Wednesday, December 19, 2018

Sore di Solo

Suatu sore di Surakarta. Tepat pada hari ulang tahunku, setelah main-main motret di ISI Surakarta pada pagi harinya, sorenya aku jalan-jalan mencoba roll yang baru saja aku pasang di sekitar kos sepupu.


Lalu seseorang berbisik,

"Dideketin lah adiknya. Ajaklah bercakap. Tanyain kelas berapa, rumahnya, dan hal remeh lainnya." 
Setelah berhasil membuatku ngajak ngobrol mahasiswa Seni Tari paginya, kali ini aku menuruti lagi apa yang diucapkannya. 



Sepulangnya dari berkeliling lagi, dengan berjalan kaki aku bertemu salah seorang dari mereka. Barangkali aku lupa bagaimana wajahnya. Tapi aku ingat betul kalimat yang ia utarakan kepadaku,

"Mbak tadi yang moto sama mas Cengkrik ya?"
"Ha?" Bagaimana mungkin ia tahu nama...

"Mbak tadi yang moto di SDN Cengklik ya?" Tanyanya lagi.
Seperti kisah fiktif, memang. Tapi ini benar terjadi.

Tuesday, November 27, 2018

Selingkuhan

Hanya warna biru dongker dan merah marun yang dipilih. Dari atas kasur, aku hanya dibiarkan diam menyaksikannya mengepak baju.

Ia hendak pergi. Ia tak kuasa menahan rindu yang menggerogoti batinnya selama seminggu belakangan. Berkali-kali ia bergantian menyeka air mata dan mengepalkan tangannya. Ia nampak tergesa ingin segera bertemu dengan kekasihnya.

Oh, jelas aku tahu itu semua. Aku yang mengusap air matanya tiap malam. Aku yang dipeluknya tiap malam ketika ia tak sanggup menghentikan derau tangisnya. Aku yang selalu menemaninya tidur dengan tenang. Aku yang mendengarkan keluh kesah hariannya.

Sedangkan kekasihnya? Apa fungsi kekasihnya? Menanyakan kabar? Memberi selamat pagi dan malam? Ah, tak perlu bertanya kabar, aku sudah tahu bagaimana raut mukanya ketika memasuki kamar. Pesan-pesan yang dikirimkan ke kekasihnya itu palsu.

Lalu kini, ketika ia tak sanggup membendung rindunya, ia siapkan baju-baju dengan warna favorit kekasihnya. Ia ingin menyenangkan hati kekasihnya dengan baju-baju itu.

Setelah semua baju masuk ke dalam tas ranselnya, ia pergi. Tak pamit.

Aku cemburu. Tapi aku tak bisa beranjak dari atas ranjang dan menahannya untuk tidak pergi. Kini aku harus melewati tiga malam panjang tanpa kehadiran tubuhnya di ruang kos bersama bantal dan kasur.

Monday, September 10, 2018

Pria Hari Depan

Menatap hari depan tak pernah semenyenangkan ini. Sejak hari itu, tiap malam aku hanya ingin lekas tidur, agar hari depan lekas datang. Aku tak sabar mencarinya ke setiap sudut kota hanya untuk dapat bertemu dan menyampaikan banyak hal kepadanya.

*

Kami bertemu di sebuah kamar seminggu yang lalu. Sayangnya hanya dalam mimpi. Ia menawarkan bantuan dan aku dengan sukarela menerima bantuannya. Malam itu kami berbicara seadanya. Senyum dan tawanya berhasil membuatku ingin mengingat segala hal baik yang dimilikinya.

Malam itu ia memakai pakaian pesta tanpa jas. Postur tubuhnya tinggi dan tegap. Otot-otot kecil pada tangannya terlihat pejal. Potongan rambutnya cepak dan rapi. Garis-garis tulang yang ada pada wajah dan tubuhnya nampak menonjol. Pundaknya bidang. Tapi yang paling kuingat malam itu hanya satu : caranya tersenyum. Aku selalu ingin bertemu dengan pria yang memiliki senyum seperti itu.

