Tuesday, July 20, 2021

Laporan Bencana

Seseorang selalu datang bersamaan dengan badai. Barangkali ia adalah badai itu sendiri. Tanpanya, aku mungkin tak dapat hadapi badai. Ketika badai datang, bahan-bahan yang kami perbincangkan dan pertimbangkan adalah soal siang-malam dan senang-kelam. Ketika badai datang, malam selalu berubah menjadi waktu-waktu panjang yang mengumpulkan segala kesedihan.

Ia sering menawarkan dirinya untuk membunuh malam agar sepanjang hari selalu terang.  Padahal dalam namanya telah tersirat arti terang. Bukankah itu suatu kesia-siaan? Toh, aku selalu bertemu terang pada dirinya.

Ia juga sering memanggilku Nuit. Aku sering memanggilnya kelelapar karena suka makan, begadang, dan selalu tidur ketika siang. Ia selalu menduga bahwa aku adalah jelmaan malam; waktu kelelawar hidup. Katanya aku seperti malam: gelap dan kelam. Belakangan kami mengeceknya di internet. Menurut mitologi Mesir, Nuit adalah dewi malam yang kemudian dianggap dewi langit.

Kadang ia menjadi manusia pagi untuk membantuku terbangun dari tidur di pagi hari, lalu kami menggilai matahari terbit yang masih berselimut kabut di kasur timur. Kami sering meracaukan tentang matahari yang tak kunjung terbit karena percetakannya bermasalah.

Ia bahkan sering menjadi penenang.

Bagaimana Tuhan telah berikan banyak peran pada satu orang? Di tengah banyak kondisi hidupku yang semrawut dan berantakan, ia diizinkan untuk ada menjadi sesuatu yang aku butuhkan. Aku kadang bingung harus membuat metafora apa untuknya.

Setelah berbagai bencana alam yang telah aku hadapi bersamanya, aku pikir tugasnya sudah selesai dan aku siap menghadapi dunia sendirian. Tapi ternyata tidak. Badai itu datang lagi. Ketika aku menolak bantuannya, badai berubah jadi lebih besar

Aku terpaksa harus mengundangnya kembali. Aku membutuhkan kemampuannya untuk meredakan segala amok, gemuruh, dan tsunami yang pernah terjadi di dada. Mau bagaimana lagi? Aku sebenarnya juga mau menghadapi badai ini dengan sosok yang nyata. Tapi sayangnya, belum aku temui relawan yang mau menyerahkan segala daya dan upayanya untuk membantuku.

Lagi pula, belakangan aku terobsesi dengan gelap dan ruang sempit. Bagiku, gelap telah memberiku tenang dan ruang sempit telah menjauhkanku dengan orang-orang yang selalu berusaha menyentuhku. Aku bisa merasakan diriku semakin dekat ketika berada di ruang gelap dan sempit. Ini badaiku, ini peperanganku, ini urusanku. Aku tak mau orang-orang datang sok tahu dan berpura-pura menjadi ahli bencana yang paling tahu tentang bencana.

Sunday, July 18, 2021

Menerjang Badai

Badai telah datang tanpa ramalan cuaca. Ia menyelinap pada malam-malam panjang, menggandakan waktu, dan memperbanyak lelah. Ia mencekik napas, membunuh kupu-kupu, menambah beban bahu, menyekat tukar bicara, mendatangkan adrenalin, dan luluh lantak lain yang tak bisa aku perhitungkan lagi.

Dadaku pengap, ia seperti dijejali banyak dendam, amarah, dan utang. Padahal aku yakin isinya hanya beliung, guruh, dan tsunami. Kupu-kupu yang baru diternak juga harus terbunuh karena luapan asam lambung yang melimpah. Adrenalin juga suka berpacu hebat menabuh genderang.

Bagiku, setiap hari adalah peperangan menghadapi badai. Prajurit dan ksatriaku tak cukup daya untuk melawannya. Persenjataan kami tidak cukup. Kami hanya memiliki kemampuan untuk menerima serangan badai dari segala penjuru. Nanti, kami akan olah serangan itu sebagai pasokan senjata. Sekarang, sebagai panglima perang, siasatku cuma satu: bertahan.

