Tuesday, September 19, 2017

Menyederhanakan Kerumitan Berpikir

Sudah hampir setengah jam kursor pada layar kupandangi. Dia berkedip dua sampai tiga kali lebih cepat dari mataku. Barangkali sudah tiga atau empat gelas air putih telah kutenggak. Apalagi ketukan telunjukku kepada meja; tak terhitung berapa kecepatannya. Entah tak terhitung berapa kali aku menghapus kata yang kurasa tak perlu diutarakan.

Otakku tak menemukan perumpamaan yang tepat untuk mengutarakan jalan pikirnya. Katanya tak seperti maze. Tapi dia sendiri yang tak mengerti bagaimana dia akan menyampaikan apa maksdunya. 

Sudah 24,5 tahun lebih dua hari aku hidup dengan dia. Dengan otak berantakan ini. Barangkali dia hanya menurut jika dihadapkan oleh soal matematika atau dengan kata-kata. Itulah mengapa aku sering menolak jatuh cinta karena tak jelas bagaimana algoritmanya; yang tak aku mengerti pola paling sederhananya.

Bayangkan saja; ketika badan sudah lelah hendak beristirahat, otakku mengajukan pernyataan tentang wafer introver dan ekstrover. Wafer yang dibungkus satu-satu dan dibungkus dalam kaleng dengan teman-temannya. Dia juga menanyakan, “Pabrik memproduksi wafer introver dulu atau wafer ekstrover dulu?”

Mau tak mau jemariku harus mengutarakannya ke notes dalam ponsel pintarku. Agar si otak tak menuntut banyak pertanyaan dan membuat pernyataan yang tak jelas ke mana juntrungannya.

Kurasa yang kubutuhkan saat ini adalah sepasang mata yang terlihat seperti ingin meniadakan nyawa orang; atau sebuah punggung yang nampak seperti pameran lukisan pemandangan dengan bukit-bukit yang landai; atau jemari yang tak hanya digunakan untuk bermain senar layangan. 

Agar aku tak perlu lagi tiba-tiba mencuci lima celana jeans yang sudah delapan minggu bertengger di gantungan baju; agar aku tak perlu lagi tiba-tiba ke luar rumah membeli selotip kertas ke toko ATK terdekat berjalan kaki; agar aku tak perlu mengendarai sepeda motor ke taman kota hanya untuk merasakan berpindah tempat.

Sebenarnya aku hanya ingin menanyakan suatu hal padamu. Bagaimana jika engkau memiliki kemampuan untuk membuatku merasakan pulang tanpa aku menuntut untuk berkelana lebih dahulu? Bagaimana jika engkau memiliki kemampuan untuk menyederhanakan kerumitan berpikirku?

Aku tak bisa melakukan apa-apa selain menyerah.

Friday, September 1, 2017

Perkara Dua Pihak

Suatu hari aku bertanya kepada bapak bagaimana cara membuat rumah dengan pondasi yang kuat, tembok yang kokoh, dan atap tangguh. Bapak bercerita semuanya. Dari cara memilih semen; teori perbandingan antara semen, pasir, dan air; unsur estetik interior dan eksterior; ventilasi udara; cara menghitung batu-bata; memilih jendela; sampai cara memilih tukang yang tepat.

Setelah mengumpulkan kebutuhan untuk pulang yang cukup, kubuat rumah sesuai instruksi bapak. Kubangun dengan caraku sendiri. 

Suatu pagi di bulan Januari yang cerah, seseorang mengetuk pintu. Aku tak begitu mengingat wajahnya. Yang kuingat hanyalah percakapan kami.

Kutanyakan, "Ya, ada apa?" 

Ia menjawab, "Aku telah lelah berkelana. Aku ingin pulang kepadamu."

Samar-samar kukerutkan keningku. Kutanya lagi, "Mana rumahmu?"

"Tak punya," katanya.

Kutarik napas dalam-dalam sambil masih mengerutkan keningku. Sambil menahan amarah tak terima yang tercekat di kerongkongan, kutanyakan lagi pertanyaan terakhir, "kalau kau tak punya rumah, lalu ke mana aku harus pulang nantinya? Ke mana biasa kau pulang sebelum-sebelumnya?" 

"Kita akan pulang ke sini juga. Sebelumnya aku biasa pulang ke pelukan ibuku."

Dengan amarah yang masih kutahan, kuminta ia untuk kembali lagi esok.

Selepas kepergiannya, kutelepon bapak. "Pak, sepertinya aku butuh pagar. Juga belantara dan segara di depan rumahku."

"Untuk apa, Nak?"

"Untuk menghalau pria yang semena-mena minta pulang kepadaku. Aku bukan ibunya tempat merengek."

"Jangan terlalu keras, Nak."

"Aku juga telah berkelana, Pak. Meski sejatinya aku tak ke mana-mana. Seenak jidat saja ingin pulang kepadaku." Bapak diam. Aku melanjutkan cerita, "Bagiku pulang itu perkara dua pihak, Pak. Entah punya tujuan atau tidak, dirasakannya berdua."

Seperti itulah.