Monday, December 20, 2021

Meradang Menerjang

Kemarin Sabtu, dalam perjalananku menuju ke psikolog, aku belajar sesuatu dari sebuah kejadian. Kupikir, kejadian ini perlu ceritakan dan rekam. Sebab, barangkali bisa untuk menjadi pengingat buatku. 

Di dalam perjalanan kemarin, aku berangkat dengan dengan menaiki motor. Di tengah perjalanan, aku sempat berhenti di salah satu pertigaan karena lampu lalu lintas menyala merah. Namun aku mendengar klakson berbunyi dan beberapa kendaraan di belakangku menyalip untuk terus maju. Aku bertanya, apakah aku melakukan kesalahan? Lalu aku mengecek posisiku.

Pertigaan ini datang dari tiga arah: dari arahku, dari arah berlawanan, dan dari arah sebelah kananku. Dari arahku, ada penanda yang melarang kendaraan untuk belok kanan dan putar balik. Kendaraan-kendaraan yang searang denganku hanya bisa lurus. Maka, lampu merah yang menyala untuk kendaraan-kendaraan yang searah denganku tentu saja fungsinya hanya untuk menghentikan kami. Argumen ini mutlak.

Aku benar dan orang-orang yang tidak berhenti adalah salah. 

Ketika aku memilih untuk berhenti di tengah-tengah kendaraan yang terus melaju, aku masih saja dihantui pertanyaan, "Apakah aku salah?" Aku juga terus mempertanyakan posisiku dengan mengecek argumen-argumen di sekelilingku.

Peristiwa ini membuatku berpikir; ternyata, meski aku melakukan hal yang benar, di tengah orang-orang yang melakukan kesalahan, aku akan tetap merasa bersalah dan terus mempertanyakan sikapku.

Aku tentu saja tidak punya daya dan upaya untuk melarang mereka terus melaju. Namun, bukan berarti bertahan menjadi hal yang mudah. Aku harus bermusuhan dengan diri sendiri untuk tetap teguh dan yakin.

Barangkali ini menjadi pengingat buatku: untuk memiliki keteguhan hati dan ketangguhan kaki untuk terus bertahan di jalan yang aku yakini benar. Ini adalah perlawananku. Seperti pada puisi Chairil yang belakangan aku kumandangkan untukku sendiri:

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari...
Hingga hilang pedih peri
Dan aku lebih tidak peduli
Aku ingin hidup seribu tahun lagi

Menjadi jujur di tengah-tengah pendusta, menjadi berani dan lantang di tengah-tengah penindasan, atau menjadi bineka di tengah-tengah kebineran adalah sebentuk perlawanan.


No comments:

Post a Comment