirian.

Pertengahan tahun lalu aku melakukan perjalanan ke Semarang, menginap di salah satu kos teman komunitas. Ternyata, beberapa orang dari komunitas yang sama sedang berada di kota itu untuk melakukan perjalanan dinas. Lalu kami semua bersepakat untuk bertemu dan main bareng pada hari Sabtu malam dan Minggu. 

Seperti biasa, aku membawa masalahku yang akan aku uraikan dan bahas pada hari Senin. Aku berencana meminjam motor kawanku yang sedang bekerja untuk berkeliling kota Semarang. Namun rencana hanyalah rencana. 

Pada hari Sabtu malam, aku dan enam kawanku bertemu dan mengobrol. Kami tertawa, bercanda, dan menukar banyak cerita seperti tujuh kawan lama yang pernah terpisah. Semua berjalan menyenangkan. Hingga sampai pada hari Minggu siang, salah satu kawanku tak sengaja menyenggol beban masalah yang sudah aku sembunyikan dengan rapi. Aku meledak. 

Setelah dua jam, tangisku mereda. Setelah satu setengah tahun kemudian, yaitu hari ini, aku baru saja menyadari kalau aku tidak nyaman dengan cara mereka meredakan tangisku. "Apa yang kamu rasakan tidak benar", "Kamu tidak seharusnya (menangis) begini", "Energi yang kamu keluarkan untuk menangis tadi cukup besar, harusnya kamu bisa gunakan energi itu untuk bersenang-senang", "Liburan ini agak rusak karena kamu menangis", diplomasi lain agar aku meredakan tangisku, dan martabak asin dan manis masing-masing sekotak yang dimakan bersama denganku yang berusaha menekan tangisku.

Setelah perjalanan Semarang itu, aku bertekad untuk melakukan perjalanan demi perjalanan dengan seorang diri. Satu-satunya orang yang hanya ingin aku temui adalah diriku sendiri.

Lalu, beberapa bulan lalu, keinginan untuk berjalan lebih jauh muncul. Untuk perjalanan kota dan perjalanan hidup. Katanya, kalau mau berjalan jauh, jalannya bareng-bareng; kalau jalannya mau cepet sampe, jalannya sendirian. Aku juga tidak mau menghabiskan sisa kesempatan perjalananku dengan tergesa. Maka dari itu, aku harus melatih diriku untuk mencoba membuka diri untuk bisa melakukan perjalanan dengan teman.

Percobaan pertama tidak berakhir dengan baik. Namun aku tidak melihat perjalanan ini sebagai kegagalan. Aku justru malah menemukan dan menyadari perasaan sepi yang sudah lama aku tekan untuk kemudian aku hadapi, olah, dan selesaikan. Aku sudah menulis cerita ini, tapi masih diedit karena tidak mudah bagiku menghadapi perasaan kesepian. Maka, ketika aku siap, aku akan melakukan percobaan kedua.

Kemarin Sabtu(24/12) dan Minggu(25/12), aku baru saja menyelesaikan percoban kedua. Lagi lagi perjalanan ini tidak berakhir dengan baik namun aku menemukan hal baru di dalam diriku(masih ingat tetang tujuan perjalanan adalah pertemuan dengan diri?).

Perjalanan kali ini lebih ekstrim dari perjalanan sebelumnya. Aku dan belasan kawan lain berangkat dari Surabaya untuk berkumpul bersama di satu villa di Trawas. Aku akan bertemu dengan 25 orang asing dan tidur semalam dengan satu atap dengan mereka.

Akhir yang tidak baik itu adalah: aku kelelahan. Aku kesulitan beradaptasi. Aku lelah dengan banyaknya orang. Aku lelah dengan usahaku untuk terkoneksi dengan mereka. Ini belum pernah aku lakukan sebelumnya. Namun aku berkenalan dengan sebuah perilaku baru dariku; nanti aku ceritakan. Aku juga berkenalan dengan sebentuk cinta yang baru.

Malam hari, setelah makan malam, kami duduk ber-26 di ruang tengah untuk bermain kartu Tentang Kita. Di lingkaran ini, tidak asing bagi kami untuk membiacarakan hal hal yang pelik dan rumit. Ada tangis dan tawa ketika kami berusaha menjawab pertanyaan dari kartu Tentang Kita. Tak hanya makanan, kami juga membagi banyak peristiwa, cerita, pengalaman, dan emosi. 

Salah seorang dari kami baru saja mengalami hal yang pernah aku alami enam bulan yang lalu. Aku pernah ada di posisinya. Meski kondisi dan peristiwa kami tidak presisi, aku dapat mengerti betul apa yang ia rasakan sekaligus menjadi pendegar ceritanya. Ketika aku menguatkannya, aku seperti menguatkan diriku sendiri.

Jawaban-jawaban pertanyaan dari kartu, mendatangkan cerita lain. Kalau aku bisa menjadi lampu yang menerangi kami, aku sedang melihat ada 26 manusia yang sedang menciptakan sebuah ruang untuk bisa sama-sama saling mendengar. Sama-sama saling bersedia dan berani untuk ikut mencicipi kepahitan hidup orang lain. Sama-sama saling belajar untuk menghadapi pembicaraan tentang hal hal yang berat dan rumit. Aku mengenal sebentuk cinta yang baru.

