Thursday, June 16, 2016

Tak Ada Jam di Rumah Kami

09.45. Rupanya kelas telah dimulai 45 menit yang lalu.

“Kenapa terlambat?” Tanyanya menodong.

“Tak ada jam di rumah saya, Pak.”

Lalu ia tersenyum sinis. Dan saya hanya menantang matanya sambil berkata dalam hati.

Kalau Bapak hendak mendengar alasan saya yang lebih panjang dan lebih logis, saya akan jelaskan. Baiklah, alasan yang lebih logis adalah : saya terlambat terjaga. Tapi saya tidak tahu apakah saya terlambat atau tidak. Dan alasan ketidaktahuan saya adalah : tak ada jam dinding di rumah saya.

Jika tak ada jam dinding di rumah, bagaimana saya bisa tahu pukul berapa saya baru terjaga?

Begini, Pak, sudah hampir tiga tahun tak ada jam dinding di rumah. Dan orang rumah bukan pemakai jam tangan. Untuk tahu pukul berapa, biasanya kami bertanya kepada mereka yang sedang ada di depan layar laptop atau ponsel. Tapi toh, adzan masih berkumandang, dan kami jadi keluarga penghapal rutinitas tetangga.

Pak Toni, tetangga seberang rumah selalu menyalakan mesin mobilnya pada pukul setengah enam pagi. Dan kegiatan kampung saya baru dimulai ketika pukul enam pagi. Pengantar koran mulai berteriak lantang, penjual pecel keliling tak mau kalah, Abrar dan Abi si kembar selalu ribut mengenai kaus kaki, sampai Bu Lastri yang selalu repot mengantar kelima anaknya sendirian.

Kesibukan pagi selalu selesai pukul delapan pagi. Semua anak sekolah sudah duduk di meja sekolahnya, dan pekerja telah merutuki jalanan. Ketika itu, pedagang donat lewat. Setelah itu disusul pedagang ikan keliling. Tak akan ada pedagang sayur yang lewat, sebab ia akan kalah saing dengan penjual sayur di ujung kampung saya.

Kedua orang tua saya bekerja. Adik-adik saya sekolah. Saya sendiri di rumah. Tadi pagi ponsel saya mati total. Tapi begitu terjaga, saya langsung mengintip jalanan lewat jendela. Sinar matahari sudah menerangi seluruh jalan. Sudah pukul sembilan, saya hapal itu. Entah tepat, kurang, atau lebih, saya tak tahu. Sebab, hanya jam adalah penunjuk waktu yang paling akurat, kan?

Saya tak hiraukan pukul berapa saya terjaga. Saya langsung bergegas mandi, ganti baju, lantas berangkat. Saya melupakan ponsel saya. Bahkan, saya baru tahu jika saya terlambat sampai 45 menit ketika masuk ke kelas ini. Saya memang keterlaluan, Pak.

Saya harap Bapak maklum dan membuka logikanya. Terima kasih. Saya akan duduk dan mendengarkan Bapak mengajar.

***

Beberapanya fakta, beberapanya fiksi. Jika terjadi kesamaan cerita, barangkali itu fakta, Pak.

16 Juni 2016
×××,
Rahmadana Junita.

Saturday, June 4, 2016

Perayaan

Nak, sebelum kau lahir, ibu akan sampaikan kepadamu bahwa perayaan itu tak perlu. Seperti perayaan perpisahan. Berpisah sejatinya tak butuh perayaan. Seperti nanti jika ibu tiada.

Tak akan ada perayaan untuk berulangnya hari lahirmu yang kau temui kembali. Tak akan ibu izinkan.

Kalau kau ingin mendapatkan kado untuk kau buka bungkusnya, nanti akan ibu siapkan 365 atau 366 hadiah kecil untukmu yang telah ibu siapkan pada hari ulang tahunmu. Yang dibungkus dengan kertas warna-warni dan akan ibu berikan setiap hari. Tidak selalu berisi benda-benda yang dipasang di toko. Tapi mereka akan menjadi benda yang akan mengejutkanmu dan membuatmu gembira.

Tiup lilin itu tak perlu. Sebab semua orang melakukan hal itu ketika lampu mati. Lebih baik tiup bunga liar serupa dandellion. Jangan lupa panjatkan doa sebelum terlepasnya tiupanmu. Agar mereka membawa serta doa-doamu lantas membisikkannya kepada semesta untuk dikabulkan

Tak perlu takut kekurangan doa-doa tentang umur yang panjang atau kesehatan yang menyertaimu. Sebab harapan dan doa selalu ibu panjatkan yang tak pernah kurang-kurangnya. Dan berbuat baiklah kepada sesama. Sebab berbuat baik akan mendatangkan doa yang baik.

Tentang kue tart, itu hal sepele. Tak melulu kue tart, tiada mengapa, kan? Sebagai gantinya, hidangan istimewa akan ibu sajikan.

Perayaan hanya untuk mereka yang memiliki ketakutan akan hari depan.

**

Mulai ditulis 15 Mei 2015 di C20 ketika menunggu AriReda yang syahdu.
Diselesaikan 16 Mei 2015 di C20 (juga) ketika menunggu empat lagu Silampukau.
Untuk yang berulang tahun hari ini. Kiranya umurmu tak panjang, semoga kau dapat abadi dalam karya-karyamu. Mustinya, aku kan selalu berdoa tentang umurmu yang akan selalu bertambah dan karya yang nanti tak kan ada habisnya. Amini dan jalani. Itu tugasmu.