Keesokan harinya ―tentu saja masih dalam mimpi― kami bertemu lagi. Ia mengenakan kaos warna biru, jaket abu-abu, celana panjang berwarna khaki, dan tas ransel denim. Aku menyapanya, “Kita pernah bertemu, kan?” Ia mengerutkan kening, menatapku seolah-olah tak mengerti apa maksud dari ucapanku. Aku ulangi pertanyaanku dengan tambahan banyak detil yang aku ingat dari kejadian semalam. Ia tetap mengertukan kening. Kali ini dengan menggeleng dan meninggalkanku pergi.

Tak lama setelah itu, aku menemukannya kembali di tengah keramaian secara tidak sengaja. Ia duduk makan es dawet sambil memperhatikanku. Aku tahu ia mengenalku. Aku tahu ia menyimpan banyak tanya dalam tatap matanya. Tapi aku tak bisa berjalan ke arahnya karena pagi terlanjur datang, dan tugasku adalah menyelamatkan ingatan tentang segala kejadian yang kami lakukan di dalam mimpi.

Kalau aku boleh meminta hal yang tak masuk akal, aku tak akan meminta untuk bertemu dengannya. Setidaknya ini adalah permintaanku sebelum aku benar-benar menemukannya di dunia nyata: aku ingin menghilangkan setengah ingatanku agar aku memiliki ruang yang lebih untuk menyimpan hal-hal yang ada pada dirinya.

Sampai hari ini, aku kini memiliki motivasi baru untuk segera tidur malam: aku tergesa untuk lekas bertemu dengan hari depan. Sebab jika aku bertemu dengan hari depan, aku akan kembali memiliki kesempatan untuk mencari dan bertemu dengannya. Aku tak pernah bermimpi tentang orang asing sejelas ini.

*rah

Saturday, June 9, 2018

Teori Rumah

Seseorang pernah berbicara tentang teori rumah. Ia berteori bahwa rumah tak pernah menjadi barang bekas bagi penghuninya yang baru. Juga sebaliknya, penghuninya akan mendapat julukan penghuni baru tiap baru saja menempati sebuah rumah. Kata 'bekas' atau 'lama' hanya menjadi sebutan bagi yang terdahulu.

"Itulah mengapa sebutan 'rumah' biasanya dikaitkan dengan 'kekasih' atau orang yang dicintai," katanya.

"Kalau rumahmu bagaimana?"

"Rumahku tak jauh dari stasiun, bandara, dan terminal. Itulah mengapa aku terobsesi dengan berkelana."

"Tak ada pelabuhan?"

"Tak ada. Aku tak hendak berlabuh."

Sejak saat itu aku mengurung keinginanku untuk menanyakan kepadanya tentang teori pulang.


*
rahamnita

Monday, June 4, 2018

Akan tiba waktumu untuk kubunuh, tapi kau tak bisa mati selamanya. Terus menerus kesepian menangisi siapa-siapa yang telah pergi. Dendamku sebenarnya tak banyak, tapi membunuhmu akan selalu menjadi kenikmatan yang lain.

*

Yang akan selalu mengutukmu dari jauh.

Sunday, June 3, 2018

Pulang Dulu

"Tidak pulang?" Tanyaku kepada seseorang setelah menghabiskan puluhan malam dengan banyak keraguan.

Ia diam menyedot rokok kreteknya dalam-dalam. "Sebenarnya aku tak mengerti betul definisi pulang. Sebab pulang ..."

"... tak harus ke rumah," ucap kami bersamaan. Kami bertukar senyum.

"Kau tak pulang?" tanyanya kembali kepadaku.

Aku terbahak. "Tahu apa aku tentang pulang?"

"Mumpung kita sedang di tengah hutan," suaranya mendekat ke telinga lalu berbisik, "mari kita tersesat."

Aku tak mengiyakan ajakannya. Pun tak bisa menolak. Dengan segera, kubereskan tenda dan perapian yang berserakan. 

Barangkali aku telah lupa percakapan apa yang kami bicarakan sebelum malam itu. Namun aku ingat betul apa yang ia bicarakan ketika kami berdua tersesat di belantara yang baru saja aku jelajahi. 