Tentu saja peristiwa ini memiliki efek samping. Bagi aku yang memiliki perasaan yang sensitif dan mudah berempati begini, mendengarkan 25 cerita seperti sedang memeras emosi. Aku tadi sempat bilang kalau kami belajar untuk terlatih membicarakan hal-hal yang berat. Aku jarang ikut dalam forum itu. Aku suka obrolan berat. Aku bisa berjam jam bahkan sampai subuh melakukan hal ini dengan satu orang. Hanya dengan satu orang. Kalau dengan 25 orang...tenagaku rasanya diperas. 

Belum lagi aku memosisikan diri untuk mendapat tiga sudut pandang. Aku sebagai diri sendiri yang mengalami hal yang sama seperti yang dialami kawanku, aku sebagai pendengar bagian dari koloni, dan aku sebagai sudut pandang ketiga yaitu lampu ruang tengah yang melihat koloni ini.

Malamnya, aku hanya bisa tidur selama setengah jam dan pulangnya berhasil membawa oleh-oleh angin dari Trawas yang sejuk yang aku simpan di dalam tubuh. Untungnya Tanggulangin tak memperbolehkanku membawa angin tersebut ke Surabaya karena Tanggulangin adalah Tanggul Angin.

Meski berakhir ngedrop, tapi prestasi baru telah tercatat: mengizinkan diri sendiri untuk berangkat dan bermalam dengan 25 orang asing dalam satu atap.



Thursday, October 6, 2022

A Day with Adya - I

Pagi-pagi betul—tepatnya selepas subuh, Adya datang ke rumah. Seperti biasa, ia mengenakan baju dinas andalannya: kaus abu-abu lusinan, jaket butut merah marun, celana khaki selutut, tas selempang kanvas berwarna coklat, dan sandal gunung butut. 

"Pagii!" begitu sapanya dari atas sepeta butut milik pamannya dengan gigi meringis ketika aku mulai berjalan ke arahnya.

Tentu saja aku menyambutnya dengan wajah yang ditekuk karena ia menjemput terlalu pagi tidak sesuai janji. "Subuh! Masih subuh ini, Mas!"

Ia tertawa. Kali ini singkat, tidak terlalu lepas seperti biasanya. Sebab jika ia tertawa lepas, aku nanti yang kerepotan mengumpulkannya menjadi satu. Ia menyalakan mesin motornya. Aku langsung saja menaiki jok belakang motornya.

"Siap?" tanyanya. Tanpa perlu menunggu jawabanku, ia langsung melaju.

Tujuan pertama kami adalah Pantai Timur untuk melihat salah satu fenomena alam favoritnya: matahari terbit. Kebetulan semalam baru saja terjadi fenomena favoritnya yang kedua: purnama. Sehingga air laut agak sedikit naik dengan ombak yang masih pasang.

Sesampainya di Pantai Timur, langit masih gelap. Kami memutuskan untuk menelusuri tepi pantai untuk menunggu matahari terbit.

Kami berpapasan dengan nelayan yang baru saja menepi. Tanpa pamit, ia tiba-tiba saja berlari-lari kecil menuju nelayan-nelayan itu. Aku menghela napas, hapal dengan tabiatnya, lalu melanjutkan langkah kakiku setelah mengisyaratkan kepadanya kalau kalau aku akan ke tempat yang aku tunjuk. Ia mengangguk.

Aku berjalan, memilih tempat yang aman untuk duduk sambil memandang cakrawala timur dan menikmati debur ombak pasang yang bergemuruh. Sesekali aku melihat Adya dari kejauhan. Ia begitu luwes bergaul dengan bapak-bapak nelayan. Sampai tak berapa lama, ia menuju ke arahku dan…membawa segepok ikan.

Dia tak suka ikan, apalagi ikan laut. Untuk apa membawa ikan sebanyak itu?

Setelah mendekat, ia langsung menjelaskan sambil menyerahkannya kepadaku, “Untuk ibu masak di rumah. Kamu dan adik-adikmu kan suka banget ikan laut.”

Aku mengernyitkan dahi. Aku tak akan pernah mengerti bagaimana caranya berpikir. Tapi aku terima saja ikan pemberiannya sambil berucap terima kasih.

Ia duduk di sampingku, memandang langit yang sama. Kali ini benar-benar sama.

“Dya, apakah buku laksana matahari? Sebab keduanya memiliki kegiatan yang sama: terbit,” tanyaku tanpa menatapnya seperti kebiasaanku sebelumnya.

“Barangkali iya. Keduanya juga menerangi. Matahari beri cahaya, buku beri ilmu. Cahaya dan ilmu sama-sama menerangi. Terang pada ilmu tak hanya isyarat atau perumpamaan. Kamu pasti sering dengar kalimat ‘si A menerangkan hal baru kepada si B,’” terangnya panjang lebar.

“Apakah di bawah cakrawala terdapat percetakan?”

“Mungkin. Barangkali ada.” Kami diam sejenak. Lalu ia melanjutkan, “Ini kita sedang nunggu prapesan matahari, sebab matahari belum terbit, tapi kita sudah di sini.”

