Monday, December 26, 2022

Mencatat Prestasi Baru

Kata Putu Wijaya, semakin pergi orang, maka ia semakin pulang. Bagiku, pulang adalah perjalanan-perjalanan yang bertolak dari Surabaya. Inilah kenapa aku selalu merasa senang ketika harus melakukan perjalanan. Apalagi perjalanan adalah salah satu cara perjumpaan dengan diri. 

Aku selalu membawa masalah hidup ketika melakukan perjalanan. Destinasi paling utama dalam setiap perjalanan adalah bengong dan jurnaling di kafe. Meski aku melakukan perjalanan bersama orang lain, aku selalu menyempatkan waktu untuk melakukan ritual ini. Pulang dari perjalanan, tas terasa enteng. Bukan bebannya yang berkurang, tapi pundaknya yang semakin kuat. 

Namun pernah ada satu kejadian yang membuatku memutuskan bahwa perjalanan paling baik adalah perjalanan yang dilakukan sendirian.

Pertengahan tahun lalu aku melakukan perjalanan ke Semarang, menginap di salah satu kos teman komunitas. Ternyata, beberapa orang dari komunitas yang sama sedang berada di kota itu untuk melakukan perjalanan dinas. Lalu kami semua bersepakat untuk bertemu dan main bareng pada hari Sabtu malam dan Minggu. 

Seperti biasa, aku membawa masalahku yang akan aku uraikan dan bahas pada hari Senin. Aku berencana meminjam motor kawanku yang sedang bekerja untuk berkeliling kota Semarang. Namun rencana hanyalah rencana. 

Pada hari Sabtu malam, aku dan enam kawanku bertemu dan mengobrol. Kami tertawa, bercanda, dan menukar banyak cerita seperti tujuh kawan lama yang pernah terpisah. Semua berjalan menyenangkan. Hingga sampai pada hari Minggu siang, salah satu kawanku tak sengaja menyenggol beban masalah yang sudah aku sembunyikan dengan rapi. Aku meledak. 

Setelah dua jam, tangisku mereda. Setelah satu setengah tahun kemudian, yaitu hari ini, aku baru saja menyadari kalau aku tidak nyaman dengan cara mereka meredakan tangisku. "Apa yang kamu rasakan tidak benar", "Kamu tidak seharusnya (menangis) begini", "Energi yang kamu keluarkan untuk menangis tadi cukup besar, harusnya kamu bisa gunakan energi itu untuk bersenang-senang", "Liburan ini agak rusak karena kamu menangis", diplomasi lain agar aku meredakan tangisku, dan martabak asin dan manis masing-masing sekotak yang dimakan bersama denganku yang berusaha menekan tangisku.

Setelah perjalanan Semarang itu, aku bertekad untuk melakukan perjalanan demi perjalanan dengan seorang diri. Satu-satunya orang yang hanya ingin aku temui adalah diriku sendiri.

Lalu, beberapa bulan lalu, keinginan untuk berjalan lebih jauh muncul. Untuk perjalanan kota dan perjalanan hidup. Katanya, kalau mau berjalan jauh, jalannya bareng-bareng; kalau jalannya mau cepet sampe, jalannya sendirian. Aku juga tidak mau menghabiskan sisa kesempatan perjalananku dengan tergesa. Maka dari itu, aku harus melatih diriku untuk mencoba membuka diri untuk bisa melakukan perjalanan dengan teman.

Percobaan pertama tidak berakhir dengan baik. Namun aku tidak melihat perjalanan ini sebagai kegagalan. Aku justru malah menemukan dan menyadari perasaan sepi yang sudah lama aku tekan untuk kemudian aku hadapi, olah, dan selesaikan. Aku sudah menulis cerita ini, tapi masih diedit karena tidak mudah bagiku menghadapi perasaan kesepian. Maka, ketika aku siap, aku akan melakukan percobaan kedua.

