Monday, December 20, 2021

Meradang Menerjang

Kemarin Sabtu, dalam perjalananku menuju ke psikolog, aku belajar sesuatu dari sebuah kejadian. Kupikir, kejadian ini perlu ceritakan dan rekam. Sebab, barangkali bisa untuk menjadi pengingat buatku. 

Di dalam perjalanan kemarin, aku berangkat dengan dengan menaiki motor. Di tengah perjalanan, aku sempat berhenti di salah satu pertigaan karena lampu lalu lintas menyala merah. Namun aku mendengar klakson berbunyi dan beberapa kendaraan di belakangku menyalip untuk terus maju. Aku bertanya, apakah aku melakukan kesalahan? Lalu aku mengecek posisiku.

Pertigaan ini datang dari tiga arah: dari arahku, dari arah berlawanan, dan dari arah sebelah kananku. Dari arahku, ada penanda yang melarang kendaraan untuk belok kanan dan putar balik. Kendaraan-kendaraan yang searang denganku hanya bisa lurus. Maka, lampu merah yang menyala untuk kendaraan-kendaraan yang searah denganku tentu saja fungsinya hanya untuk menghentikan kami. Argumen ini mutlak.

Aku benar dan orang-orang yang tidak berhenti adalah salah. 

Ketika aku memilih untuk berhenti di tengah-tengah kendaraan yang terus melaju, aku masih saja dihantui pertanyaan, "Apakah aku salah?" Aku juga terus mempertanyakan posisiku dengan mengecek argumen-argumen di sekelilingku.

Peristiwa ini membuatku berpikir; ternyata, meski aku melakukan hal yang benar, di tengah orang-orang yang melakukan kesalahan, aku akan tetap merasa bersalah dan terus mempertanyakan sikapku.

Aku tentu saja tidak punya daya dan upaya untuk melarang mereka terus melaju. Namun, bukan berarti bertahan menjadi hal yang mudah. Aku harus bermusuhan dengan diri sendiri untuk tetap teguh dan yakin.

Barangkali ini menjadi pengingat buatku: untuk memiliki keteguhan hati dan ketangguhan kaki untuk terus bertahan di jalan yang aku yakini benar. Ini adalah perlawananku. Seperti pada puisi Chairil yang belakangan aku kumandangkan untukku sendiri:

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari...
Hingga hilang pedih peri
Dan aku lebih tidak peduli
Aku ingin hidup seribu tahun lagi

Menjadi jujur di tengah-tengah pendusta, menjadi berani dan lantang di tengah-tengah penindasan, atau menjadi bineka di tengah-tengah kebineran adalah sebentuk perlawanan.


Friday, December 17, 2021

Mencuri Dengar

Seorang penjual cilor berkata kepada salah satu pembelinya sambil mengecek bara api dan membereskan dapur kecilnya, "Lek sepi tergantung ambe dodolane. Lek dodolane dewe yo sante ae. Nek melu wong liyo sing rodok medeni. Soale, lek gak laris iso diganti."

Diam sejenak.

Ia kembali bertanya, "Pedes, Mbak?" Si pembeli mengiyakan.

Sambil menunggu gorengannya matang, sambil mengelap tangannya ke serbet, si penjual melanjutkan kalimatnya, "Nek ndodoli dagangane wong liyo trus gak payu, bose nyoba ganti karyawane. Wah arek iki gak ngerejekeni. Pas diganti, eh lha kok rame. Wah arek iki ngerejekeni. Nek dodolan dodolane dewe kan sepi rame..."

Seorang pedagang lain datang memanggil ke arah gerobak cilor, "Mbak Tako, onok sing tuku."

Pembeli menoleh.

Pedagang cilor berkata kepada pembelinya tadi, "Didoli sek, engko tak terno."

Pembeli tadi meninggalkan gerobak pedagang cilor, menyeberang, dan menghampiri gerobak takoyakinya.

*

Bagiku, mencuri dengar percakapan orang asing tentang hidup mereka sangatlah menyenangkan. Aku bisa mendengar suara yang jujur. Aku bisa mencoba sepatu mereka. Aku selalu merasa kaya. Bukan karena materi, melainkan karena aku telah mendapatkan pengalaman hidup dari orang asing hanya dengan mencuri dengar tanpa membuat orang asing tersebut kehilangan.

Sebelum pandemi, aku sering melakukan ini. Aku yakin, makan adalah salah satu cara terbaik untuk menyelesaikan masalah hidup. Maka itu, aku sering menyasar tempat-tempat makan atau penjual jajan yang memiliki antrian yang panjang. Aku sering makan sendirian di warung penyetan agar bisa fokus mendengarkan orang-orang di sekitarku membicarakan hidupnya. Aku sering tiba-tiba belok beli jajan pinggir jalan untuk menangkap peristiwa-peristiwa kecil yang berharga.

Aku juga sering nonton wayang kulit, wayang orang, ketoprak, ludruk, dan kesenian tradisional lainnya. Memakai baju gelap dan celana belel. Aku juga pernah sekali dua kali ke pasar malam. Namun bagiku, pasar malam terlalu terang untukku bisa bersembunyi. Aku tak suka jika keberadaanku diketahui. 

Aku ingin lebih banyak memotret dan mencuri dengar suara-suara penting.

Namun ketika pandemi berlangsung, aku seperti kehilangan kemampuan ini. Aku seperti kehilangan kemampuan bersosialku. Aku seperti kehilangan kemampuanku untuk bertemu dengan manusia secara langsung. Padahal aku rindu menjadi pencuri dengar. Padahal suara-suara itu penting bagiku.

Dalam angan-anganku, aku bisa lebih berani ke tempat-tempat yang berisi suara-suara itu. Tentu saja untuk mengubah magak-karyaku menjadi mahakarya. Untuk menulis, aku tak hanya butuh membaca. Aku juga butuh mendengar.

