Tuesday, March 31, 2020

Pemacu Pemicu

Gimana? Mau nulis apa ini? Niat sudah ada lho. 

Coba dikulik otaknya ya. Isinya apa? Ada siapa saja di dalam situ? Siapa yang akan memainkan cerita? 

Jika tak ada yang bermain, coba didirikan dulu taman bermainnya. Prosotan, jungkat-jungkit? Panggung pertunjukan? Waktu? Perjalanan? Peradaban baru? Apa?

Kalau masih belum ada taman bermainnya, coba bayangkan halaman kosong. Ah, ternyata halaman ini tak lagi kosong. Kau bisa menggelar apa saja di atas halaman yang sudah kau mulai ini. Bisa taman bermain, pasar malam, ruang gelap kosong yang ada di kepalamu, bait, paragraf, atau bahkan omong kosong. Tapi, kalau bisa jangan omong kosong. Orang akan abai. Kecuali kau sudah lama berkiprah mengisi halaman yang didatangi banyak orang. 

Coba renungkan kembali, apa yang cocok untuk halaman yang sudah terisi dengan 123 kata ini? Kalau sampai malam nanti tak jua bertemu dengan permainannya, kau boleh menginap sehari-dua hari. Bebas. Toh halaman ini milikmu. 

Tapi, ya, kamu harus ingat saja kalau rumput tetangga akan selalu lebih hijau. Kalau halamanmu tak kau isi sekarang, tetangga akan lebih dulu menuai rumput hijaunya.

Tuesday, March 17, 2020

Hari Depan

Sering kali aku didera ketakutan akan hari depan. Takut jika nantinya aku tak sanggup menghadapi apa yang terjadi. Takut jika nantinya tiba-tiba orang-orang tak lagi dapat mengingatku. Jika aku dihadapkan oleh hal ini, aku biasanya tidur sepagi mungkin sampai setidaknya orang rumah baru bangun. Lalu jika aku mulai terjaga, aku paksa mataku untuk kembali terpejam. Kenyataan begitu menakutkan.

Jika ini terjadi kepadaku, aku biasa menarik diri dari pertemanan, keluar dari semua grup WhatsApp, membenci semua temanku, membuktikan bagaimana jadinya jika mereka hidup tanpa aku.

Dua hari yang lalu aku bertanya pada diriku sendiri. Bagaimana jika aku tak pernah dilahirkan? Bagaimana jika suatu hari nanti aku tiba-tiba menghilang dari bumi dan ingatan orang-orang yang mengenalku? Adakah mereka akan lebih bahagia?

Lalu tibalah hari ini. Hari yang aku tunggu-tunggu akhirnya tiba. Bagiku, usia 27 adalah sebuah ketakutan terbesar. Chairil Anwar dan Soe Hok Gie waat sebelum usianya 27. Hal ini yang selalu aku wanti-wanti kepada temanku untuk menyelamatkan hidupnya dalam perjalanannya menuju 27. Apakah aku sanggup bertahan sampai usiaku 27?

Barangkali aku sudah cukup bertahan sampai hari ini. Tapi, apakah aku bisa bertahan setidaknya sampai tahun depan?

Hari ini terasa sedikit menyenangkan karena doa baik yang terpanjat dari teman-teman. Panjang umur, bahagia selalu, dan dilimpahkan rezekinya. Aku berharap tak ada doa-doa tentang jodoh dan cinta. Aku pikir aku dan teman-teman sudah bosan dengan permintaan tentang hal itu. Barangkali aku harus menghentikan pertanyaan bagaimana rasanya dicintai?

Tapi jika ini adalah kesempatan terakhir, izinkan aku memohon doa ini:
Jika memang dia adalah orangnya, buat kami dekat. Jadikan ia nyala, nyata, dan nyata. Karena aku ingin merasakan dan mengerti bagaimana rasanya memberi. Aku janji akan mencintainya sebanyak yang aku bisa. 
Jika bukan ia, beri ia hidup yang lebih bahagia dari hari ini. Buat ia menjadi dewasa dan bijaksana. Pertemukan ia dengan perempuan yang dapat saling melengkapi. Kebahagiaannya adalah kebahagiaanku juga.

Hatiku telah patah berkali-kali dan remuk berkeping-keping tapi semoga ia tidak kehilangan kemampuannya untuk memaafkan dan mengikhlaskan.