Friday, January 22, 2016

Kejutan Untukmu

Pada suatu malam yang telah kutentukan nanti, bersiaplah atas kedatanganku. Tak perlu kau siapkan teh hangat atau biskuit cokelat kesukaanku. Bahkan, kau tak perlu terjaga dari tidurmu untuk sekadar membukakan pintu lantas mempersilakanku untuk masuk. Sebab, aku telah mengantongi segala izin yang akan kuperbuat padamu. Kecuali satu hal saja. Dan itu akan menjadi kejutan.

Pada malam itu, tidurlah dengan nyenyak. Diselimuti kelelahan setelah bekerja seharian dan meladeni kemacetan Surabaya. Kalau tak nyenyak, aku yang akan membuatnya. Sebab aku tak ingin berurusan dengan jantungku ketika bertatapan dengan kedua bola matamu yang teduh sekaligus menantang itu.

Asal kau tahu, dari ratusan lelaki yang kukenal, aku hanya menemukan mata seperti itu hanya ada padamu, ayahku, dan kakakku saja. Aku sudah terbiasa dengan mata ayah dan kakakku. Aku mencintainya, dan mereka mencintaiku. Sedang kepadamu, yang kau cintai bukan aku.

Tak apa, aku akan membuatnya menjadi milikku malam ini. Meski hanya kedua bola matamu saja.

Telah kupersiapkan segala hal yang berhubungan dengan kejutan. Roti tart dan lilin angka dua dan tujuh yang bertengger di atasnya, sketchbook buatanku sendiri yang selalu ingin kau nikmati, jam tangan impianmu agar kau tahu bahwa membatasi waktu itu perlu, dan lima belas buah balon warna warni agar senyummu dapat terbuka lebar.

Untungnya, sudah kupastkan kepada Rudi, tetangga kamar tempat kostmu, bahwa kau tertidur sangat lelap, sehingga aku tak perlu jalan berjingkat agar tak membangunkanmu.

Seperti yang kuduga. Kau terlelap begitu nyenyaknya, hingga tak sampai hati aku melaksanakan misiku untukmu malam ini. Namun setelah melihat fotomu berdua dengan kekasihmu yang tertempel di salah satu dinding, tekadku makin bulat.

Maafkan aku, alat yang kupakai adalah seadanya. Namun, teknik yang kugunakan adalah benar. Sudah kubaca di banyak buku dan video tutorial di internet. Hanya untuk membuatmu terkejut. Di hari spesialmu ini, aku akan menyederhanakannya menjadi hari yang tak akan kau lupakan seumur hidupmu.

Kusiapkan semuanya, dan kulakukan seperti apa yang sudah aku latih agar mendapatkan hasil yang sempurna untukmu.

Ternyata hanya lima belas menit. Dan aku bahagia memandang toples kosong yang berisi formalin kini berwarna agak kemerahan. Aku melengos.

Ah, kurasa aku sia-sia mempersiapkan roti tar dan segala bentuk kejutan. Kau tak akan terkejut. Sebab, kedua bola matamu telah hilang. Akan kubawa pulang sebelum seluruh lilin yang kunyalakan habis dimakan api.


Tapi kau akan terkejut ketika melihat dunia dan wajah kekasihmu ternyata hitam semua.

*

Rahmadana Junita, yang sedang marah dengan dirinya sendiri.
Surabaya, 21 Januari 2016

Saturday, January 2, 2016

Yang Kung

Awal Desember 2014 lalu, saya membuat suatu cerita rekaan punya saya tentang Yang Kung di blog lama saya. Bisa dibaca disini.

Tadi pagi, saya bermimpi tentang seorang lelaki yang menyatakan perasaannya kepada saya. Sampai tak bisanya saya membedakan mana yang mimpi mana yang nyata, saya bertanya kepada diri saya sendiri, 'Ini saya tidak mimpi, kan?'

Untuk membuktikan bahwa saya tidak sedang bermimpi, maka saya tidur. Namun sayangnya, saya terbangun di dimensi lain bernama kenyataan. Sambil enggan terjaga, telinga sayup-sayup mendengar ibu berkata, "Innalillahi wa innailaihi rojiun...".

Tak lama, ibu terisak. Yang Kung meninggal. Yang Kung, bapak dari ibu saya meninggal.

Entah akal sehat sebelah mana yang membuat saya memilih untuk tidur kembali, melanjutkan mimpi yang terputus tadi. Tapi nihil. Lima menit berselang, saya tak menemukan mimpi yang harusnya saya tuju. Saya kembali terjaga.

Ibu bergegas bersiap diri untuk ke Mojosari. ngelayat bapaknya. Tak ada rasa kehilangan yang begitu menyayat untuk saya. Barangkali karena saya tak memiliki ingatan yang kuat terhadap Yang Kung. Sebab saya hanya bertemu beliau hanya dua kali.

Kedekatan saya kepada Yang Kung hanya karena saya tak pernah bertemu dengannya semenjak kecil. Lantas saya amat sering membuat ingatan sendiri tentang beliau. Dan sentuhan kami hanya terjadi sebatas ciuman tangan.

