Sunday, January 29, 2023

Self-train

Soal belajar, aku sering tidak mengingat bagaimana caraku belajar sampai bisa mengantarkanku untuk memiliki beberapa keahlian. Di bangku sekolah, aku tidak pernah mengingat betapa tersiksanya masa-masa belajar di sekolah formal. Bahkan ketika duduk di bangku SMK yang memiliki 25 mata pelajaran, praktikum, dan kimia tiga biji, aku tidak merasa sekalipun tersiksa.

Ibu sering bercerita ke orang lain bahwa beliau tidak pernah memaksa anak-anaknya belajar. Ini benar adanya. Pernah suatu waktu di minggu-minggu UAS, ibu mengingatkan, "Besok UAS. Tidak belajar?" Aku menolak dengan alasan malas. Kata ibu, nilai jelek dan malu karena tidak naik kelas adalah urusanku. Pada akhirnya nilaiku bervariasi. 0, 20, 35, sampai 100 pernah kudapat. Ibu tak pernah marah.

Sampai suatu ketika, aku mengajar seorang murid les yang memiliki kesulitan belajar. Ia tidak mau belajar. Lalu aku bertanya pada ibu, "Bu, dulu tuh ngajarin aku baca dan tulis seperti apa?" Berkali-kali ibu menjawab tak pernah mengajari secara formal dengan duduk dan buku. Tak puas, aku mengoreknya lagi.

Ibu kemudian mengaku. Ibu mengajariku berhitung lewat kegiatan rumah sehari-hari: menghitung cabe, telor untuk bikin kue, bertanya jam, dll. Ibu juga sering membuka empat meja (satu untuk dia, satu untuk anak-anaknya) dan membuka jurnal pekerjaannya. Katanya, setelah itu, aku dan adik-adik membuka buku. Entah itu cuma membaca atau mengerjakan PR.

Aku juga mencoba mengingat bagaimana aku mempelajari belajar. Yang aku ingat, ketika sudah bisa membaca, semua hal kubaca. Baliho, iklan, brosur, stiker. Apapun. Aku mau mengenali dan membaca semua huruf tanpa peduli artinya dan salah ucap. Aku begitu antusias dengan huruf-huruf yang berjejer dan bisa dibaca lalu menghasilkan bunyi. Kebiasaan ini ternyata terpatri hingga dewasa.

Setahun lalu, aku belajar aksara Hangeul. Sekarang, setiap kali aku melihat Hangeul, aku baca. Aku tidak peduli salah tajwid dan tidak memahami artinya. Aku justru lebih senang kalau kawanku mengoreksi dan memberi masukan. Kebiasaan seperti ini ternyata juga berlaku di bidang lain seperti fotografi, tari, menulis, memasak, renang, dll. Hampir semua keahlianku tidak bermentor. Aku suka mengulik dan mempelajari semuanya sendiri. Sesekali mengikuti lokakarya, pelatihan, dan mencari teman diskusi.

Belakangan aku juga menyadari bahwa aku tidak cocok dengan metode belajar duduk dan mendengarkan. Awalnya aku merasa aneh kenapa teman-temanku suka belajar(duduk dan mendengarkan) sedangkan aku tidak. Lalu dari mana datangnya semua keahlian ini? Ternyata, aku lebih nyaman dengan metode belajar eksploratif, observasi, dan self-train.

Tapi sayangnya, metode belajarku tentu saja memiliki kekurangan. Ketika temanku memintaku untuk mengajari suatu keahlian—menulis— aku kebingungan harus dimulai dari mana. Padahal aku juga butuh mengurai step belajar menulis untuk membuat kurikulum agar apa yang aku pelajari selama ini bisa disebar dan dibagikan.

Maka dari itu, aku merasa sangat senang sekali kalau ada kawanku yang meminta masukan tulisannya dan mengajakku berdiskusi tentang tulisan. Belum lagi ternyata hal ini pelan pelan mengembalikan kepercayaan diriku untuk menulis.

No comments:

Post a Comment