Kami tertawa.

Ia berujar lagi sambil menunjukkan tangannya, “Kalau matahari tinggi sedikit, bilang saja best seller. Kalau matahari sedang tepat di atas kepala kita, namanya mega best seller.“

“Di Surabaya mataharinya selalu mega best seller,” aku tiba-tiba menyahut. Kami tertawa lagi.

“Tapi ketika ia hendak tenggelam, ia menjelma manusia: renta.”

Aku menatapnya, melengkapi kalimatnya, “Lelah di mana-mana, raung klakson merengek minta pulang, apalagi?”

Ia menggeleng. “Itu kan kota. Ini matahari dan manusia.”

Aku memandangi cakrawala yang menyebarkan cahaya oranye. 

“Tak punya daya dan seakan hendak menyerah sebab cahayanya makin redup?” tanyaku dengan memandangnya lagi. Ia mengangguk.

Ia membalas tatapan mataku. “Lalu pulang. Banyak yang pulang ketika matahari hendak tenggelam atau ketika manusia telah menua.”

Pulang adalah kata yang paling sering kami ucapkan. Bagi kami, pulang tak melulu tentang rumah. Aku memandangi matanya dalam-dalam. Aku mencari-cari, menunggu argumen apa yang terlontar darinya tentang pulang kali ini.

Ia meringis, mengusap puncak ubun-ubun kepalaku. “Ngapa da dipikir? Tengok ja lah itu langitnya.”

Kami kembali memandangi langit dengan latar suara ombak. Sesekali aku memejamkan mataku, mendengarkan suara alam paling indah. 

Matahari perlahan naik merangkak. Aku memandang manusia di sebelah kananku sekali lagi. Kini ia yang memejamkan matanya. Garis-garis wajahnya begitu semakin tegas ketika diterpa cahaya lembut dari matahari pagi. Ia tersenyum, aku mengikutinya.

“Aku tak pernah melihat matahari terbit seindah ini,” kataku.

Lha yen tangimu awan terus, piye nek mu mbandingke?” tanyanya. Ya kalau bangunnya siang, gimana caramu membandingkan?

“Aku tuh bisa tauk jadi morning person. Cuma males aja nyari spot buat lihat matahari terbit,” sanggahku.

Tur ra enek sing keno dijak ndeleng ngenean isuk-isuk?” ia menegaskan. Belum lagi tidak ada yang bisa diajak lihat beginian pagi-pagi?

Lha mesti apes og. Yen ndeleng dewe i iso uapik. Mesti apik. Yen ngajak kanca, mesti zonk. Mendung. Ndeleng dewe mager, ngajak konco zonk. Kan hadeh,” protesku. Selalu apes. Kalau lihat sendiri bisa baguuus banget. Selalu bagus. Kalau ngajak temen, selalu zonk. Mendung. Lihat sendiri mager, ngajak temen zonk. Kan hadeh.

Bedjo, we, dino iki,” tiba-tiba ia menarik kesimpulan. Kamu beruntung hari ini.

“Iya. Panitia penerbitan mataharinya canggih, nih. Dah lihatnya ada temen, bagus pun. Dapat souvenir ikan segepok pula.”

“Ini belum apa-apa, Nyit.”

“Ah iya. Baru pagi, ya.”

“Huum. Baru pembukaan. Penilaian panitia diadakan nanti malam.” Ia berdiri, mengulurkan tangannya, mengajakku berdiri. “Yuk, masih ada beberapa tempat lagi yang harus kita kunjungi.”

Aku menyambut uluran tangannya dan ikut berdiri. Kami lalu berjalan menuju parkiran. Kami menaiki motor dan melaju ke destinasi selanjutnya: sarapan.

Menurut kami, pagi yang sempurna adalah pagi dengan sarapan bubur ayam. Kami tiba di salah satu tempat bubur ayam langganan.

“Mang, kayak biasanya, ya. Dua. Satu jumbo, satunya biasa. Yang jumbo pake telor, yang satu ga pake telor. Minumnya…air putih aja,” pesanku ke mamang penjual bubur ayam.

“Merica dan kecap asinnya ambil di situ, ya,” katanya sambil menunjuk botol merica dan kecap asin yang berbaris di tempat yang tidak bisa ia jangkau.

Aku tersenyum dan mengambil botol merica dan kecap asin tersebut, dan berjalan menuju kursi yang telah disiapkan Adya tak jauh dari tempatku berdiri. Ada tiga kursi. Satu kursi telah ia duduki, satu kursi sebelah kirinya untuk aku duduki, dan satu kursi di depan kami. Aku meletakkan merica dan kecap asin di atas kursi kosong tersebut.

“Nyit, nanti pulang dulu aja, ya. Karena nanti kita bakal main sampai malam, sepertinya kita butuh mandi dan memakai baju yang layak.”

“Oke.”

“Pakai baju yang belel, ya.”

“Kok ngatur? Katanya layak, kok belel?”

“Karena destinasi-destinasi kita nanti akan lebih menyenangkan kalau pakai baju belel. Dijamin, kalau kamu pake dress lalu aku pakai kemeja safari, ga bakal cocok. Layaknya ya pake baju belel.”