Friday, October 8, 2021

Lima Pertemuan dengan Gunawan Maryanto

"Gunawan Maryanto meninggal, kata Diah."

Sebuah pesan singkat masuk di WhatsApp dari mbak Nabila malam (05/10) kemarin. Aku tentu tercengang. Bingung dan tidak percaya campur jadi satu. Aku hanya mampu membalas dengan emoji patah hati. Lalu tangan menelusur ke sosial media orang-orang terdekat Gunawan Maryanto untuk mencari kebenaran kabar. Belum ada tersiar kabar. Tapi betul, hatiku sungguh patah.

Aku menelusur kolom pencarian di Twitter: Gunawan Maryanto. Memang benar adanya, mas Cindhil telah berpulang. Aku menangis. Hatiku patah tak keruan. Aku kembali mengingat memoar-memoar bagaimana karyanya dan aku bertemu.

Pertemuan pertama kami adalah di dalam bioskop. Aku melihat ia memerankan Widji Thukul di film Istirahatlah Kata-Kata. Ia juga memperkenalkan aku dengan sosok Widji Thukul lewat keaktorannya yang ciamik. Aku ingat, aku sempat menangis di bioskop karena melihat keindahan film tersebut. Pada hari itu aku berjanji untuk melihat karya-karya Gunawan Maryanto dan sutradaranya, Anggi Noen.

source: catchplay

Pertemuan kedua kami ada di toko buku, di sebuah buku puisi. Aku membaca puisi-puisinya. Senyum tersungging. Aku suka dengan cara bertutur dan berpikirnya. Namun sayang, aku tak bisa menebus buku puisinya karena satu-dua lain hal (aku lupa).

Pertemuan ketiga kami adalah ketika aku menonton film Mencari Hilal di layanan streaming, Hooq, Mei 2018 lalu. Ia menjadi salah seorang warga sekitar.

Juli 2018, aku hampir saja bertemu dengannya di Folk Musik Festival. Tapi sayang gak jadi berangkat karena aku tidak memenuhi janjiku sendiri bulan itu: sidang. 


 
Menengok lebih ke belakang lagi, tahun 2015 silam, aku pernah sowan ke Teater Garasi untuk ngambil backdrop putih menemani seorang teman dari Teater Gadjah Mada. Backdrop itu nantinya akan digunakan pentas teman-teman Pappermoon Puppet Theatre. Pappermoon Puppet Theater adalah pertunjukan boneka yang aku temui di internet. Aku pernah membayangkan menonton pertunjukan Papermoon Puppet, kemudian main sebentar ke Teater Garasi. Ternyata, tak disangka, ternyata kedua tempat tersebut jaraknya tidak jauh.

Pertemuan keempat kami lagi-lagi terjadi di bioskop, tepatnya ketika pemutaran film Nyai. Aku begitu girang ketika Gunawan Maryanto mengisi peran di situ. Lagi-lagi, ia mampu mencuri perhatian. Ia memerankan seorang abdi. 

source: IMDb

Begitu tahu Anggi Noen menelurkan film lagi bersama Gunawan Maryanto, aku adalah salah satu orang yang paling ingin menikmatinya. Film itu berjudul The Science of Fiction, atau dalam bahasa Indonesianya adalah Hiruk-Pikuk sang Al-Kisah. Belum lagi isu yang diangkat sangat menarik dan berkaitan erat dengan naskah teaterku yang sudah tujuh tahun ini menjadi magak-karya.

Film tersebut sempat diputar di JAFF 2019. Aku sempat ke JAFF, tapi aku tidak sempat menyaksikan film tersebut. Aku sempat lega dan senang ketika ada pengumuman bahwa TSoF akan tayang tahun 2020 di bioskop-bioskop reguler. Namun sayang, beberapa pemutaran film banyak yang tertunda karena pandemi.

Begitu tahu TSoF ditayangkan di salah satu bioskop Malang, tanpa pikir panjang aku langsung merencanakan untuk ke sana dan nonton. Sekaligus menikmati short escape.

Pertemuan ke lima kami lagi-lagi di bioskop, ketika aku menonton The Science of Fiction. Ketika menontin film TSoF, aku merinding dan menangis. Aku juga sering misuh-misuh karena melihat keaktoran Gunawan Maryanto yang luar biasa. 

Tubuh adalah modal utama seorang aktor. Ia memiliki kemampuan yang luar biasa dalam mengendalikan tubuh. Aku sempat menangis melihatnya tablo sambil membawa beban yang tampak berat. Aku tak menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana ia bisa dengan penuh mengendalikan tubuhnya. 

Aku pikir aku akan diberi kesempatan untuk ke Yogya dan melihatnya pentas, atau bertemu saja dengannya secara langsung, mengobrol basa basi dengannya, lalu berfoto. Aku pikir aku bisa bertemu dengannya kembali di bioskop lewat film-film yang dimainkannya. Aku pikir aku bisa meguru tentang keteateran, mengobrol sampai pagi, mendengar sudut pandangnya terhadap dunia. Tapi ternyata tidak.

Lima pertemuan kami memang tak pernah secara langsung. Tapi aku seperti merasakan kedekatan dengannya karena ada bidang-bidang seni yang beririsan. Mengutip kata Intan Paramaditha: 

Ia salah satu dari sedikit seniman yang bekerja secara konsisten melintasi sekat-sekat disiplin: sastra, teater, film.

Sastra, teater, dan film. Tiga bidang seni yang juga aku minati.

Sampai sekarang, sampai tulisan ini ditulis, hatiku masih patah. Aku masih menitikkan air mata ketika Melihat orang-orang masih mengenang Gunawan Maryanto lewat tulisan, postingan, atau apapun itu. Aku, yang cuma menikmati dan mengagumi karya-karyanya saja, amat sangat merasakan kehilangan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan orang-orang yang pernah mengenal, berkarya, dan bekerja bersama.