Sejak kecil cita-citanya hanya berpetualang. Rumah tempatnya tumbuh disulapnya menjadi sebuah bangunan yang berisi empat manusia yang nama-namanya ditulis di sebuah sertifikat. Menurutnya, jika ia terlalu terikat dengan rumah, cita-cita terbesarnya tak akan terlaksana.

Hal pertama yang dapat dilakukannya adalah memanipulasi lidah. Ia membuat lidahnya tidak cocok dengan masakan rumah. Karena masakan ibunya selalu manis, maka ia memaksa lidahnya untuk suka dengan masakan pedas.

Setelah umurnya 17 tahun, ia mencari pekerjaan tambahan untuk menambah uang sakunya yang nanti dipergunakan untuk makan di luar. Ia selalu mencari nikmatnya nasi warteg yang keras, sop dengan kaldu penyedap rasa yang terlalu banyak, bakwan yang kebanyakan tepung, telur dadar yang isinya tepung dan air, teh hangat yang hampir tengik, ayam goreng tiren, sampai nasi goreng yang terlalu keras untuk dikunyah.

Lalu pada suatu pagi aku terjaga dengan sepucuk surat. Begini isi suratnya:
"Aku telah punya rumah. Semalam ia memanggilku untuk pulang. Bukan dari perempuan yang biasa kuceritakan. Ini perempuan lain yang suka memasak pedas dan pakai penyedap rasa terlalu banyak. Aku pulang dulu."
Lidahnya yang semula ia manipulasi untuk dirinya sendiri kini terlatih untuk memanipulasi orang lain. Aku menertawainya. Ia yang mengajakku tersesat, ia sendiri yang pulang duluan. 

Untungnya sejak kecil aku telah terbiasa dengan teka-teki dan bapak suka mengajakku tersesat di gang-gang kecil yang baru beliau lewati. Aku memang tak punya rumah untuk pulang, tapi aku tak bisa tersesat.

**

83% fakta, 17% fiktif.

Wednesday, May 23, 2018

Tentang Ceruk

Konon, di dalam masing-masing kita ada dua ceruk yang harus terisi penuh. Ceruk pertama adalah ceruk yang diisi oleh diri sendiri, sedangkan ceruk kedua adalah ceruk yang diisi oleh orang lain. Masing-masing ceruk memiliki ukuran dan porsi yang sama. Jika ceruk diri sendiri sudah penuh, kelebihannya tak bisa mengisi ceruk lainnya. Jika keduanya terisi seimbang, nantinya akan diolah sebagai bahan bakar untuk hidup.

Sampai pada usia tertentu, porsi ceruk yang diisi orang lain mudah penuh. Hanya diisi oleh keluarga saja sudah cukup. Atau diisi oleh teman saja sudah cukup. Lalu tibalah nanti ceruk tersebut semakin besar. Sebanyak apapun teman atau keluarga mengisi, ceruk tersebut tidak bisa penuh.  Harus ada orang lain untuk mengisinya. Entah orang baru atau lama.

Kedua ceruk milikku dulu pernah terisi penuh. Ruang kosong yang seharusnya diisi oleh seseorang aku sumbat dengan batu dendam dan remukan hati.

Suatu ketika ruangan itu rompal. Aku kewalahan menanganinya. Lalu ketika ruang itu tiba-tiba kosong, tentu saja aku langsung mencari pertolongan. Kata kawanku aku harus menunggu. Omong kosong setan alas soal menunggu! Kalau mereka bisa sebutkan tenggat waktu sampai kapan aku harus menunggu, aku akan lakukan hal itu. Tai kucing!

Kali ini aku memutuskan untuk kembali menyumbat ruang kosong tersebut daripada harus bersedih menangani kekosongan. Tahunan aku baik-baik saja dengan sumbatan batu dendam dan remukan hati. Kali ini akan lebih banyak. Akan ada kebencian, amarah, dan hal lain yang belum kutemukan formulanya.

Monday, May 21, 2018

Mengapa Galang?