Aku memandangnya dengan menyipitkan mata curiga.

“Udah, percaya aja ka aku.”

Dua mangkuk bubur pesanan kami datang. Kami berdua menerima mangkuk tersebut sambil tersenyum dan berterima kasih.

“Kita mau ke mana, sih?”

Adya diam saja. Ia fokus mengaduk buburnya.

“Dya, kita kamu ke mana? Nyasar dulu? Nyasar bukan destinasi, ya.”

Ia menarik napas, meletakkan sebentar buburnya yang masih setengah teraduk. “Kali ini kita punya destinasi. Nanti aku kasih tahu. Sekarang kita makan dulu, ya.”

Aku menurut. Lagi. Kami fokus menikmati makanan kami hingga habis.

Setelah mengembalikan mangkuk dan membereskan sampah yang kami buat, kami membayar sarapan bubur kami. Kami beranjak. Adya mengantarkanku pulang.

Baru saja aku turun dari motornya, Adya langsung menodong perintah, “Gak perlu lama-lama, ya, siap-siapnya. Sejam cukup, kan? Sekarang pukul tujuh, satu jam lagi aku sampai sini.”

“Cepet banget,” protesku.

“Sayang aja sih kalau waktunya dibuang. Aku juga akan siap-siap sekilat mungkin, kok. Lima belas menit dari sekarang aku baru sampai kontrakan. Mandi dan siap-siap setengah jam cukup. Lalu jalan lagi ke sini lima belas menit. Ya paling molor lima sampai sepuluh menit lah. Cukup?”

Aku ingin protes lagi. Sebetulnya satu jam adalah waktu yang cukup untukku siap-siap. Tapi aku rindu kasurku. Aku ingin goleran agak lama sedikit.

Adya memberikan penawaran lagi, ”Nanti pas aku jemput, aku kasih tahu kita akan ke mana. Kita taruhan. Kalau tujuannya tidak membuatmu senang, kita bisa batalkan acara kita hari ini.”

Melihat wajahnya yang tegas dan serius, aku tak berani merengek dan meminta macam-macam lagi. Lagi-lagi aku menurutinya.

Adya menyerahkan ikan segepok yang ada di kemudinya sambil mengingatkan, “Jangan lupa pakai baju belel dan sepatu, ya. Kaos oblong dan jaket sudah cukup.”

Aku menerima ikan itu dan mengiyakan peringatannya yang sekaligus memberikanku ide harus pakai baju apa sehingga aku tak perlu berpikir lebih banyak untuk memutuskan memakai baju apa. Kaos dan jaket sudah cukup, jangan lupa sepatu. Oke.

Aku berpesan hati-hati. Ia mengangguk dan melaju pergi. Aku melihat punggungnya menjauh. Ketika punggungnya tidak terlihat lagi, aku masuk rumah.

Sampai di dalam rumah, aku meletakkan ikan ke dapur dan mencuci tanganku. Kemudian aku berlari ke kamar dan membuka lemari, melihat baju bersih yang tersedia dan cocok dengan syarat jalan-jalan kali ini. Kaos oblong dan jaket…ada! 

Aku segera mandi dan bersiap diri. Ternyata, tak butuh waktu satu jam. Sisa waktu yang tersisa aku gunakan untuk menunggu di ruang tamu sambil selonjoran. 

Tak berselang lama, tepat pukul delapan, suara motor butut Adya terdengar dari ruang tamu. Aku ke dapur mengecek tak ada kompor yang menyala, ke kamar mandi mengecek kran tidak menyala, dan ke kamarku sendiri untuk mengecek tidak ada perangkat listrik yang menyala, lalu aku keluar rumah.

Dari dalam pagar, Adya terlihat mengenakan kaos oblong, flannel kota-kotak merah putih, celana jeans belel, dan sepatu converse high favoritnya. Nampak normal seperti biasanya. Namun ketika mendekat ke sampingnya, aku kaget dengan detil dari baju yang ia kenakan.

Sepatu favoritnya yang ia kenakan itu kini telah menua. Aku ingat betul sepatu itu dulu berwarna biru navy. Kini berubah menjadi hampir abu-abu. Belum lagi solnya yang sudah sah menipis dan lem yang lepas di bagian samping sepatu.

Naik sedikit ke celananya. Aku yakin, celana jeans yang ia gunakan tidak dicuci selama dua bulan. Ada robekan sedikit di lututnya yang sebentar lagi pasti akan melebar. 

Lalu naik lagi ke atasannya. Aku tidak kaget dengan flannel kotak-kotak merah putih yang sedikit memudar. Ia sering mengenakan kemeja tersebut. Namun kaos oblong yang ia kenakan membuat mataku melotot. Dari dekat, kaos oblong berwarna krem itu terdapat robekan tipis nyaris bolongdi bagian jahitan leher. Aku familiar dengan kaos ini.

“Aku kayaknya ada pernah kenal dengan kaos ini,” aku memastikan.