Selamat pulang, Mas Cindhil. Sampai jumpa nanti, di kehidupan yang abadi. Terima kasih atas karya-karyamu.

Sunday, October 3, 2021

Membaca Nalar Kritis Muslimah

Hampir tiga minggu ini aku membaca Nalar Kritis Muslimah yang ditulis oleh Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm. Buku ini aku dapatkan dari seorang teman, Nabila Budayana. Menurutku, ketika seseorang memberikan sebuah buku, rasanya seperti ada tanggung jawab untuk menyelesaikan dan menyebarkan apa yang aku dapatkan dari buku tersebut. 

Ulasan dan rangkuman ini aku tulis berdasarkan buku Nalar Kritis Muslimah dengan menggambungkan pengalamanku sebagai muslimah (ciye) dan pemanggilan informasi-informasi lain yang pernah aku dapatkan—entah itu diskusi atau buku lain.

*



Blurb

Islam hadir ketika perempuan belum dianggap sebagai manusia sehingga diperlakukan sebagai objek dalam sistem kehidupan. Mereka dijual dan diwariskan, baik di Jazirah Arab maupun di belahan dunia lain. Karenanya, penegasan Islam atas kemanusiaan perempuan berarti empat hal. 

Pertama, penegasan kedudukan perempuan sebagai subjek pe­nuh dalam sistem kehidupan. Kedua, sebagai sesama manusia, laki-laki dan perempuan sama-sama hanya hamba Allah Swt. dan  mengemban amanah yang sama sebagai khalifah fil ardh dengan mandat mewujudkan kemaslahatan seluas-luasnya di muka bumi. Ketiga, sebagai sesama subjek penuh sistem kehidupan, laki-laki dan perempuan mesti bekerja sama mewujudkan kemaslahatan, sekaligus sama-sama berhak menikmatinya, baik di dalam maupun di luar rumah. Keempat, laki-laki bukanlah standar kemaslahatan perempuan sehingga pengalaman perempuan, baik secara biologis (menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui) maupun sosial (stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda hanya karena menjadi perempuan) adalah sah untuk dipertimbangkan dalam kemaslahatan Islam meskipun tidak dialami laki-laki.

*

Keadilan Perempuan dan Posisinya

Di buku ini paling sering membahas tentang pengalaman perempuan yang tidak dialami laki-laki. Ada dua pengalaman: pengalaman biologis dan pengalaman sosial. Pengalaman biologis meliputi: menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Pengalaman sosial meliputi: stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda hanya karena menjadi perempuan.

Di buku ini juga sering dibahas bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama manusia yang menjadi hamba Allah dan memiliki peran dan tugas yang sama yaitu menjadi khalifah fil ardh, yaitu sama-sama mewujudkan kemaslahatan di muka bumi. Harusnya, laki-laki dan perempuan bisa menjadi mitra yang baik untuk memskmurkan bumi.

Namun sayangnya, segala sesuatu yang maslahat oleh laki-laki belum tentu demikian bagi perempuan. Karena laki-laki tidak memiliki lima pengalaman biologis dan lima pengalaman sosial yang akan mempengaruhi keberadaannya di bumi; tidak seperti perempuan.

Pengabaian lima pengalaman biologis dan lima pengalaman sosial bagi perempuan sering membuat perempuan menjadi kaum yang rentan dan sering mendapat ketidakadilan.

Aku jadi kebayang kalau ruang publik masih diisi oleh banyak laki-laki, sedangkan perempuan masih dibebankan dan diekspektasikan peran domestik dan dipersulit untuk mengisi peran di ruang publik. Akhirnya, kebijakan-kebijakan yang muncul hanya berdasarkan dari sudut pandang laki-laki yang menjadi mayoritas tanpa mempertimbangkan pengalaman-pengalaman perempuan yang tidak dialami laki-laki. Tentu saja ini akan tidak menguntungkan perempuan.

Maka, harusnya perempuan juga diberi kesempatan yang sama untuk bergerak dan berdaya di ruang publik agar ruang publik dengan memberikan akses-akses yang memudahkan perempuan dan membuat kebijakan dengan mempertimbangkan pengalaman perempuan. Menurutku, salah satu caranya adalah dengan tidak membebankan dan mengekspektasikan perempuan hanya ada di ranah domestik saja. Perempuan dan laki-laki harus memiliki peran yang sama di ruang publik dan domestik.


Bahasa dan Tafsir 

Sebagai orang yang memiliki ketertarikan di bidang bahasa dan pengembangannya, sangat menarik bagiku ketika penulis membahas tentang bagaimana bahasa Arab dan tafsirnya. Aku mencoba menuliskannya dengan memanggil pengalamanku ketika mencoba menerjemahkan bahasa Jawa ke bahasa Inggris.

Pertama, bahasa Arab sendiri memiliki konsep gender. Buku ini menjelaskan bahwa bahasa Arab memiliki konsep berbahasa yang ditentukan oleh konsep mudzakar (laki-laki) dan muannatz (perempuan). Setiap kata dalam bahasa Arab memiliki gender atau jenis kelamin. Di buku ini juga dijelaskan pula bagaimana relasi gender dalam bahasa Arab sangat bias. Jadi ini membuat bahasa Arab mustahil untuk menjadi bahasa yang netral gender seperti bahasa Indonesia.