*

Enam minggu belakangan, hidup terasa seperti berhadapan dengan badai setiap hari. Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi kepadaku. Yang jelas, aku sedang tidak baik-baik saja. Selama tiga minggu pertama, aku merasa melewati hari-hari begitu berat. Hari Rabu terasa hari Jumat. Tidur malamku serasa telah habis sehari. Seminggu berjalan seperti terasa dua minggu.

Tiga minggu pertama, aku sudah merasa aku sedang tidak baik-baik saja. Empat permasalahan hidup sedang menyerangku secara bersamaan: karir, asmara, aktualisasi diri, dan sosial. Di pertengahan minggu, hari Rabu, aku mendadak seperti mendapat serangan panik: jantung deg-degan, panik, dan pusing. Tanpa pikir panjang, aku memutuskan untuk pergi ke psikolog dan kami menyepakati jadwal bertemu di akhir minggu depan, minggu keempat. 

Perjalanan menuju minggu keempat sama sekali tidak mudah. Badan terasa babak belur semua. Jantung mudah berdebar setiap hari, panik, pusing, mual, asma kambuh, napas mudah ngos-ngosan, dan segala macam serangan di tubuh. Sampai rasa-rasanya seperti lumpuh, tidak bisa berfungsi seperti sedia kala. Aku tidak sabar untuk segera pergi ke psikolog.

Ketika konseling, aku menceritakan apa yang aku alami selama 4 minggu belakangan. Di depan psikolog, aku menunjukkan peta pikiran yang aku buat seminggu sebelumnya yang isinya adalah empat masalah hidup yang datang bersamaan. Aku juga menceritakan kondisi badan yang tidak seperti biasanya. 

Untuk menyelseaikan masalah aktualisasi diri, aku diajak untuk bertemu dengan aku 12 tahun yang lalu; sebuah pertemuan yang selalu aku hindari. Aku ditolong oleh psikolog untuk bertemu dan berdamai dengan dia. Kini aku menjadi sahabat terbaiknya.  

Untuk masalah lainnya, psikologku hanya menanyaiku bagaimana cara penyelesaiannya dan aku menjawabnya dengan tegas dan tidak ragu. Katanya, ketika aku menjawab dengan tegas dan tidak ragu, sebenarnya aku sudah tahu solusi dari masalahku. Aku tinggal melakukannya saja.

Psikologku juga berpesan kalau alasan mengapa aku merasa babak belur beberapa minggu belakangan adalah karena aku menolak apa yang aku rasakan dan aku terlalu keras dengan diri sendiri. Katanya seperti minum obat flu tapi menolak efek sampingnya yaitu tidur. Harusnya, ketika merasa lelah, ya istirahat. Ketika Galang hadir, ya diterima. Ketika jatuh cinta, ya benar adanya. Ketika merasa ingin pacaran, ya itu valid. Ketika merasa kemampuanku cuma segitu, ya memang kemampuanku segitu (tentu saja karena masih berproses).

Ketika kita menerima apa yang kita rasakan, segala sesuatunya terasa lebih mudah.

Ohya, tanggapan psikologku: aku melahap materi 2 sesi. Ketika aku mencatat apa yang harus aku lakukan untuk menghadapi badai, beliau bilang, "Ini harusnya saya berikan di sesi kedua. Tapi kamu lakukan ini di sesi pertama. Hebat." Aku tentu saja kaget. Ternyata, aku punya kemampuan dan kemauan untuk pulih dengan caraku sendiri. Kepercayaan diriku tentang kemampuanku menghadapi badai divalidasi olehnya. Tapi tetap saja aku butuh ke psikolog untuk mengarahkanku ke jalan terang.

Sebelum bertemu dengan psikolog, aku melakukan beberapa hal ini untuk membantuku dan membantu psikologku untuk membantuku. Aku bukan professional. Tapi mungkin teman-teman bisa lakukan ini ketika sedang tidak baik-baik saja. Mungkin cara ini bisa berhasil di kamu, bisa juga tidak. Aku hanya membagi apa yang aku lakukan.  