Dengan bangganya ia menyibak flannelnya dan memperlihatkan gambar yang disablon di dada sebelah kiri: FSRD09. Kaos ospek ketika ia maba masih ada. Kaos yang sama itu terakhir kali aku lihat delapan setengah tahun yang lalu ketika mampir di kontrakannya di daerah Tukad Badung, Denpasar Timur, ketika ia sedang menjadi mahasiswa tingkat akhir dan sibuk mengurusi administrasi kampus setelah pameran dan sidang. Robekan yang ada di jahitan leher itu ada karena ia sering menggigitnya ketika berpikir atau sedang mengerjakan sesuatu.

"Tua banget??!!"

"Seusia perkenalan kita," godanya sambil mengangkat sebelah alisnya. Lalu ia mengarahkan pandangannya naik turun kepadaku. Melihatku yang mengenakan celana berwarna krem, kaos biru dan jaket abu-abu. “Cosplay langit mendung?”

“Yoi. Biar hari ini terang. Sebab mendungnya sedang kukenkan.”

“Akan selalu terang, kan kamu bersamaku.” Galang adalah bahasa Bali yang artinya terang. Terang langit yang tidak mendung. Terang yang cahaya.

“Sesuai janjimu, kamu akan menjawab pertanyaan destinasi kita hari ini,” tagihku.

Ia tersenyum. “Kita nanti akan muter-muter ke tempat-tempat kesukaan kita. Malamnya, destinasi utama kita adalah…Kabelegi.”

Aku membelalakkan mata dan mulutku, nyaris memekik berteriak. Sontak, aku melompat-lompat dan menarik-narik lengannya. Kabelegi. Tempat nun jauh yang telah lama kita perbincangkan dan dambakan.

“Aduh, aduh, makin robek nanti, Nyit,” ia mengaduh sambil memegangi kemeja flannelnya.

Aku segera naik di jok belakangnya dengan sedikit melompat, tanpa peduli keseimbangan yang Adya miliki, menepuk pundaknya, dan berteriak, “Lesgo!!”

Kami melaju memecah jalanan. Aku tak sabar dengan destinasi utama kami. Aku juga tak kalah penasaran tempat-tempat yang akan kami kunjungi.

Monday, October 3, 2022

Juni

Dengarkan musikalisasi puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono yang dibawakan oleh Ari Reda di layanan musik favorit.

*

Juni pernah mengira Juni adalah waktu paling romantis. Sebab namanya telah disebut sebagai bulan yang memiliki hujan paling tabah, bijak, dan arif oleh salah satu penyair favoritnya. Juni juga adalah alasan mengapa Juni terlahir dan ada di dunia.

Juni kemarin, Juni seperti berkhianat pada Juni. Juni melukai Juni sebanyak enam kali. Seperti hukuman bertubi bulan-bulan sebelumnya yang dirapel jadi satu. Tapi Juni tak ingin mengutuk dan merutuk Juni. Juni tahu, Juni tak salah apa-apa. 

Juni tak datangkan syahdu hujan untuk Juni. Melainkan angin badai nestapa. Namun Juni telah membuat Juni menjadi lebih tabah, bijak, dan arif. Seperti yang dijanjikan Sapardi.

Juni tidak membenci Juni. Juni sungguh ingin berterima kasih kepada Juni karena telah memberinya pelajaran. Juni juga ingin berterima kasih kepada Juni karena telah kuat bertahan meradang, menerjang, dan membawa bisa berlari hingga hilang pedih perih seperti yang dikoarkan Chairil Anwar.

*

Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu


Monday, July 11, 2022

Kelana-Kelana Tanpa Tuju

Dulu, dulu sekali, aku memang petarung dan penantang sejati yang bodoh. Aku pernah menempuh 12 jam perjalanan darat-laut sendiri hanya untuk bertemu dengan seseorang. Tapi malah mendapat sebuah kepastian yang baru aku sadari hari ini.

Singkat cerita, setelah aku membereskan urusanku dan ia dengan urusannya, kami memutuskan bertemu dan berkeliling kota. Dibakar panas kota Denpasar, tak kunjung jua kami sampai di satu tempat.

"Ini kita mau ke mana, sih, Mas?" tanyaku dari jok belakang. Bingung dengan jalanan asing yang sepertinya sudah dilewati dua hingga tiga kali.

"Gatau, nyasar aja dulu," jawabnya ringan.

Kala itu aku hanya mengiyakan. Apalagi ditambah dengan celotehnya tentang betapa indahnya berkeliling kota tanpa tujuan.

Entah aku yang naif, atau memang kami berdua masih sama-sama remaja 20an, kami menikmati berjalan tanpa tujuan dan aku tak menangkap sebuah kepastian yang tersirat dari pertanyaan tersebut.

Tahun-tahun berlalu, dua-tiga manusia tukar temu. Aku terobsesi dengan perjalanan-perjalanan tanpa tujuan. Dalam satu-dua cerita, aku menggubah namaku menjadi nama kota yang tak menjanjikan pulang. Aku bakar waktu dengan keentahan.

Hari ini, delapan tahun kemudian, keberanian itu masih ada. Aku datangi kota-kota orang. Aku bertarung dengan rasa asing. Aku tantang perjalanan. Aku tebas waktu. Aku bunuh Kelana-Kelana tanpa tuju.

Friday, April 29, 2022

Kapan Aku Nikah?


