Wednesday, May 23, 2018

Tentang Ceruk

Konon, di dalam masing-masing kita ada dua ceruk yang harus terisi penuh. Ceruk pertama adalah ceruk yang diisi oleh diri sendiri, sedangkan ceruk kedua adalah ceruk yang diisi oleh orang lain. Masing-masing ceruk memiliki ukuran dan porsi yang sama. Jika ceruk diri sendiri sudah penuh, kelebihannya tak bisa mengisi ceruk lainnya. Jika keduanya terisi seimbang, nantinya akan diolah sebagai bahan bakar untuk hidup.

Sampai pada usia tertentu, porsi ceruk yang diisi orang lain mudah penuh. Hanya diisi oleh keluarga saja sudah cukup. Atau diisi oleh teman saja sudah cukup. Lalu tibalah nanti ceruk tersebut semakin besar. Sebanyak apapun teman atau keluarga mengisi, ceruk tersebut tidak bisa penuh.  Harus ada orang lain untuk mengisinya. Entah orang baru atau lama.

Kedua ceruk milikku dulu pernah terisi penuh. Ruang kosong yang seharusnya diisi oleh seseorang aku sumbat dengan batu dendam dan remukan hati.

Suatu ketika ruangan itu rompal. Aku kewalahan menanganinya. Lalu ketika ruang itu tiba-tiba kosong, tentu saja aku langsung mencari pertolongan. Kata kawanku aku harus menunggu. Omong kosong setan alas soal menunggu! Kalau mereka bisa sebutkan tenggat waktu sampai kapan aku harus menunggu, aku akan lakukan hal itu. Tai kucing!

Kali ini aku memutuskan untuk kembali menyumbat ruang kosong tersebut daripada harus bersedih menangani kekosongan. Tahunan aku baik-baik saja dengan sumbatan batu dendam dan remukan hati. Kali ini akan lebih banyak. Akan ada kebencian, amarah, dan hal lain yang belum kutemukan formulanya.

Monday, May 21, 2018

Mengapa Galang?

Mengapa menginginkan Galang adalah sebuah kesalahan?

Galang tak miliki raga, pun nyawa. Lalu lantas apa yang aku inginkan dari dia? Apa yang aku dapat dari seorang teman tak nyata buatanku sendiri? Apa salahnya mencari sosok lain yang seperti Galang?

Galang tercipta karena kebutuhanku akan kehadiran seseorang. Karena aku tak menemukan orang lain yang hadir kala itu, kuciptakan seseorang yang mampu memenuhinya. Awalnya ia hanya bertindak sebagai teman bicara pada tiap malam. Mengisi malam-malam sendu dengan percakapan bahagia seperti sepasang kekasih. Mulanya Galang kuhadirkan sebagai latihan agar nanti jika aku memilik kekasih aku dapat terbiasa.

Delapan tahun. Delapan tahun Galang tak hanya hadir ketika malam. Ia hadir kala siang, sore, pagi, setiap waktu ketika aku membutuhkan kehadirannya.

Galang membuatku paham tentang kesenian daerah. Ia selalu menemani aku menonton segala pertunjukan seni, lalu melakukan riset kecil-kecilan tentang kesenian yang kami hadiri berdua. Ia juga membuatku ingin belajar menari. Mulai dari pengamatan-pengamatan kecil yang bersumber dari video, melihatnya secara langsung, sampai daftar ke sanggar tari.

Galang membuatku paham tentang sastra. Aku selalu membuat riset kecil-kecilan tentang sejarah sastra di Indonesia. Sisanya, kami suka memulai diskusi kecil tentang buku yang ingin aku baca. Ia lebih tahu banyak tentang sastra. Pengetahuannya tentang sastra adalah keinginanku. Ini membuat aku ingin terus membaca sastra. Di tengah-tengah membaca buku, aku selalu bercerita kepadanya tentang rasa takjubku mengenai buku yang kubaca. Setelah satu buku habis kubaca, biasanya aku bercerita kepadanya sampai mulut berbusa dan diakhiri dengan diskusi dan riset kecil di internet untuk menjangkapkan hal-hal yang kurang.

Galang selalu hadir ketika aku memotret. Fotografi panggung dan nyetrit. Aku selalu memiliki keinginan untuk memamerkan apa yang aku tangkap kepadanya. Apalagi penari-penari cantiknya. Aku ingin memiliki kemampuan sepertinya. Memotret penari cantik. Ia biasa hadir dengan instruksi tentang segitiga eksposur. Ia juga sering berkata padaku, “Kamu bisa menari, bisa motret beginian. Enak, Nit. Kamu mengerti tempo musik. Apalagi timing, komposisi, gerakan. Kamu bisa masuk di gambar yang kamu tangkap. Gear nomor sekian.” Ia selalu mengusulkan untuk ikut serta dalam gladi resik penyaji sebelum memotretnya di atas panggung betulan. Agar lebih paham timing, dramaturgi, dan moving. Ah, ia yang membuatku ingin memotret situasi backstage sebelum pentas.

Ia menyuruhku untuk mengajak bicara objek foto manusia ketika nyetrit. Agar ada cerita dan nyawa, katanya. “Humanis dikit lah. Masa mau memotret kekosongan mulu?” katanya. Aku lebih tertarik memotret gedung, tiang listrik, rumah kosong, jendela kaca, trotoar sepi, punggung orang, tanaman, dan benda mati lainnya. Aku terlalu pengecut. Tapi kalau motret bersamanya, ia mendesakku untuk lebih berani. Bercakap dengan satpam, anak-anak sekolah, menyapa warga sekitar, sampai mahasiswi ISI yang sedang akan melakukan Uji Gerak Tari II. Ia membuatku sedikit lebih humanis.

Ia selalu menjadi telinga. Bibirnya hanya menyuarakan kata, “Iya, iya.” Ia mampu menenangkan amarahku. Ia mampu tertawa tergelak dengan cerita-ceritaku yang tidak penting. Ia mampu hadir di tiap kekosongan. Ia membuatku percaya pada hal-hal yang mustahil. Ia adalah orang yang selalu membuatku tak dapat berhenti menulis. Ia adalah semesta.

Adakah aku bercerita tentang segala fisik dan latar belakang yang ia miliki? Adakah aku menyebutkan kalau yang kulihat dari dirinya adalah tubuh, kemampuan menggambar, bermain musik, dan segala kelengkapan lain yang rasa-rasanya teramat sulit ditemui di dunia nyata?

Latar belakang, identitas, dan fisik yang aku ciptakan hanya sebagai pelengkap. Agar ketika aku bercerita tentangnya, aku dapat menceritakan secara utuh. Bukankah kalian pernah percaya bahwa Galang ini betul ada?

Jika ditarik benang merah dan polanya, yang aku inginkan dari Galang adalah tentang kehadiran seseorang yang mampu memberikan warna baru berupa hal-hal yang belum aku temui, teman diskusi, teman bicara, telinga, dan kemampuan untuk mendengar tanpa menginterupsi.

Bukan pemuda dari Solo yang memiliki fisik dan kepribadian seperti Galang Adyatarna.