1. Buat daftar masalah-masalah. Aku melakukan ini seminggu sebelum pergi ke psikolog. Aku menuliskan hal-hal apa saja yang menghantui pikiranku. Jika itu masalah kerjaan, jabarkan semuanya. Kebetulan aku memiliki empat masalah sekaligus. Aku menjabarkan empat masalah yang aku hadapi. Dari sini akan terlihat ranking masalah.

2. Buat mindmap atau peta pikiran. ini aku juga lakukan sebelum pergi ke psikolog setelah langkah di atas aku lakukan. Aku menghubungkan masalah satu dengan masalah yang lain. Ternyata mereka berhubungan. Dari sini akan kelihatan 'dedengkot' masalahnya ada di mana. Iya, aku pergi ke psikolog dengan membawa dua hal ini seperti melakukan presentasi.

3. Menulis. Apapun. Bebas. Tumpahkan semua. Ini sering aku lakukan untuk masalah-masalah biasa di hidup. Tapi sejak tahu aku tidak baik-baik saja, aku jadi lebih banyak menulis di diary dan di mana pun. Aku keluarkan semuanya.

Setelah pergi ke psikolog, rasanya lebih enteng dan mengerti harus berbuat apa untuk menghadapi badai. Serangan panik, asma kambuh, mual, dan muntah masih menyerangku. Tapi aku mengerti harus berbuat apa: istirahat dan bertanya mauku apa. Galang juga datang membantu. Dari sini aku sadar, ia akan datang bersamaan dengan badai untuk membantu. Ketika kondisi normal, aku bisa hidup tanpa dia. Jika ia tiba-tiba datang, artinya aku sedang tidak baik-baik saja.

Setelah pergi ke psikolog juga, hari Rabuku terasa tetap hari rabu dan dua minggu belakangan terasa begitu ceopat. 

Menulis adalah obat paling mujarab. Aku bisa menguraikan segala macam kerumitan di otak lewat menulis. Kurasa, jika tidak menulis, keadaanku akan lebih parah dari ini. Selama seminggu belakangan juga aku lebih sering menulis diary untuk meluapkan sesak di dada. Setelah menulis, dadaku terasa lebih lapang dan plong sehingga tidur malamku terasa lebih nyenyak.

Hari ini adalah minggu keenam aku menerjang badai. Badai telah teratasi 75%. Rasanya tak pernah lebih baik daripada ini. Badai yang tersisa kini adalah 25% dan yang perlu dilakukan adalah menghadapinya.


/rah


Friday, July 2, 2021

Yang Menonton Pertunjukanmu

Belakangan ini sering mikir; kalau dunia ini panggung sandiwara, maka masing-masing kita adalah pemeran dan orang lain penontonnya. Masing-masing kita menari, bermonolog, berakting, dan bercerita dengan disorot lampu. Penonton bisa melihat kita, kita tak bisa melihat mereka. Apalagi tak ada lampu yang menyorot kursi penonton. Artinya, hidupmu adalah panggungmu.

Meski di awal pertunjukan sudah kita bagikan panduan, mereka bisa saja tidak membacanya dan membiarkan interpretasi-ekspektasi bergelut di kepala mereka sendiri. Interpretasi dan ekspektasi pada penonton akan bergantung pada intelegensia dan pengalaman yang mereka miliki. Kita tak punya banyak andil di sektor itu. Ingat, batasan penyaji hanya sampai di tepi panggung.

Jadi, jika penonton memutuskan untuk keluar karena bosan atau tidak paham; biarkan. Bahasan-bahasan tentang pertujukanmu biarkan ada di luar arena panggungmu. Apalagi jika argumen-argumen itu muncul dari mereka yang tidak menonton sampai akhir. Tahu apa mereka? Anggap saja mereka tak miliki intelegensia dan pengalaman yang cukup untuk menikmati kita sampai akhir pertunjukan.

Nanti, jika pertunjukan telah usai dan lampu gedung telah menyala, lihatlah siapa-siapa yang masih duduk dan bertepuk tangan. Bukankah mereka adalah orang-orang yang tak kau minta untuk tinggal? Bukankah mereka adalah orang-orang yang percaya padamu?