Awal bulan Februari lalu, seorang tetangga akan melangsungkan lamaran. Sebelum hari itu tiba, salah satu sepupuku datang ke rumah. Asumsi di dalam kepalaku menggempur dengan prasangka bahwa ia akan memberikan kabar lamarannya. Lebih jauh lagi dari hari itu, aku selalu dideru desakan tentang pernikahan oleh orang tua, keluarga besar, dan orang-orang sekitar.

Sebagai perempuan yang tidak pernah membawa laki-laki ke rumah, 29 tahun menjomblo, selalu menghindari pembahasan tentang pernikahan, dan juga merasakan deruan kesepian di dalam dada, sepertinya aku harus melakukan sesuatu.

Aku memang belum pernah menjadi orang tua. Tapi yang terlintas di dalam kepalaku adalah orang tua pasti mendapat tekanan dari berbagai penjuru. Karena subyek dalam kalimat-kalimat tekanan tersebut adalah namaku, maka tentu saja tekanan tersebut selalu diteruskan kepadaku. Belum lagi aku banyak mendengar cerita-cerita tentang orang tua yang jatuh sakit karena terus memikirkan anaknya belum bisa memenuhi tekanan tersebut. Aneh rasanya jika melihat orang tuaku yang tidak pernah menggubris soal kepunyaan harta-benda orang lain tapi malah kepikiran tentang tekanan pernikahan. Sekali lagi lagi: aku harus melakukan sesuatu.

Aku harus mengomunikasikan semua yang ada di kepalaku tentang pernikahan kepada orang tua.

Tanpa berpikir panjang, sehari sebelum tetangga melangsungkan lamaran, tepat ketika saudara sepupu datang ke rumah, aku melipir ke sebuah cafe untuk merencanakan sesuatu.

Ada terlalu banyak hal yang ingin aku sampaikan kepada orang tua tentang isu ini. Juga hal yang terlalu abstrak yang ada di dalam kepala yang harus aku luruskan. Belum lagi ketika aku bicara secara langsung, kemungkinan ngglambyar akan lebih besar. Sebagai sarjana Matematika dan memiliki profesi sebagai penulis, aku perlu menyelesaikan masalah ini secara sistematis dan terstruktur seperti kerangka cerita. Maka dari itu, yang ada di kepalaku adalah menyampaikannya dengan media presentasi, meniru kerangka TA/skripsi.

Di dalam presentasi ini aku memakai berbagai pendekatan; salah satunya agama. Aku juga sertakan logika-logika berpikir dan teori-teori yang akan mendukung argumenku. Beberapa hal mungkin akan terasa sangat personal bagiku, tapi tentu saja hal ini masih bisa diubah.

Sebelum aku mempresentasikan ini ke orang tuaku, aku menceritakannya ke teman-teman terdekat. Tak sedikit dari mereka yang membutuhkan cara ini. Aku juga yakin, desakan segera menikah ini tidak hanya terjadi kepadaku, tapi juga terjadi ke teman-temanku yang ‘sepantaran’ atau sedang berada di fase yang sama. Jadi, daripada harus aku pendam sendiri cara ini, ada baiknya aku sebar luaskan. Tidak semua bahan di dalam presentasi ini bisa digunakan. Setidaknya, semoga ini bisa membantumu untuk menjadi panduan merunutkan kerumitan berpikir.

Aku mengunggahnya ke Karya Karsa, sebuah Platform Apresiasi Kreator tempat fans dapat langsung mendukung kreator favorit mereka dengan kesinambungan finansial. Aku harap, dengan dipublikasikannya karya ini ke Karya Karsa, aku bisa mendapat dukungan dari teman-teman semua. Nanti, jika tak ada aral melintang, barangkali aku akan menulis buku yang aku kembangkan dari presentasi ini. Kamu bisa mengunduhnya seharga kopi. Tautan ada pada gambar dibawah ini:


Enjoy & good luck!

Monday, March 28, 2022

Menjadi Seperti yang Kau Minta


Bentuk kalimat di atas adalah salah satu contoh jajanan yang selalu aku kunyah selama bertahun-tahun. Jajan lainnya memiliki bentuk yang berbeda tapi rasanya sama: nylekit. Aku masih ingat betul kek mana bentuk kalimat-kalimat lainnya. Kurang lebih seperti ini:

“Mbok ya manut gitu lho jadi cewek.”

“Jangan terlalu mandiri, sekali-kali minta tolong ke gebetan.”

“Makanya, ta, Jun, jangan terlalu pintar. Cowok jadi minder, kan.”

“Coba deh dipikir, masa iya cowok kayak dia suka ama cara berpakaianmu yang kek gitu.”

Aku tak perlu menyebutkan konteks pembicaraan di atas. Kalau saja aku punya keberanian yang cukup, aku akan menjawab,

“Who hurt you?”

Sayangnya, aku hanya bisa diam, menahan amarah, lalu menangis di belakang mereka.

Aku sering mendengar komentar-komentar dari teman tentang mengubah diri sendiri untuk menarik lawan jenis(ya, aku berbicara perkara heteronormatif karena kupikir permasalah non-binary, ekspresi gender, dan hal-hal non-heteronormatif lainnya masih terlalu jauh untuk aku bicarakan—dan mereka tangkap). Aku pernah mengubahnya. Aku pernah mengubah diriku untuk menarik lawan jenis. Tahu apa yang terjadi? Pasangan tetap saja tidak kudapatkan dan aku kelelahan karena kehilangan diri sendiri.