Kedua, tentang pengalamanku menerjemahkan. Aku jadi ingat ketika aku sedang mencoba menerjemahkan film pendekku dari bahasa Jawa ke bahasa Inggris untuk dijadikan takarir. Susah. Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan:

  • Bahasa tidak diterjemahkan hanya secara harfiah.
  • Dibutuhkan analisis yang mendalam terkait komponen lain dari bahasa seperti sejarah, etimologi, budaya, pengalaman, dsb.
Berdasarkan dua hal di atas, aku kini mengerti mengapa Al-Quran tetap dibaca dengan bahasa Arab. Menurutku karena Al-Quran adalah firman Allah, segala sesuatunya sudah diatur di kitab tersebut. Sedangkan manusia memiliki keterbatasan untuk menafsirkannya. Tidak sembarangan orang bisa menafsirkan ayat di Al-Quran, karena ada banyak hal yang harus dianalisis dan menjadi landasan tafsir.
Al-Quran itu dari Allah, Dzat yang Mahaadil kepada perempuan, maka mustahil memaksudkan firmannya untuk ketidakadilan bagi mereka. Namun, Al-Quran selalu disampaikan melalui pemahaman manusia yang tidak satu pun maha adil. Bahkan sering tidak adil pada perempuan.


Cara Perempuan Mengetahui

Ilmu seperti cahaya; ia menerangi kegelapan. Namun, jika cahaya langsung disorot ke mata, tentu saja akan menyilaukan dan membuat mata tak bisa melihat. 

Mary Belenky, Blythe Clinchy, Nancy Goldberger, dan Jill Tarule dari Ferris State University membuat suatu terkait mengenai hal ini. Hasilnya adalah teori Women's Ways of Knowledge. Cara perempuan mengetahui dibagi dalam lima tingkatan:

  1. Diam (silent)
    Perempuan dalam posisi ini tidak punya pilihan lain kecuali diam dan mengerjakan yang pihak lain perintahkan.
  2. Pengetahuan Terterima (Received Knowledge)
    Pada tahap ini, perempuan menghayati pengetahuan sebagai kebenaran. Segala informasi dianggapnya benar dan langsung mereproduksinya. Tidak ada proses klarifikasi, apalagi refleksi.
  3. Pengetahuan Subjektif (Subjective Knowledge)
    Perempuan mulai menghubungkan pengetahuan dengan hati dan pengalaman personalnya. Pada tahap ini pula, perempuan mulai muncul daya kritisnya.
  4. Pengetahuan Prosedural (Procedural Knowledge)
    Perempuan mulai menyandarkan pengetahuan pada prosedur objektif dan mulai mengomunikasikan pengetahuan. Dia mulai mencari pendapat lain tentang hal yang sama. Pada tahap ini, perempuan mulai tidak percaya begitu saja kepada sebuah pengetahuan dan mulai tergerak mencari sumber lain, lalu menghubungkan dan mengomunikasikan satu sama lain.
  5. Pengetahuan Kukuh (Constructed Knowledge)
    Pada tahap ini, perempuan telah berada dalam posisi pengetahuan yang kukuh karena telah melakukan verifikasi atas pengetahuan yang didapatnya. Ia memandang pengetahuan secaara konstektual. Pada tahap ini pula, perempuan telah mempunyai alasan kuat atas sebuah pengetahuan yang dipilihnya.

Tingkatan ini sangat dinamis. Seorang perempuan bisa saja memiliki banyak level pengetahuan di berbagai isu. Ada yang masih di level diam saja di satu isu, namun menjadi level 5 di isu yang lain. 

Menurutku, tingkatan perempuan dalam mengetahui ini bisa dipakai untuk tingkatan berpikir kritis dan bernalar dari berbagai aspek. Ketika berkomunikasi dengan perempuan lain, sepertinya perlu mempertimbangkan tahapan pengetahuan ini. 

Nggak mungkin mengajak perempuan yang masih ada di tahap 1,langsung diajak menjadi tingkatan berpikir no 5. Ada tingaktan proses berpikir yang harus dialami.


Kemanusiaan, Perbedaan, Keadilan, Keberagaman, Keberagamaan

Selain membahas tentang keperempuanan dan keislaman, buku ini juga membahas tentang kemanusiaan. Ada banyak sekali yang dibahas terkait dengan kemanusiaan. Perbedaan, keadilan, keberagaman, dan keberagaman. Aku jadi ingat lagunya ERK yang Kuning (Keberagaman, Keberagamaan).


Kesimpulan 

Buku ini penuh daging. Aku sadar bahwa ulasanku di atas sangat amat kurang menyajikan informasi yang ada di dalam buku. Belum lagi tentang ilmuku yang masih ecek-ecek. Saranku, sih, baca sendiri saja bukunya. Menurutku bahasa yang digunakan oleh penulis tidaklah sulit, dan penulis mampu menjabarkan dengan baik.

Tidak hanya memberikan pengetahuan baru tentang parempuan di dalam islam, ketuhanan, keberagaman, keberagamaan, dan kemanusiaan, buku ini juga secara gak langsung mengasah dan mempertajam pola pikir. Ketika membaca, aku juga memanggil beberapa informasi dan pengalaman yang pernah aku alami sebelumnya. Landasan berpikir ini nantinya dapat aku gunakan dalam menyikapi hidup

Menjadi perempuan yang berdaya dan sadar memiliki previlese membuatku ingin terus memperjuangkan hal ini; keperempuanan di ruang publik. Aku ingin memperjuangkan keadilan di dunia ini yang sepertinya hanya diciptakan untuk laki-laki. Heheskeptishehe.

Untuk menciptakan ruang yang aman dan nyaman bagi perempuan untuk anak-cucu-keponakan kelak, perjalanannya masih panjang dan perjuangannya masih banyak. Aku tentu saja tidak mau kembali ke zaman jahiliyah, di mana perempuan masih dianggap seperti barang. Perempuan adalah manusia yang perannya sama seperti laki-laki yang keberadaannya juga patut untuk dipertimbangkan.

Namun tetap saja. aku masih perlu lebih banyak belajar dan mengkasi agar bisa menjadi sebaik-baik manusia yang bisa menjalankan tugasnya menjadi khilafah fil ardh, menjadi muslimah yang memberikan maslahat ke sesama, dan menjadikan bumi sebagai tempat yang baik. 