Kemarin Sabtu(24/12) dan Minggu(25/12), aku baru saja menyelesaikan percoban kedua. Lagi lagi perjalanan ini tidak berakhir dengan baik namun aku menemukan hal baru di dalam diriku(masih ingat tetang tujuan perjalanan adalah pertemuan dengan diri?).

Perjalanan kali ini lebih ekstrim dari perjalanan sebelumnya. Aku dan belasan kawan lain berangkat dari Surabaya untuk berkumpul bersama di satu villa di Trawas. Aku akan bertemu dengan 25 orang asing dan tidur semalam dengan satu atap dengan mereka.

Akhir yang tidak baik itu adalah: aku kelelahan. Aku kesulitan beradaptasi. Aku lelah dengan banyaknya orang. Aku lelah dengan usahaku untuk terkoneksi dengan mereka. Ini belum pernah aku lakukan sebelumnya. Namun aku berkenalan dengan sebuah perilaku baru dariku; nanti aku ceritakan. Aku juga berkenalan dengan sebentuk cinta yang baru.

Malam hari, setelah makan malam, kami duduk ber-26 di ruang tengah untuk bermain kartu Tentang Kita. Di lingkaran ini, tidak asing bagi kami untuk membiacarakan hal hal yang pelik dan rumit. Ada tangis dan tawa ketika kami berusaha menjawab pertanyaan dari kartu Tentang Kita. Tak hanya makanan, kami juga membagi banyak peristiwa, cerita, pengalaman, dan emosi. 

Salah seorang dari kami baru saja mengalami hal yang pernah aku alami enam bulan yang lalu. Aku pernah ada di posisinya. Meski kondisi dan peristiwa kami tidak presisi, aku dapat mengerti betul apa yang ia rasakan sekaligus menjadi pendegar ceritanya. Ketika aku menguatkannya, aku seperti menguatkan diriku sendiri.

Jawaban-jawaban pertanyaan dari kartu, mendatangkan cerita lain. Kalau aku bisa menjadi lampu yang menerangi kami, aku sedang melihat ada 26 manusia yang sedang menciptakan sebuah ruang untuk bisa sama-sama saling mendengar. Sama-sama saling bersedia dan berani untuk ikut mencicipi kepahitan hidup orang lain. Sama-sama saling belajar untuk menghadapi pembicaraan tentang hal hal yang berat dan rumit. Aku mengenal sebentuk cinta yang baru.

Tentu saja peristiwa ini memiliki efek samping. Bagi aku yang memiliki perasaan yang sensitif dan mudah berempati begini, mendengarkan 25 cerita seperti sedang memeras emosi. Aku tadi sempat bilang kalau kami belajar untuk terlatih membicarakan hal-hal yang berat. Aku jarang ikut dalam forum itu. Aku suka obrolan berat. Aku bisa berjam jam bahkan sampai subuh melakukan hal ini dengan satu orang. Hanya dengan satu orang. Kalau dengan 25 orang...tenagaku rasanya diperas. 

Belum lagi aku memosisikan diri untuk mendapat tiga sudut pandang. Aku sebagai diri sendiri yang mengalami hal yang sama seperti yang dialami kawanku, aku sebagai pendengar bagian dari koloni, dan aku sebagai sudut pandang ketiga yaitu lampu ruang tengah yang melihat koloni ini.

Malamnya, aku hanya bisa tidur selama setengah jam dan pulangnya berhasil membawa oleh-oleh angin dari Trawas yang sejuk yang aku simpan di dalam tubuh. Untungnya Tanggulangin tak memperbolehkanku membawa angin tersebut ke Surabaya karena Tanggulangin adalah Tanggul Angin.

Meski berakhir ngedrop, tapi prestasi baru telah tercatat: mengizinkan diri sendiri untuk berangkat dan bermalam dengan 25 orang asing dalam satu atap.



No comments:

Post a Comment