Aku senang mengevaluasi diri. Aku senang mendengar masukan-masukan tentang diri. Aku akan mengubah diri menjadi manusia yang lebih baik, yang tidak menyakiti manusia lainnya. Tapi tentu saja tidak untuk meminta lawan jenis agar tertarik denganku.

Aku akan menjadi manusia yang manut kalau aku tidak tahu apa-apa dan argumen lawan bicaraku adalah benar. Aku akan merendahkan hati untuk meminta tolong jika aku menghadapi sesuatu di luar kemampuanku. Aku akan menjadi bodoh ketika aku sedang belajar agar aku bisa menyerap banyak ilmu. Aku akan mengubah cara berpakaianku jika pakaianku tidak sesuai dengan kondisi dan acara.

Aku bingung, kenapa perempuan harus mengubah hal-hal yang dimilikinya untuk memenuhi ego dan ekspektasi lawan jenis agar perempuan bisa ‘dipilih’ oleh lawan jenis?

Selama ini kita selalu dicekoki tentang perempuan di dalam media yang sering dinarasikan lemah lembut, cantik luar dalam, bertutur halus, penurut, berambut panjang, berkulit putih, dan lain-lain. Kini, standar kecantikan bergeser. Media sosial dan brand-brand kecantikan berlomba-lomba untuk menciptakan narasi baru soal kecantikan. Bahwa cantik tak harus berkulit putih, berambut hitam legam panjang, atau memiliki warna kulit rata nan halus tak berpori. 

Kalau kita setuju bahwa perempuan memiliki definisi cantiknya masing-masing, harusnya kita juga bisa belajar setuju bahwa perempuan bisa menarik dengan caranya masing-masing.

Aku bahagia dengan diri sendiri. Aku bahagia dan senang karena aku adalah perempuan yang ngeyelan, keras kepala, mandiri, dan ambisius. Sifat ini akan terus aku pertahankan. Karena inilah caraku untuk bisa jujur dengan diri sendiri. Menurutku, sifat-sifat yang aku miliki ini membuat laki-laki yang suka berkuasa atas perempuan dah auto terseleksi oleh alam. Aku bersyukur karena aku tak perlu menghabiskan tenaga untuk melakukan screening ke laki-laki seperti itu.

Satu lagi: aku yakin, laki-laki yang menjadi ‘target pasar’-ku adalah laki-laki yang suka ama perempuan yang bisa diajak mikir dan bekerja sama agar nantinya kami bisa berjalan bersama.

Sori dori mori nih ye aku gak sesuai ekspektasi. Yaelah, apa sih yang diekspektasikan dari seseorang yang namanya Juni tapi lahirnya Maret?

Tuesday, January 25, 2022

Untuk Todi/Kelana

Ada baiknya membaca tulisan ini sambil mendengarkan lagu Vierra - Seandainya.

*

Kami dipertemukan karena undian lotre yang dikocok Tuhan. Kencan pertama kami adalah jalan kaki 3,5 kilometer, pembacaan puisi Pada Suatu Hari Nanti karya Sapardi dengan lirih di toko buku, dan menunggu hujan dengan bermain siapa paling banyak menonton film TOP 50 IMdB. Setelah itu, kencan-kencan terjadi di Perpustakaan C2O dan warung Mbah Cokro. Yang paling penting adalah obrolan kami yang tak pernah ada habisnya. Apa saja kami bicarakan.

Dari kepalanya aku mengenal Sartre, Carl Jung, dan Freud. Tokoh wayang kesukaannya adalah Bhisma. Film favoritnya adalah 12 Angry Men yang belum pernah berhasil aku tonton. Baginya, Raden Mandasia adalah novel yang haram untuk dilewatkan. Aku masih ingat caranya membaca di warung kopi tempat kami biasa bertemu. Musik favoritnya adalah musik metal, punk, rock, dan musik-musik keras lainnya yang sayangnya tak pernah bisa aku pelajari. Aku masih ingat bagaimana ia berduka ketika mendengar Chester Bennington meninggal.

Aku masih ingat bagaimana ia selalu membayangkan obsesinya tentang anarko dan menjadi anak punk. Celana jeans favoritnya adalah yang berwarna hitam, berbentuk pensil ketat, agak belel, dan paling tidak pernah dicuci. Aku yakin, baju-baju di lemarinya hanya hitam, hitam, hitam, abu-abu, dan navy. Pernah suatu kali aku datang dengan kaos berwarna oranye. Ia langsung menunduk dan menghindari bertukar pandang. Sepatu favoritnya yang selalu ia kenakan adalah Converse High Chuck Taylor berwarna hitam. Aku bahkan masih mengingat parfum apa yang ia pakai.

Di kepalaku terrekam jelas bagaimana ia tertawa begitu lepas; seperti telah terkurung lama. Aku mengingat betul ia suka menggunakan kata 'kemudian' ketika bercerita. Ia kehilangan logat jawanya ketika mengobrol denganku, namun logat matramanannya masih lekat di lidah ketika berbahasa Jawa. Ia memanggilku 'Mbak', aku memanggilnya 'Pak'.