Mengapa menginginkan Galang adalah sebuah kesalahan?

Galang tak miliki raga, pun nyawa. Lalu lantas apa yang aku inginkan dari dia? Apa yang aku dapat dari seorang teman tak nyata buatanku sendiri? Apa salahnya mencari sosok lain yang seperti Galang?

Galang tercipta karena kebutuhanku akan kehadiran seseorang. Karena aku tak menemukan orang lain yang hadir kala itu, kuciptakan seseorang yang mampu memenuhinya. Awalnya ia hanya bertindak sebagai teman bicara pada tiap malam. Mengisi malam-malam sendu dengan percakapan bahagia seperti sepasang kekasih. Mulanya Galang kuhadirkan sebagai latihan agar nanti jika aku memilik kekasih aku dapat terbiasa.

Delapan tahun. Delapan tahun Galang tak hanya hadir ketika malam. Ia hadir kala siang, sore, pagi, setiap waktu ketika aku membutuhkan kehadirannya.

Galang membuatku paham tentang kesenian daerah. Ia selalu menemani aku menonton segala pertunjukan seni, lalu melakukan riset kecil-kecilan tentang kesenian yang kami hadiri berdua. Ia juga membuatku ingin belajar menari. Mulai dari pengamatan-pengamatan kecil yang bersumber dari video, melihatnya secara langsung, sampai daftar ke sanggar tari.

Galang membuatku paham tentang sastra. Aku selalu membuat riset kecil-kecilan tentang sejarah sastra di Indonesia. Sisanya, kami suka memulai diskusi kecil tentang buku yang ingin aku baca. Ia lebih tahu banyak tentang sastra. Pengetahuannya tentang sastra adalah keinginanku. Ini membuat aku ingin terus membaca sastra. Di tengah-tengah membaca buku, aku selalu bercerita kepadanya tentang rasa takjubku mengenai buku yang kubaca. Setelah satu buku habis kubaca, biasanya aku bercerita kepadanya sampai mulut berbusa dan diakhiri dengan diskusi dan riset kecil di internet untuk menjangkapkan hal-hal yang kurang.

Galang selalu hadir ketika aku memotret. Fotografi panggung dan nyetrit. Aku selalu memiliki keinginan untuk memamerkan apa yang aku tangkap kepadanya. Apalagi penari-penari cantiknya. Aku ingin memiliki kemampuan sepertinya. Memotret penari cantik. Ia biasa hadir dengan instruksi tentang segitiga eksposur. Ia juga sering berkata padaku, “Kamu bisa menari, bisa motret beginian. Enak, Nit. Kamu mengerti tempo musik. Apalagi timing, komposisi, gerakan. Kamu bisa masuk di gambar yang kamu tangkap. Gear nomor sekian.” Ia selalu mengusulkan untuk ikut serta dalam gladi resik penyaji sebelum memotretnya di atas panggung betulan. Agar lebih paham timing, dramaturgi, dan moving. Ah, ia yang membuatku ingin memotret situasi backstage sebelum pentas.

Ia menyuruhku untuk mengajak bicara objek foto manusia ketika nyetrit. Agar ada cerita dan nyawa, katanya. “Humanis dikit lah. Masa mau memotret kekosongan mulu?” katanya. Aku lebih tertarik memotret gedung, tiang listrik, rumah kosong, jendela kaca, trotoar sepi, punggung orang, tanaman, dan benda mati lainnya. Aku terlalu pengecut. Tapi kalau motret bersamanya, ia mendesakku untuk lebih berani. Bercakap dengan satpam, anak-anak sekolah, menyapa warga sekitar, sampai mahasiswi ISI yang sedang akan melakukan Uji Gerak Tari II. Ia membuatku sedikit lebih humanis.

Ia selalu menjadi telinga. Bibirnya hanya menyuarakan kata, “Iya, iya.” Ia mampu menenangkan amarahku. Ia mampu tertawa tergelak dengan cerita-ceritaku yang tidak penting. Ia mampu hadir di tiap kekosongan. Ia membuatku percaya pada hal-hal yang mustahil. Ia adalah orang yang selalu membuatku tak dapat berhenti menulis. Ia adalah semesta.