Berbeda dengan Yang Kung dari pihak bapak. Meski cuma setahun sekali bertemu, tapi ingatan saya tentang beliau amat banyak. Pijatannya, kelapa muda yang dipetikkan untuk saya, high-five-nya, dan macam-macam.

Pada akhir November 2011 yang lalu, Yang Kung dari pihak bapak meninggal. Saya masih ingat, saya yang masih berpakaian putih-hitam sepulang LKMM Pra TD tidak mau pulang dari cangkruk bersama teman-teman teater seusai menghadiri undangan dari UKTK Universitas Airlangga.

Tidak hendak membedakan. Hanya ingin mengungkapkan bahwa entah mengapa saya tidak merasa kehilangan sama sekali. Tapi satu hal yang melekat di ingatan saya, bahwa Yang Kung dari pihak ibu memiliki cucu dan anak lelaki yang memiliki pundak yang nraju mas.

Dan beberapa menit yang lalu, teman main saya ketika kuliah, akan mengadakan akad nikah di bulan Januari ini dengan seorang lelaki. Lelaki yang pada 2 tahun yang lalu pernah saya taksir secara becandaan. Terharu dan bahagia.

Ya sudah.

2015 / 2016

//postingan pertama di 2016, Bre!!//

Seperti yang pernah saya ucapkan dan sepakati (untuk diri saya sendiri) bahwa jika ingin memiliki kekasih, harus menjadi klisé. Namun, untuk masalah resolusi, bagi saya bukanlah perkara menjadi klisé atau kebanyakan. 2015 lah yang membuatnya.

Jika diputar kembali apa saja yang saya dapat pada tahun 2015, hanya memori-memori yang paling kuat dan terakhirlah yang paling bisa diingat.

Menari. Akan banyak yang akan saya bahas mengenai hal yang satu ini. Yang jelas, menari membuat saya sadar akan pentingnya target, dan memiliki tubuh yang gak gendut itu penting.

Kelulusan teman seangkatan. Hari yang berat. Melepas teman-teman. Dan yang tersisa hanya ingatan. Bahkan, tak banyak saya berfoto dengan mereka. Padahal pinjaman kamera sudah di tangan. 

Film Senyap dan Jagal (20%). Yang Senyap, dilihat di lab kampus. Ketika ada yang menanyai 'Itu film apa?', saya yang sudah membaca banyak propaganda dalam buku-buku fiksi sejarah tentang PKI (cuma Amba dan Pulang, sih) bingung hendak menjawab apa. Dan saya menangis dibuatnya. Sedangkan Jagal, terdownload, dan belum tehu akan dilihat kapan. Sepertinya akan mebutuhkan keberanian dan tekad yang kuat.

Jualan. Tahun ini saya sudah menghabiskan kertas ukuran A1 sebanyak 3 rim.

Buku. Yang menurut saya membeli terlalu berlebih, tapi tak disempatkan membaca. 

Yogyakarta. Menyelesaikan hati. Obervasi hati, katanya. Menemukan karakter Adhimas Wiryo K.

2016?

Mengurangi lemak, menata awak. Agar ketika mementaskan sebuah tarian, yang saya sajikan adalah keindahan. Bukan kentang loncat yang dibungkus kain super indah. Sebab tubuh saya bukan milik saya ketika sudah di atas panggung.

Ngremo di salah satu acara. Kalau bisa dua. Kalau bisa lebih. Tapi terlebih dahulu menguasainya.

Kamera. Cita-cita sebelum masehi. Cita-cita yang sengaja dipendam karena harus menabung ribuan koin dan berpuasa puluhan ribu jam. 

Menulis. Lebih banyak lagi. Katanya, hendak menyelesaikan satu kumcer yang harus selesai sebelum buku TA selesai.

#adyaTArna. TA. Tugas Akhir. Belum bisa diselesaikan tahun ini. Tapi pada akhir tahun ini InsyaAllah akan mendaftar sidang (belum keluar jadwal, padahal. Belum mulai dikerjakan juga proposalnya).

Membeli baju sedikit lebih banyak ketimbang buku. Sebab saya sadar. Saya selalu ngomel ketika ada sampah visual bertebaran, Tapi, saya tak menata cara saya berpenampilan.

Menghargai karya anak bangsa. Dengan cara membelinya. CD musik salah satunya. Sebab, kita mengapresiasi agar kelak kita diapresiasi.

Menyelesaikan buku-buku yang telah dibeli di tahun 2015. Hehe.

Ramayana Ballet di Prambanan. Dan Tari Kecak di Bali

Menonton Pementasan Teater Koma di Jakarta!!

Bikin Naskah Teater. Dua. Atau lebih. Kalau bisa, lebih.

dan target-target lainnya yang masih tersimpan.

Saat kau menerima dirimu
Dan berdamai dengan itu
Kau menari dengan waktu
Tanpa ragu yang membelenggu

×××, 
Rahmadana Junita