*

Ternyata seru (dan susah) juga bikin ulasan seperti ini. Apalagi ditambah memanggil informasi dan pengalaman yang pernah aku dapatkan. Aku harus baca dua kali. Pembacaan pertama ya dibaca saja sambil menggarisbawahi informasi-informasi yang penting dan menarik. Pembacaan kedua dilakukan dengan dara skimming untuk mengambil informasi dan menuliskan kembali hal hal apa yang menarik.

Tak hanya membaca, proses menulisnya tak kalah menarik. Pertama, menulis kembali hal-hal yang menarik sebagai kerangka, mengingat pengalamanku dan memanggil informasi untuk memperkuat argumen yang ditulis, menulis ulang untuk merunutkan pola berpikir dan keterkaitan antar kalimat (proses paling lama), lalu membacanya ulang dan berperan sebagai editor dan pembaca.

Aku menjalani empat peran secara bergantian: pembaca buku, penulis, editor, pembaca tulisan sendiri. Wow, gilak. Sini yang bilang nulis itu gampang. 

Saturday, September 4, 2021

Untuk yang Berulang Tahun Tanggal Empat

Perayaan kelahiranmu harusnya tak dirayakan setahun sekali. Bagaimana mungkin aku memikirkan hadiah yang layak untukmu hanya sekali dalam setahun? Padahal, setiap kali aku melihat benda yang mengingatkanku padamu, aku selalu ingin memebelikan benda itu lalu akan aku berikan kepadamu. Jadi, jangan memaksaku untuk memberikanmu hadiah saat ada 'acara' penting dalam hidupmu. Semoga kamu dapat memahami hal ini.

Terima kasih. Terima kasih telah lahir dan bertahan sejauh ini. Terima kasih telah membuatku merasa berharga. Kamu tak perlu menjadi siapapun dan melakukan apapun untuk membuatku merasa berharga. Terima kasih karena sudah menjadi tempat yang nyaman untuk bercerita. Kamu tak perlu membalas dengan cepat pesan-pesanku dan kamu tak perlu meminta maaf karena baru sempat membalas pesan-pesanku. Toh tak pernah ada yang membalas perasaanku. Hehe.

Terima kasih karena telah berbagi banyak hal; cerita, trauma, pengalaman, rejeki, drama, hal baik, hal buruk, dan banyak hal lain yang tak bisa disebutkan satu persatu.

Aku hanya bisa memberi ini di hari ulang tahunmu. Kamu juga perlu tahu bahwa kamu berharga setiap hari. Ini adalah alasan mengapa aku tak begitu menggilai perayaan tahunan. Tapi hari ini tetap harus dirayakan.

Hari-hari ke depan nanti, kita tak perlu berusaha lebih banyak untuk mempertahankan semua yang telah terjadi. Aku tak mau menuntut banyak hal. Just be it

Ah, you know me. I'm a wordsmith. But now, I'm out of words. No, I'm not crying. You are. Happy birthday, I love you.

Tuesday, July 20, 2021

Laporan Bencana

Seseorang selalu datang bersamaan dengan badai. Barangkali ia adalah badai itu sendiri. Tanpanya, aku mungkin tak dapat hadapi badai. Ketika badai datang, bahan-bahan yang kami perbincangkan dan pertimbangkan adalah soal siang-malam dan senang-kelam. Ketika badai datang, malam selalu berubah menjadi waktu-waktu panjang yang mengumpulkan segala kesedihan.

Ia sering menawarkan dirinya untuk membunuh malam agar sepanjang hari selalu terang.  Padahal dalam namanya telah tersirat arti terang. Bukankah itu suatu kesia-siaan? Toh, aku selalu bertemu terang pada dirinya.

Ia juga sering memanggilku Nuit. Aku sering memanggilnya kelelapar karena suka makan, begadang, dan selalu tidur ketika siang. Ia selalu menduga bahwa aku adalah jelmaan malam; waktu kelelawar hidup. Katanya aku seperti malam: gelap dan kelam. Belakangan kami mengeceknya di internet. Menurut mitologi Mesir, Nuit adalah dewi malam yang kemudian dianggap dewi langit.

Kadang ia menjadi manusia pagi untuk membantuku terbangun dari tidur di pagi hari, lalu kami menggilai matahari terbit yang masih berselimut kabut di kasur timur. Kami sering meracaukan tentang matahari yang tak kunjung terbit karena percetakannya bermasalah.

Ia bahkan sering menjadi penenang.

Bagaimana Tuhan telah berikan banyak peran pada satu orang? Di tengah banyak kondisi hidupku yang semrawut dan berantakan, ia diizinkan untuk ada menjadi sesuatu yang aku butuhkan. Aku kadang bingung harus membuat metafora apa untuknya.

Setelah berbagai bencana alam yang telah aku hadapi bersamanya, aku pikir tugasnya sudah selesai dan aku siap menghadapi dunia sendirian. Tapi ternyata tidak. Badai itu datang lagi. Ketika aku menolak bantuannya, badai berubah jadi lebih besar

Aku terpaksa harus mengundangnya kembali. Aku membutuhkan kemampuannya untuk meredakan segala amok, gemuruh, dan tsunami yang pernah terjadi di dada. Mau bagaimana lagi? Aku sebenarnya juga mau menghadapi badai ini dengan sosok yang nyata. Tapi sayangnya, belum aku temui relawan yang mau menyerahkan segala daya dan upayanya untuk membantuku.

Lagi pula, belakangan aku terobsesi dengan gelap dan ruang sempit. Bagiku, gelap telah memberiku tenang dan ruang sempit telah menjauhkanku dengan orang-orang yang selalu berusaha menyentuhku. Aku bisa merasakan diriku semakin dekat ketika berada di ruang gelap dan sempit. Ini badaiku, ini peperanganku, ini urusanku. Aku tak mau orang-orang datang sok tahu dan berpura-pura menjadi ahli bencana yang paling tahu tentang bencana.

