Saturday, August 13, 2016

Review Tiga Dara

Beberapa tahun belakangan saya suka lihat film. Dari gak bisa bedain antara Amy Adams dan Isla Fisher (sampai sekarang pun), atau Natalie Portman dan Keira Knightley (gara-gara The Phantom Manace); sampai sekarang sudah kenalan dengan gaya Tim Burton, Quentin Tarantino, atau Richard Linklater. Kalo di Indonesia, sutradara jagoan saya adalah Garin Nugroho, Riri Riza, Angga Sasongko, dan Joko Anwar. Jangan tanya Hanung Bramantyo. Saya dah gak suka dia semenjak dia menghancurkan Perahu Kertas.

Baru saja tadi saya selesai nonton. Film Indonesia. Judulnya Tiga Dara. Tahun tayangnya sih 1956, tapi direstorasi kembali menjadi kualitas 4K. Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, saya mau nge-review film. Maafkan kalau kalimatnya agak kaku, mengandung spoiler, atau bahkan curhat.

Selamat menikmati.

*

Pada usianya yang baru saja menginjak angka 29, Nunung (anak pertama) belum juga memiliki kekasih. Hal ini meresahkan neneknya, yang merasa mendapat mandat dari mendiang ibu ketiga cucunya. Sebab ayahnya, Sukandar, tak pernah memedulikan tentang asmara ketiga anaknya.

Dengan bujukan neneknya, Nunung mau menghadiri beberapa pesta bersama dengan adiknya, Nana. Tapi apalah daya si Nunung yang pemalu dan pendiam tak seperti Nana yang superior dan ekstrover. Ia hanya duduk termenung dan sedikit sedih menghadapi cibiran teman-teman seusia Nana yang mengira ia adalah tante Nana karena dandanannya.

SINOPSISNYA SUSAH YA. Coba cari sendiri di wikipedia.

Inti ceritanya adalah seorang gadis yang umurnya sudah hampir mendekati kepala tiga, namun belum juga menemukan jodohnya karena ia susah bergaul tak seperti kedua adiknya.

*

Sebelum melihatnya di bioskop, saya pernah melihat film ini sekali di YouTube beberapa hari sebelum premier. Dengan kualitas yang jelek dan durasi hanya 30 menit. Kecewa? Tidak. Tidak ada pengaruhnya bagi saya. Toh meskipun dengan durasi penuh, saya akan melihat film ini di bioskop.

Ekspektasi pertama saya, mungkin saya akan tidur. Ini film hitam putih pertama yang saya lihat. Selain itu, saya juga pernah ketiduran ketika melihat yang di YouTube. Ya karena yang di YouTube kualitasnya jelek aja kali ya, makanya saya ketiduran.

Ternyata, saya gak tidur! Gila aja sampai tidur di film yang racikannya kayak gini.

Film dibuka dengan Nunung yang meniup lilin. Perayaan ulang tahunnya sederha. Di dalam ruangan itu ada Nunung, Nana, Nenny, ayahnya, neneknya, dan Herman. Lalu mereka menyanyikan lagu ulang tahun. “Lanjut umurnya, lanjut umurnya, lanjut umurnya dan berbahagia, dan berbahagia, dan berbahagia”. Dialog sebentar, lalu menyanyikan lagu Tiga Dara yang sudah sering saya putar.

Saya tak pernah tak terkesima dengan dialog yang menggunakan diksi yang luar biasa. Kala itu, Indonesia baru merdeka sebelas tahun dan EYD belum ada. Saya masih ingat dengan novel Memang Jodoh yang ditulis tahun 50an oleh Marah Rusli. Tanggapannya tetap sama : selalu tersenyum ketika mereka menggunakan kata yang sekarang sudah beda penggunaannya.

Hal kedua yang bikin hati saya terpikat adalah : karakter dan penokohan yang mereka bawakan. Nunung, Nana, dan Nenny memiliki watak yang sama sekali berbeda. Kontras! Nunung, kakak tertua yang pendiam, pemalu, penyayang, suka mengalah, ia juga yang mengurus semua pekerjaan rumah, tapi sangat jual mahal kepada lelaki yang ingin mendekatinya. Nana, gadis tengah yang mudah bergaul, suka nonton film, ambisius, keras kepala, ekstrover. Menurut dugaanku, ia seorang Cancer. Sedangkan si bungsu, Nenny, ia jahil, cerdik, nakal, cerdas, periang, suka melawan orang tua, suka meledek juga, tapi ia tidak egois.

Ini menarik. Nunung suka mengalah, Nana keras kepala, Nenny tidak egois. Perbedaan yang menggemaskan.