Kopi adalah oleh-oleh yang selalu ia tawarkan ketika melakukan dinas ke luar kota yang dalam sebulan bisa sampai dua hingga tiga kali. Ia selalu mengirim laporan "I'm on board" melalui chat WhatsApp jam berapa pun, meski aku masih tertidur. Ia memperkenalkanku pada sapaan selamat pagi dan malam. Ia yang memperkenalkan aku dengan pertanyaan sepele tentang sudah makan atau belum. Ia suka mengirim meme dari twitter, info twitwor, artikel, dan apa pun yang menarik di internet.

Aku tak pernah lupa bagaimana ia menjadi relawan untuk menggantikan peran Galang Adyatarna. Meski ia tak bisa menggambar, bermain musik, dan fitur-fitur di tubuhnya tak mirip seperi Galang, ia berhasil menjadi sumber inspirasiku. Aku suka mendokumentasikan kejadian-kejadian yang kami lalui ke dalam tulisan. Aku menulis dua cerpen yang terinspirasi darinya. Padahal sebelumnya aku tak pernah membuatkan cerpen yang aku dedikasikan untuk seseorang; ia dapat dua. Sampai saat ini, belum ada yang bisa membuatku menulis sebanyak itu lagi untuk seseorang.

Aku sempat merayakan ulang tahunnya yang ke-25½. Karena aku belum mengenalnya ketika ia berumur 25 dan belum tentu kami masih bisa bersama ketika ia berumur 26. Sebuah pop up dengan angka 25½, cheesecake, dan sebuah buku mampu membuat mukanya berubah merah padam. Barangkali ia pernah dan akan merayakan ulang tahun di hari kelahirannya bersama perempuan lain. Tapi hanya ketika ia bersamaku, ia merayakan ulang tahunnya yang ke 25½.

Sebulan setelah perayaan ulang tahunnya yang ke 25½, ia memilih pergi. Pamit, tapi meninggalkan janji dan luka. Ia mengaku masih memiliki kekasih yang menjalani hubungan jarak jauh. Ia pernah berjanji ingin diantar ke bandara—jobdesc favoritku di dalam pertemanan. Sebulan setelah itu, peristiwa-peristiwa penting dalam hidupnya ia kabarkan lewat mimpi; termasuk perempuan baru yang mengisi hidupnya. Perkiraanku benar: kami tidak bisa merayakan ulang tahun bersama di bulan Maret, ketika usianya bulat 26 dan aku 25.

Aku dihantui oleh kabar hidup dari seseorang yang tak ingin aku pedulikan lagi. Aku marah, aku dendam. Sedang ia bahagia dengan hidupnya. Kepada perempuan barunya, aku diceritakannya. Tentu saja dengan narasi berbeda: Juni, seorang teman perempuan yang ia temui di perpustakaan. Selama 1,5 tahun, dendam itu kubiarkan membara. Namun, setelah ia mengabarkan pernikahannya dengan perempuan yang ia temui ketika masih berkencan denganku, perasaan itu tiba-tiba hilang. Berganti menjadi tanya tentang narasi yang ia ciptakan tentangku kepada perempuannya. Sayang, sampai hari ini, aku tak bisa menuntut penjelasan lebih banyak tentang perilakunya ketika kami masih sering berkencan, alasannya pergi, dan narasinya tentangku.

Maka, untuk hidupku yang lebih baik, agaknya aku harus meluruskannya sendiri dengan merevisi beberapa bagian:

Kami bertemu di perpustakaan secara tidak sengaja. Tidak dari lotre. Percakapan pertama kami adalah tentang buku yang aku baca di dekat rak. Bukan karena pertanyaan tentang konsep ke-Tuhan-an.Kami bercakap banyak. Sangat banyak, sampai-sampai aku memilih untuk menyamakannya saja dengan kejadian sebenarnya. Kami tak pernah membicarakan tentang masa depan karena itu adalah satu-satunya topik yang paling mustahil.

Bagi orang yang suka membaca buku, bertemu dan berkenalan dengan seseorang di perpustakaan adalah khayalan picisan yang paling tinggi; apalagi sampai merencanakan pertemuan di luar perpustakaan dan toko buku. Hal itu terjadi kepada kami. Aku yakin, inilah alasan mengapa ia bersikeras menarasikan aku sebagai perempuan yang ia temui di perpustakaan.

Kejadian-kejadian setelahnya anggap saja sama persis. Aku hanya ingin mengubah bagaimana kami bertemu dan berpisah.Ia tidak pergi. Kami memutuskan untuk sama-sama menyudahi. Masa depan tak akan pernah bisa kami hampiri. Dengan begini, tak ada kesumat, tak ada angkara.

Todi—Kelana, kalau tulisan ini telah sampai ke hadapanmu, kamu tak perlu lagi menjelaskan apa-apa. Hutangmu lunas. Kamu hanya perlu menunggu ceritaku tentang seorang laki-laki yang membuat Galang Adyatarna purnatugas. Aku juga menunggu hari itu datang.