Adakah aku bercerita tentang segala fisik dan latar belakang yang ia miliki? Adakah aku menyebutkan kalau yang kulihat dari dirinya adalah tubuh, kemampuan menggambar, bermain musik, dan segala kelengkapan lain yang rasa-rasanya teramat sulit ditemui di dunia nyata?

Latar belakang, identitas, dan fisik yang aku ciptakan hanya sebagai pelengkap. Agar ketika aku bercerita tentangnya, aku dapat menceritakan secara utuh. Bukankah kalian pernah percaya bahwa Galang ini betul ada?

Jika ditarik benang merah dan polanya, yang aku inginkan dari Galang adalah tentang kehadiran seseorang yang mampu memberikan warna baru berupa hal-hal yang belum aku temui, teman diskusi, teman bicara, telinga, dan kemampuan untuk mendengar tanpa menginterupsi.

Bukan pemuda dari Solo yang memiliki fisik dan kepribadian seperti Galang Adyatarna.

Saturday, March 17, 2018

Proposal

Permintaan-permintaan saya sebelumnya adalah tentang mereka yang pernah mengisi hati saya; kalau memang mereka bukan untuk saya, pertemukan mereka dengan perempuan yang dapat mencintai mereka dengan tulus dan dapat membahagiakan mereka. Saya tak pernah meminta segala yang menjadi milik mereka; termasuk hati mereka. Dari lima doa yang saya panjatkan, terima kasih telah mengabulkan kelima-limanya. 

Namun kali ini saya memiliki permintaan lain. Tuhan, kali ini izinkan saya menjadi egois.

Ini tentang seseorang yang belakangan suka hadir di otak saya. Ia selalu hadir, meski tak setiap hari. Saya tak tahu apakah ini cinta atau apa. Tapi kali ini saya sungguh-sungguh. Saya tak pernah seegois ini sebelumnya. Ia membuat saya menyerah dari petualangan-petualangan dan ingin segera pulang.

Saya cukup pengecut. Lagi-lagi saya bersembunyi di balik tulisan dan metafor untuk menyatakan perasaan saya kepadanya. Apalagi ia tak mungkin membaca tulisan saya yang katanya adalah omong kosong. Tak apa. Itu artinya saya dapat leluasa menyebutkannya dalam tulisan-tulisan saya. Bahkan saya rela memindahkan segala inspirasi yang sebelumnya bersumber dari Galang, kini berpindah kepadanya.

Tak sedikit dari teman saya bersikeras meminta saya untuk memperjuangkan dia. Saya mau. Sungguh, saya mau. Kalau saya tahu caranya, saya akan lakukan. Kalau saya punya cukup keberanian, saya tak perlu menulis proposal ini. Kalau proposal ini sampai di hadapannya dan ia sadar bahwa selama ini saya hanya mempu meraihnya lewat doa, syukurlah.

Saya tahu percakapan kami tak pernah lebih dari sepuluh baris dan tak pernah ada ucapan selamat nyenyak yang berkunjung di antaranya. Saya tahu percakapan kami tak pernah menarik. Saya tidak tahu hal-hal yang diketahuinya, dan ia barangkali tak tahu hal-hal yang menarik bagi saya. Kami begitu berseberangan. 

Saya tahu ia tak dapat mempercepat pagi dan membuat senja lebih lama. Itulah mengapa saya mau menghabiskan hari dengan waktu yang bergulir biasa saja bersama dia sampai kami lupa waktu dan tak lagi dapat mengeja waktu dengan benar.

Saya mau kehilangan diri saya sendiri untuk menjadi apa yang ia minta. Saya mau menerima segala kekurangan dan apa yang tak ia punya.

Permintaan yang begitu egois itu adalah : Saya mau dia.

Sekian proposal dari saya. Semoga kiranya Engkau menghendaki apa yang saya minta. Sebab hanya Engkau sebaik-baik perencana. 

Thursday, March 15, 2018

Kelak

KALA
Apa yang harus aku ubah, duhai Nisita?