Sunday, July 18, 2021

Menerjang Badai

Badai telah datang tanpa ramalan cuaca. Ia menyelinap pada malam-malam panjang, menggandakan waktu, dan memperbanyak lelah. Ia mencekik napas, membunuh kupu-kupu, menambah beban bahu, menyekat tukar bicara, mendatangkan adrenalin, dan luluh lantak lain yang tak bisa aku perhitungkan lagi.

Dadaku pengap, ia seperti dijejali banyak dendam, amarah, dan utang. Padahal aku yakin isinya hanya beliung, guruh, dan tsunami. Kupu-kupu yang baru diternak juga harus terbunuh karena luapan asam lambung yang melimpah. Adrenalin juga suka berpacu hebat menabuh genderang.

Bagiku, setiap hari adalah peperangan menghadapi badai. Prajurit dan ksatriaku tak cukup daya untuk melawannya. Persenjataan kami tidak cukup. Kami hanya memiliki kemampuan untuk menerima serangan badai dari segala penjuru. Nanti, kami akan olah serangan itu sebagai pasokan senjata. Sekarang, sebagai panglima perang, siasatku cuma satu: bertahan.

*

Enam minggu belakangan, hidup terasa seperti berhadapan dengan badai setiap hari. Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi kepadaku. Yang jelas, aku sedang tidak baik-baik saja. Selama tiga minggu pertama, aku merasa melewati hari-hari begitu berat. Hari Rabu terasa hari Jumat. Tidur malamku serasa telah habis sehari. Seminggu berjalan seperti terasa dua minggu.

Tiga minggu pertama, aku sudah merasa aku sedang tidak baik-baik saja. Empat permasalahan hidup sedang menyerangku secara bersamaan: karir, asmara, aktualisasi diri, dan sosial. Di pertengahan minggu, hari Rabu, aku mendadak seperti mendapat serangan panik: jantung deg-degan, panik, dan pusing. Tanpa pikir panjang, aku memutuskan untuk pergi ke psikolog dan kami menyepakati jadwal bertemu di akhir minggu depan, minggu keempat. 

Perjalanan menuju minggu keempat sama sekali tidak mudah. Badan terasa babak belur semua. Jantung mudah berdebar setiap hari, panik, pusing, mual, asma kambuh, napas mudah ngos-ngosan, dan segala macam serangan di tubuh. Sampai rasa-rasanya seperti lumpuh, tidak bisa berfungsi seperti sedia kala. Aku tidak sabar untuk segera pergi ke psikolog.

Ketika konseling, aku menceritakan apa yang aku alami selama 4 minggu belakangan. Di depan psikolog, aku menunjukkan peta pikiran yang aku buat seminggu sebelumnya yang isinya adalah empat masalah hidup yang datang bersamaan. Aku juga menceritakan kondisi badan yang tidak seperti biasanya. 

Untuk menyelseaikan masalah aktualisasi diri, aku diajak untuk bertemu dengan aku 12 tahun yang lalu; sebuah pertemuan yang selalu aku hindari. Aku ditolong oleh psikolog untuk bertemu dan berdamai dengan dia. Kini aku menjadi sahabat terbaiknya.  

Untuk masalah lainnya, psikologku hanya menanyaiku bagaimana cara penyelesaiannya dan aku menjawabnya dengan tegas dan tidak ragu. Katanya, ketika aku menjawab dengan tegas dan tidak ragu, sebenarnya aku sudah tahu solusi dari masalahku. Aku tinggal melakukannya saja.

Psikologku juga berpesan kalau alasan mengapa aku merasa babak belur beberapa minggu belakangan adalah karena aku menolak apa yang aku rasakan dan aku terlalu keras dengan diri sendiri. Katanya seperti minum obat flu tapi menolak efek sampingnya yaitu tidur. Harusnya, ketika merasa lelah, ya istirahat. Ketika Galang hadir, ya diterima. Ketika jatuh cinta, ya benar adanya. Ketika merasa ingin pacaran, ya itu valid. Ketika merasa kemampuanku cuma segitu, ya memang kemampuanku segitu (tentu saja karena masih berproses).

Ketika kita menerima apa yang kita rasakan, segala sesuatunya terasa lebih mudah.

Ohya, tanggapan psikologku: aku melahap materi 2 sesi. Ketika aku mencatat apa yang harus aku lakukan untuk menghadapi badai, beliau bilang, "Ini harusnya saya berikan di sesi kedua. Tapi kamu lakukan ini di sesi pertama. Hebat." Aku tentu saja kaget. Ternyata, aku punya kemampuan dan kemauan untuk pulih dengan caraku sendiri. Kepercayaan diriku tentang kemampuanku menghadapi badai divalidasi olehnya. Tapi tetap saja aku butuh ke psikolog untuk mengarahkanku ke jalan terang.

Sebelum bertemu dengan psikolog, aku melakukan beberapa hal ini untuk membantuku dan membantu psikologku untuk membantuku. Aku bukan professional. Tapi mungkin teman-teman bisa lakukan ini ketika sedang tidak baik-baik saja. Mungkin cara ini bisa berhasil di kamu, bisa juga tidak. Aku hanya membagi apa yang aku lakukan.  

1. Buat daftar masalah-masalah. Aku melakukan ini seminggu sebelum pergi ke psikolog. Aku menuliskan hal-hal apa saja yang menghantui pikiranku. Jika itu masalah kerjaan, jabarkan semuanya. Kebetulan aku memiliki empat masalah sekaligus. Aku menjabarkan empat masalah yang aku hadapi. Dari sini akan terlihat ranking masalah.

2. Buat mindmap atau peta pikiran. ini aku juga lakukan sebelum pergi ke psikolog setelah langkah di atas aku lakukan. Aku menghubungkan masalah satu dengan masalah yang lain. Ternyata mereka berhubungan. Dari sini akan kelihatan 'dedengkot' masalahnya ada di mana. Iya, aku pergi ke psikolog dengan membawa dua hal ini seperti melakukan presentasi.