Ngomong-ngomong soal karakter, saya tertarik dengan make up dan kostum yang dikenakan oleh Nunung. Ia selalu memakai kebaya di acara-acara penting, tidak seperti adik-adiknya yang sudah memakai baju yang lebih modern. Saya menduga, ia adalah sebagai lambang sesuatu yang lama, usang, tua, tapi hari ini masih ada. Make upnya, saya tertarik di bagian alis. Kalau diperhatikan, ekor alisnya sengaja digambar naik, tidak turun seperti adik-adiknya yang menukik tajam ke bawah. Apalagi dahinya selalu dibuat berkerut. Ini semakin membuat wajahnya terlihat semakin sendu dan terlihat lebih lugu dari ketiga adiknya.

Ada beberapa make up yang ganggu. Pemeran pembantu, contohnya. Saya lupa siapa. Bedaknya terlalu terang. Agak ngaggu, soalnya kelihatan banget. 

Saya suka dengan karakter Herman. Kenapa? Ia tampan, dagunya lancip, mukanya tirus, dan tingkahnya pecicilan. Sedang Toto, entah, saya tak begitu suka. Masa mau ketemu gebetan, pakaiannya tak necis, rambutnya gondrong pula. Tidak seperti Herman.

Masuk ke storyline. Sederhana. Saya suka yang sederhana. Sebenarnya, cerita yang sederhana saja dengan packaging bagus itu bisa bikin sebuah cerita menjadi bagus. Punya konflik dengan hal-hal yang sepele. Ditambah lagi dengan plot twist. Beuh.

Menurut saya, konflik-konflik kecil dimulai dari Nana yang flirting ke Toto, lalu Herman yang suka ke Nana patah hati dan malah mengencani Nenny, adiknya. Cinta segi mbulet antara tiga kakak beradik. Konflik-konflik kecil bisa dibangun, sehingga penonton ikut pula merasakan apa yang ada di dalam sebuah cerita tersebut.

Plot twistnya, bagi saya menarik. Meskipun ketebak. Tapi jika plot twist tersebut disuguhkan pada tahun 1956, mungkin akan terlihat menarik dan lucu. 

Hal yang menarik lainnya disini adalah pada jokes-nya yang meski sudah berjarak 60 tahun, tapi masih bisa ‘direspon’ oleh penonton. Seperti adegan favorit saya yang adalah percakapan antara Toto dan Nunung yang juga ada di trailer hasil restorasi Tiga Dara. Begini

Nunung : Apa kepentinganmu? Apa coba? Kenapa?
Toto : Aku tak mau orang lain menjamahmu.
Nunung : Kenapa?
Toto : Aku cinta padamu. 

Lalu seisi bioskop (yang hanya berjumlah 20 orang) berseru sebagaimana mestinya ketika adegan romantis ditampilkan.

Untuk masalah set, saya sedikit kaget dengan Jakarta saat itu. Begitu sepi dan lapang. Begitu menyenangkan. Rumah-rumahnya aduhai sekali. 

Soal sinematografi, saya tidak mengerti harus berkomentar seperti apa. Bukan karena sinematografi film ini begitu sempurna. Tapi ilmu saya kurang banyak kalau harus berbicara tentang sinematografi. 

Begitupun tata musiknya. Saya angkat tangan, tak berani komentar apa-apa. Kalau tak salah, ada genre melayu, swing, bossanova, ya musik-musik yang kece pada masa itu. Kaki saya menghentak, telinga saya mencermati liriknya. Pingin beli vinylnya...

Ada beberapa kecacatan. Tapi masih bisa dimaafkan. Seperti kebocoran cahaya : bayangan holder lampu yang tertangkap kamera, dan tas Nana yang tergeletak padahal orangnya belum datang.

Nasihat yang tersampaikan kepada saya khususnya : jangan suka jahat sama laki, nanti jadi perawan tua gimana hayo? Untuk laki : jangan pernah patah semangat untuk mengejar perempuan yang dicintai, barangkali ia hanya tak tahu bagaimana menyampaikan perasaannya karena ia tak pernah sekalipun berhadapan dengan lelaki. Lho kok kode?

Overall, film ini layak ditonton. Sangat sayang jika dilewatkan. Sebagai penghargaan untuk mereka yang sudah bersusah payah membenahi film lama ini. Sebab, kalau bukan kita yang menikmati karya anak bangsa, siapa lagi? Wong sak ndunyo? Mungkin a?

Bagi yang sudah lama menantikan film ini, segeralah tonton! Kalau bokek, ngutang dulu! Gak ada teman, berangkat sendiri! Saya yakin, kalau orang demen nonton beneran, pasti gak pernah masalah dengan nonton sendiri. Sebab, di Surabaya, film ini diputar hanya di satu bioskop dan penontonnya gak banyak. Takutnya, film ini bertengger di bioskop hanya beberapa hari.