NISITA
Jangan pernah mengubah waktu, sebab engkau tak akan mampu. 
Jangan pernah mengubah dirimu, aku takut tak dapat lagi mencintaimu.


KALA 
Akankah lebih banyak lagi yang engkau takutkan selain itu?


NISITA  
Tak ada. Namun kalau saja aku dapat menjelajah waktu...


KALA
Jangan. Jangan pernah mencoba menjelajah waktu. Untuk apa? Percuma.


NISITA
Aku ingin mencintaimu lebih banyak. Sebab namamu terlanjur sering aku sematkan dalam banyak mantra yang aku bisa, Kalandharu.


KALA
Coba saja aku dapat membaca pikiranmu untuk ikut merapal mantra yang sama


NISITA
Apakah kau pernah ragu?


KALA
Selalu


NISITA
Aku tak pernah

Sunday, January 21, 2018

4/10 untuk The Greatest Showman

Beberapa hari yang lalu(Kamis 18/01), seperti biasa ada yang mendadak ngajakin nonton film di tengah-tengah suntuk  ngerjain TA. Siapa lagi kalau bukan saya sendiri. Karena belakangan banyak yang sering update tentang The Greatest Showman, akhirnya saya memutuskan untuk menonton film tersebut. Bukan, bukan karena saya penasaran dan betulan ada niat nonton. Semua terjadi berdasarkan intuisi.

*

Film ini bercerita tentang perjalanan hidup P.T. Barnum dan sanggar sirkusnya. Masa kecilnya, Barnum adalah anak dari seorang penjahit yang jatuh cinta dengan seorang anak dari klien bapaknya yang bernama Charity. Charity dan Barnum saling jatuh cinta. Setelah pertemuan pertamanya, pada hari yang sama keduanya berpetualang di sebuah rumah tua. Barnum dengan mudah membuat Charity terkesima dengan caranya bercerita. 

Sampai suatu ketika Charity harus menempuh pendidikan di luar kota membuat keduanya harus berpisah di dua kota yang berbeda. Tapi alhamdulillah, keduanya masih menjalin silturahim lewat surat. 

Tak lama, ayah Barnum meninggal dunia. Sepeninggal ayahnya, Barnum tetap harus bertahan hidup. Meski ia harus sering mencuri roti untuk bisa membeli kertas surat yang nantinya dikirimkan kepada Charity.

Setelah dewasa, Barnum melamar Charity.

Oke, cukup sekian saya membahas sinopsisnya. Kalau dilanjutkan, dapat menimbulkan spoiler.Tapi sayangnya, bakal ada banyak spoiler setelah ini. Hehe.

Secara keseluruhan, saya kurang suka dengan film ini. Bukan karena ini film musikal. Saya termasuk orang yang bisa menikmati dan suka dengan film musikal. La La Land, Les Misérables, dan lain-lain. Mari kita bahas satu-satu.

s t o r y l i n e   d a n   p l o t
Gak masuk akal. Plotnya gampang ditebak. Sekalinya salah tebak, eh gak masuk akal.

Ketika Ayah Charity menolak Barnum, saya menebak bakalan ada drama keluarga. Tetapi dengan mudahnya Charity meninggalkan ayahnya dan menikahi Barnum.

Nah, ketika Jenny Lind bertemu dengan Barnum, saya menebak bakal ada skandal. Eh, iya dong. Padahal setelah research di wikipedia, Jenny Lind dan Barnum gak ada skandal.

Endingnya? Wah kalau dibahas dari segi dramaturgi sih lebih baik tak perlu membahasnya.

m u s i k
I was expecting a time machine. Tapi apa? Musiknya too pop. Belum lagi perkara Jenny Lind. Jenny Lind diperkenalkan sebagai penyanyi opera. Tapi ketika bernyanyi, saya mbatin, "Operanya di mana nih kalo boleh tahu?"