3. Menulis. Apapun. Bebas. Tumpahkan semua. Ini sering aku lakukan untuk masalah-masalah biasa di hidup. Tapi sejak tahu aku tidak baik-baik saja, aku jadi lebih banyak menulis di diary dan di mana pun. Aku keluarkan semuanya.

Setelah pergi ke psikolog, rasanya lebih enteng dan mengerti harus berbuat apa untuk menghadapi badai. Serangan panik, asma kambuh, mual, dan muntah masih menyerangku. Tapi aku mengerti harus berbuat apa: istirahat dan bertanya mauku apa. Galang juga datang membantu. Dari sini aku sadar, ia akan datang bersamaan dengan badai untuk membantu. Ketika kondisi normal, aku bisa hidup tanpa dia. Jika ia tiba-tiba datang, artinya aku sedang tidak baik-baik saja.

Setelah pergi ke psikolog juga, hari Rabuku terasa tetap hari rabu dan dua minggu belakangan terasa begitu ceopat. 

Menulis adalah obat paling mujarab. Aku bisa menguraikan segala macam kerumitan di otak lewat menulis. Kurasa, jika tidak menulis, keadaanku akan lebih parah dari ini. Selama seminggu belakangan juga aku lebih sering menulis diary untuk meluapkan sesak di dada. Setelah menulis, dadaku terasa lebih lapang dan plong sehingga tidur malamku terasa lebih nyenyak.

Hari ini adalah minggu keenam aku menerjang badai. Badai telah teratasi 75%. Rasanya tak pernah lebih baik daripada ini. Badai yang tersisa kini adalah 25% dan yang perlu dilakukan adalah menghadapinya.


/rah


Friday, July 2, 2021

Yang Menonton Pertunjukanmu

Belakangan ini sering mikir; kalau dunia ini panggung sandiwara, maka masing-masing kita adalah pemeran dan orang lain penontonnya. Masing-masing kita menari, bermonolog, berakting, dan bercerita dengan disorot lampu. Penonton bisa melihat kita, kita tak bisa melihat mereka. Apalagi tak ada lampu yang menyorot kursi penonton. Artinya, hidupmu adalah panggungmu.

Meski di awal pertunjukan sudah kita bagikan panduan, mereka bisa saja tidak membacanya dan membiarkan interpretasi-ekspektasi bergelut di kepala mereka sendiri. Interpretasi dan ekspektasi pada penonton akan bergantung pada intelegensia dan pengalaman yang mereka miliki. Kita tak punya banyak andil di sektor itu. Ingat, batasan penyaji hanya sampai di tepi panggung.

Jadi, jika penonton memutuskan untuk keluar karena bosan atau tidak paham; biarkan. Bahasan-bahasan tentang pertujukanmu biarkan ada di luar arena panggungmu. Apalagi jika argumen-argumen itu muncul dari mereka yang tidak menonton sampai akhir. Tahu apa mereka? Anggap saja mereka tak miliki intelegensia dan pengalaman yang cukup untuk menikmati kita sampai akhir pertunjukan.

Nanti, jika pertunjukan telah usai dan lampu gedung telah menyala, lihatlah siapa-siapa yang masih duduk dan bertepuk tangan. Bukankah mereka adalah orang-orang yang tak kau minta untuk tinggal? Bukankah mereka adalah orang-orang yang percaya padamu? 


Thursday, March 4, 2021

Menukar Hidup

Kehendak hati selalu ingin membawa langkah kaki berkelana. Tapi apa daya, hanya jari yang mampu pelesir ke rumput tetangga. Setelah itu, tugas kepala membandingkan hidup. Mana yang lebih juara: yang mereka punya atau apa yang tak ada di depan mata?

Seseorang pernah bercerita kepadaku. Istilah rumput tetangga lebih hijau bukanlah sekadar istilah. Ia memiliki semiotika—atau apalah itu istilahnya. Konon, ketika kekayaan masih diperlombakan, seorang juragan hanya perlu memamerkan halamannya. Semakin hijau dan subur rumputnya, maka semakin banyak pula orang yang mengurusnya. Jika banyak orang yang diperkerjakan untuk mengurus halamannya saja, coba bayangkan bagaimana si juragan memenuhi keperluan lainnya.

Nah, pikirku, rumput tetangga yang lebih hijau adalah hasil kerja dari banyak jari yang pelesir dan mengurus rumput-rumputnya.

Tetangga-tetanggaku memang memiliki rumah megah dan rumputnya selalu hijau. Tapi aku yakin, halaman yang aku punya akan selalu lebih banyak dari halamanku tahun lalu. Warnanya putih dan berserak di kamar. Di atasnya penuh dengan tulisan-coretan tangan yang rapat-rapat.

Jikalau memang hidup yang dipunya laksana hartabenda; hanyalah ia yang dapat kita bawa serta. Lantas, maukah engkau menjual, menukar, atau memberikannya serta-merta dengan rumput hijau tetangga?

Jelas, aku tak mau menukar halaman-halamanku dengan rumput tetangga. Sebab cuma ini yang aku punya.

xx, rahamnita

Sunday, January 3, 2021

Surat Terbuka untuk Ibu

Bu, sejak masuk ke SMK, aku memutuskan untuk jadi orang yang berbeda dari teman-temanku. Keputusan ini kadang menyelamatku.

Ketika teman-temanku lebih suka dengan lagu-lagu yang lagi ngetren, aku memilih untuk mencari lagu dari band/musisi yang jarang mereka tahu: Mocca, Incognito, Sinikini. Keputusanku memilih kuliah di jurusan Matematika adalah karena nyaris semua teman-temanku memilih meneruskan kuliah di jurusan Farmasi dan kesehatan. Bahkan, ketika banyak dari temanku ngecengin TNI, aku memilih untuk tak tertarik. Ketika banyak temanku sibuk dengan asmara dan punya banyak kenalan cowok, aku menciptakan sendiri manusia yang aku ingini di dalam kepala.

