Wednesday, December 30, 2015

Kesenian Tradisional dan Pasarnya

Sebetulnya sudah lama saya kepingin bahas hal seperti ini di blog. Sebab ada rasa yang menggelitik di otak yang rasanya sudah lama dipendam dan ingin ditumpahkan.

Nah, kebetulan, tadi ketika iseng buka twitter, linimasa mendadak keluar tweets dari Bli @eshasw 2 hari yang lalu yang membahas tentang budaya di Indonesia.

*klik untuk memperbesar*
Saya jadi tergelitik untuk membahasnya. Tidak bermaksud membantah, sih. Karena memang itu benar adanya. Tapi saya hanya mencoba mengungkapkan apa yang saya lihat dan pikirkan tentang hal tersebut. Budaya. Lebih khusus lagi tentang kesenian tradisional.

Karena ponsel pintar saya yang sudah bulukan dan ya-begitulah-adanya telah menemui ajalnya, maka saya akan mencoba membahasnya di sini lebih panjang.

*

Indonesia ini kaya. Banyak suku, bahasa, adat, pulau, dan lain-lain. Nah, ini kenapa Indonesia amat susah disatukan, sebab kita sangat ‘beragam’. Bahkan, perlu semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ agar kita dapat menyatu. Padahal, menurut saya, itu cuma sugesti (kapan hari akan saya bahas).

Dengan keberagamannya itu, harusnya kita (pemuda harapan bangsa) menaruh andil besar dalam pelestarian adat dan budaya. Salah satunya dengan cara mengapresiasi dan mengenali kesenian tradisional. Sayangnya, seringkali ‘pengumuman’ pertunjukan tersebut tidak sampai kepada kita.

Tidak sedikit dari kawan saya yang menodong info pertunjukan tradisional di Surabaya. Kapan dan dimana. Saya sih tidak keberatan. Hanya saja... sifat saya yang males-ngajak-orang bikin bete kawan-kawan ketika update di media sosial tentang pertunjukan yang barusan saya lihat sendiri. Check in, upload foto, mini review, dan sebagainya.

Sayanya juga gregetan sama pemerintah. Kenapa bikin pengumuman yang seperti ini ...
Bahkan, saya pun, yang memotret sekaligus menguploadnya ke salah satu media sosial, lupa untuk datang ke pertunjukan tersebut.


Saya akui, mereka sudah memiliki pasarnya. Di Balai Budaya Jawa Timur, datang 30 menit sebelum pertunjukan pun, bisa-bisa kamu sudah di tolak di depan gedung pertunjukan karena kursi sudah penuh. Kalau mengadakan pementasan di Balai, datang tepat waktu saja, harus siap-siap berdiri dan terhalang pilar-pilarnya. Sebal, kan? Ini juga mengapa saya sering enggan mengajak orang. Soalnya, kalo rame-rame, gak bakal bisa nyelip ketika penjaga gedung sedang lengah.

Apalagi kalau mengundang Kirun, menampilkan Janger Banyuwangi, atau Reyog Ponorogo.

Mereka (seperti) sudah memiliki pasarnya. Masyarakat sekitar dengan usia 40an ke atas. Maka itu pengumuman yang dipasang (yang sebetulnya gak anak muda banget), bisa memikat masyarakat yang tersebut. Tapi tak jarang juga pemuda seusia saya menyempatkan waktu untuk datang. Padahal, pemuda lainnya yang tertarik bakalan datang kalau informasi tersebut sampai ke telinga mereka.

Saya pernah ngobrol dengan penggiat Wayang Orang yang sanggarnya sudah ‘sepi’. Mereka bilang, “Kami senang jika pertunjukan kami diapresiasi. Apalagi dengan anak muda. Sebab kalian lah yang meneruskan ini semua, Nak.”

Mereka menginginkan apresiasi dari pemuda. Tapi, pengumuman mereka jarang sampai dan melekat di otak kami. Bahkan, poster dan media publikasi ‘nyaris tidak pernah sampai’ ke mata kami.

Analisa saya : kurang adanya komunikasi antara pemerintah sebagai penyelenggara, dan kami sebagai generasi muda.

Lah, bukannya ada Duta Pariwisata atau seperti Cak dan Ning (di Surabaya)?
Hm.. saya sebetulnya kurang tahu juga apa fungsi mereka. Lagi pula, saya tak hendak membahas hal seperti itu.

Jadi sebenarnya, akan selalu ada pemuda yang peduli dan paham tentang budaya lokal. Tapi, kebanyakan dari kita, seringkali gampang ‘dirasuki’ oleh pop culture yang impor. Kalau tidak dikuatkan kecintaannya dari kecil, ya bakal dengan mudah ‘dirasuki’ budaya-budaya seperti itu. Seperti yang diungkapkan Maestro Tari Indonesia, Didik Nini Towok (kurang lebih seperti itu).

Lebih parahnya lagi, ngimpor budaya yang gak pop, menjadikannya sebagai kebiasaan hidup, dan menyisihkan budaya lokal dengan sebelah mata. Seperti misalnya, menikah tanpa menggunakan adat. Entah, saya kurang setuju. Sebab, bukankah kita sedang bermasyarakat di sebuah negara yang masyarakatnya selain memiliki agama, juga memiliki kekayaan adat dan budaya?

Saya tak bisa membayangkan Indonesia tanpa adat dan budaya yang diwariskan. Saya juga tak hendak memaksa mereka yang skeptis. Mendingan memecahkan masalah dari analisa di atas.

*

Wayang (n) : Bayangan
Dari sisi seperti ini seharusnya wayang dilihat.

Menek (n) : Naik, memanjat
//
Ramayana yang dibawakan semi kontemporer oleh Mahasiswa FIB Universitas Airlangga. Menggunakan campuran Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa (Ngoko dan Krama). Tapi masih melibatkan estetika tradisionalnya. Karakter favorit saya : Hanuman. 
*

Maafkan teknik fotografi saya yang kurang. Memang gak bakat. 

×××,
Rahmadana Junita

ps : Tulisan ini dibuat untuk memenuhi syarat kelulusan TA
kok sudah subuh sih?