Musiknya bagus, tapi kalau disandingkan dengan set waktunya, gak nyambung. I was expecting too much.

k o s t u m
Terlalu kontemporer. Di mata saya sih agak mencolok. Seperti musik, saya berekspektasi sebuah mesin waktu. Dengan set waktu akhir abad 18an, harusnya saya bisa melihat sesuatu yang lain dari film ini. Tapi ternyata saya gak melihat apa-apa. Kecuali baju Charity yang selalu biru. Gak selalu sih, tapi kebanyakan berwarna biru.

*

Awalnya memang saya tidak berekspektasi apa-apa tentang film ini. Ekspektasi mulai saya buat ketika film dimulai. Tapi bukan ekspektasi berupa "Wah film bagus nih" "Wah soundtracknya menjanjikan nih" "Film musikal, bisa dilihat-lihat koreonya nih". Bukan. Saya lebih berekspektasi tentang mesin waktu yang bisa saya rasakan ketika saya melihat film ini.

Seperti dibilang di awal, secara keseluruhan saya kecewa dengan film ini. Apakah hanya karena tidak memenuhi ekspektasi saya? Iya, tapi bukan ekspektasi yang demikian. Mungkin karena saya agak sedikit gak terima dengan cara penyampaian sang sutradara yang semi kontemporer.

Memang tidak dijelaskan kalau ini adalah film biopik yang menceritakan kehidupan P.T. Barnum. Tapi beberapa karakternya ada yang beneran nyata, meski beberapa karakternya ada yang buatan atau diganti (Bailey diganti Phillip Carlyle, meski di Wikipedia dijelaskan sebagai composite character). Kejadiannya pun ada yang dibuat-buat (seperti skandal Barnum dan Jenny Lind) meski ada pula yang benar adanya (Pak Barnum bikin pertunjukan sirkus).

Atau saya yang kelewatan pernyataan 'Half Fiction Half Biopic Movie'? Atau memang tujuannya 'Half Classic Half Contemporary Movie' ya? Sorry to say, gak masuk di logika saya. Kesannya setengah-setengah. Mungkin kalau misal semua tokohnya dibuat fiktif dan ceritanya terinspirasi dari Pak Barnum, saya masih bisa menerimanya.

Tapi masih bisa dibilang film ini bagus, meski saya agak sedikit kecewa. Hm, lebih banyak kecewanya sih. Hehe.

Meski begitu, film ini bikin saya research tentang P.T. Barnum, Victoria Era di Amerika, Americans Slavery, sejarah kata 'circus' jika dibedah dari sudut pandang linguistik, Musik Opera, dan beberapa hal lain yang kayaknya ditunda saja karena masih ngurusi Tugas Akhir.

Awalnya sih mau kasih rating 6/10, karena film ini cukup tidak sesuai dengan apa yang saya bayangkan untuk menjadi mesin waktu. Tapi jadi 4/10 karena tokoh utamanya, P.T. Barnum, bukanlah tokoh fiktif. Kalau film Indonesia sih bisa maklum ya.

*rah

Saturday, January 20, 2018

Membaca Si Parasit Lajang

Si Parasit Lajang adalah buku kelima Ayu Utami yang saya selesaikan. Ini sedikit mengejutkan. Mengingat saya punya kepercayaan terhadap diri saya sendiri kalau saya tak mungkin menghabiskan dua-tiga buku dari penulis yang sama. Ini saya membaca lima bukunya! Hebatnya lagi, buku Ayu Utami yang saya punya ada delapan. Sungguh prestasi yang perlu dibanggakan. Ah, nyatanya saya sudah membaca buku Pram sebanyak 2,5 buah dan sepertinya akan selalu jatuh cinta dengan gaya menulis Pram.

Setelah membaca buku ini (Si Parasit Lajang), yang terpikir oleh saya adalah menulis adalah salah satu cara untuk mengungkapkan pemikiran tanpa perlu diinterupsi. Meskipun nantinya akan ada kritik-kritik, setidaknya kritik tersebut tentunya adalah hasil dari pemikiran yang dikaji secara dalam dan tidak spontan.