Bu, aku minta maaf kalau aku suka menyalahkan Ibu karena membuatku memilih sekolah di SMK Farmasi. Masa mudaku terrenggut, Bu. Aku tak bisa merasakan memakai baju putih abu-abu, aku tak bisa merasakan sore di rumah karena sekolahku dari pagi sampai maghrib, aku tak bisa mempelajari lebih dalam mapel IPA yang bisa mengantarku ke jurusan PTN yang lebih kece, dan aku tak bisa mengerti bagaimana cara berteman yang baik dengan laki-laki. 

Yang perlu Ibu tahu, aku jarang menyesali betapa padatnya sekolahku dulu. Berangkat jam 6 pagi, sampai rumah jam 7 malam. Mapel kimia (anorganik, organik, analis) yang katanya teman-temanku susah, aku mudah melibasnya. Praktikum, mata pelajaran yang berjumlah 23, UTS UAS 2 minggu (SMA lain cuma seminggu), jarang main, dll. Kalau boleh sombong, sebagai orang yang ambisius dan cepet nangkep, aku menikmatinya. Apalagi tak ada tetek bengek pacar yang aku harus perhatikan.

Sekolah di tempat yang banyak perempuannya membuat siswa laki-laki membentuk satu komunitas yang sangat amat seksis. Komunitas ini isinya 'cowok cowok maskulin' (ih, jijik kali aku bilangnya, padahal mereka tuh toksik). Komunitas ini memandangku sebagai cewek aneh karena aku tidak cantik dan memiliki cara berpikir yang berbeda. Teman laki-lakiku ada yang baik, kok, Bu. Tidak seksis dan menerimaku sebagai selayaknya manusia. Tapi cuma 3-4 orang seangkatan. Oh ya, laki-laki di angkatan ada 20 orang termasuk 3 tubel (tugas belajar TNI). 

Ibu mungkin ga bisa bayangkan bagaimana tersiksanya aku selama tiga tahun di sana sebagai seorang gadis yang memiliki cara pikir berbeda berada di lingkungan TNI yang sangat seksis. Bahkan aku sering mendapat kalimat yang sampai hari ini sering bikin aku nangis, "Cewe aneh kayak kamu emang ada yang mau? #heyitrhymes" Tapi aku menyangkal kalimat itu dengan membuat teman imajinasi yang mau ke aku. Tuh kan, aneh banget aku, Bu.

Di bangku kuliah, aku menghindari semua laki-laki. Padahal teman laki-lakiku sangat amat beragam meski masih ada satu dua yang memandangku jijik hanya karena aku aneh. Jangankan kepikiran untuk memulai hubungan, membuka pertemanan platonik aja susahnya minta ampun. Aku selalu mikir kalau gak ada yang mau temenan ama aku karena aku aneh dan beda. Bahkan, Bu, di bangku kuliah, aku masih mendapat kalimat serupa. Sambil tertawa, teman laki-lakiku bilang, "Cowok kayak tipemu mah banyak, Jun. Tapi yang mau ama kamu tuh; ada gak?" 

Ya mungkin kedua kalimat celetukan itu bercandaan, ya. Tapi efeknya besar, lho, Bu. Belum lagi ditambah kenyataan bahwa laki-laki yang aku mau, gak mau ke aku. Hehe.

Ibu pernah bilang, kan, kalau jadi perempuan gak boleh banyak tergantung ke laki. Maka itu aku keras ke diri sendiri, Bu. Aku membuat diriku mandiri, kuat, dan tangguh. Hal ini membuatku membaca banyak buku feminis, Bu. Tapi ternyata feminis bukanlah teori untuk tidak membutuhkan laki-laki. Feminis adalah spirit untuk membuat perempuan memiliki hak setara dengan laki-laki. Aku belajar banyak dari kesalahan persepsi ini.

Butuh bertahun-tahun untuk membangun kepercayaan diri, Bu. Bukan sebagai perempuan yang diidamkan banyak laki, melainkan sebagai manusia yang memiliki hak yang sama. Temanku banyak kali, Bu. Aku amat sangat mudah bergaul dan masuk ke lingkaran pertemanan. Teman lelakiku kini juga lebih banyak dan mereka lebih menghargaiku sebagai selayaknya manusia. Mereka menjawab bahwa aku aneh dan mereka mau berteman denganku. Tapi tetap saja, perkara hati itu masalah lain.

Aku pernah dekat dengan sejumlah laki-laki yang jumlahnya bisa dihitung jari. Banyak orang mengira kalau aku pemilih. Padahal aku susah didekati laki-laki karena ada luka yang amat meradang. Tapi pada akhirnya, ya...belum ada yang cocok, Bu.

Jadi, Bu, jangan desak-desak aku menikah. Aku mau ke sana, tapi biarkan aku menyembuhkan luka hatiku yang meradang sangat hebat ini. Biarkan aku mengubah dendam menjadi memaafkan. Sembari aku memperbaiki diri menjadi manusia yang lebih baik, aku menyembuhkan luka itu dengan berbagai cara.

Aku tak cari laki-laki yang sempurna bak malaikat. Aku mencari laki-laki yang melihatku sebagai seorang manusia, vice versa.

Di atas aku sempat singgung kalau aku selalu memilih jalan yang berbeda dengan teman-teman kebanyakan. Jadi, jangan pernah samakan aku dengan teman-temanku. Aku punya caraku sendiri. Mungkin aku akan nikah kalau lagi gak musim nikah. Hehe, canda, Bu.


--


Surat yang harusnya ibu baca, tapi aku takut untuk sampaikan.