Membaca Ayu Utami tentunya tidak akan jauh dari paham feminisme. Dan ternyata, secara tidak sadar saya memiliki pemikiran feminis sebelum saya mengerti dan paham arti feminis itu sendiri. Tapi kadang saya juga masih ragu untuk mengecap diri sendiri sebagai seorang feminis meski saya membenci patriarki dan berusaha untuk tidak seksis. Tapi toh nyatanya feminisme lebih dari sekadar itu dan saya merasa ilmu saya masih terlalu cekak untuk memproklamirkan diri sebagai seorang feminis. Oh, tentunya saya mendukung gerakan-gerakan yang bersifat feminis.

Oke, kembali ke buku.

Seperti yang dijelaskan pada sinopsis yang ada di belakang, buku ini berisi tentang cercahan pikiran seorang perempuan urban yang di akhir usia dua puluhannya ia memutuskan untuk tidak menikah dan menyebut diri si parasit lajang (sebutan yang dilontarkan oleh feminis Jepang). 

Jujur, awalnya saya tak membaca sinopsis di bagian belakang buku, lantas saya mengira buku ini berisi tentang pemikiran-pemikiran feminis Ayu Utami tentang hal-hal yang menjadi alasannya untuk tidak menikah. Pada beberapa bab, Ayu Utami memang melontarkan alasan-alasannya untuk tidak menikah. Tapi ternyata buku ini tak melulu tentang itu. Buku ini tidak melulu tentang pandangannya tentang pernikahan, seks, dan segala tetek bengek yang berkaitan tentang hubungan lelaki dan perempuan. Ah, bahkan dia bercerita tentang homoseksual (yang berarti ini bukan hubungan antara lelaki dan perempuan, melainkan sesama jenis).

Sayangnya, saya tidak menulis atau memberi tanda pada bab-bab yang membuat saya setuju atau tidak setuju atas pemikirannya. Salah satu pemikiran yang saya setujui adalah pemikirannya tentang pengetahuan seks bagi perempuan. Kebanyakan remaja putri tidak saling terbuka atas pengalamannya terhadap seks. Tidak seperti remaja putra yang dengan mudahnya bercerita pengalaman seks mereka. Ini membuat kami (remaja putri) suka mencoba dan menerka untuk ‘mengenali’ tubuh kami sendiri. Hal ini sangat disayangkan sebab salah satu pengetahuan yang tidak diajarkan oleh orang tua adalah pengetahuan tentang seks.

Jika saja anak-anak perempuan lebih terbuka mengenai eksplorasi seksual mereka sejak dini, mungkin tak teralu banyak ketakutan yang mereka alami.

Seperti yang saya sebutkan di atas, buku ini tidak hanya bercerita tentang feminisme, pernikahan, dan seks. Ayu Utami juga bercerita tentang Utan Kayu (yang sekarang menjadi Komunitas Salihara), hal-hal magis yang membuatnya tertarik (sehingga ia menulis seri Bilangan Fu), asisten rumah tangganya, dan hal-hal lain yang mebuat saya tertawa satir. Beberapa pemikirannya juga kadang tak sepaham dengan saya. Sayangnya, saya tak mencatat itu semua.

Perihal seks, saya selalu suka dengan cara penyampaian Ayu Utami. Kapan-kapan saya akan bahas hal ini. Saya masih belum menemukan padanan kata untuk mendeskripsikan cara penyampaian Ayu Utami tentang seks. Ini menjadi PR bagi saya sebab sudah lima buku dia yang telah saya baca.

Pada akhirnya, saya tidak bisa memeberikan rating untuk buku ini. Karena saya sudah begitu hapal dengan gaya penulisan Ayu Utami dan tidak mungkin saya beri bintang 5/5 karena buku ini bukanlah novel yang biasa saya baca. Buku ini juga tak sesempurna itu. Saya juga merasa tidak bisa memberikan angka terhadap suatu pemikiran seseorang. Sebab benar bukanlah hal yang mutlak. 

Saya juga banyak belajar dari buku ini. Dulu saya suka menulis suku kata yang baru saya temui. Buku ini menyajikan banyak suku kata (lebih ke arah suku kata yang menyajikan sebuah paham sperti -isme -is) yang belum saya tahu. Tapi sayangnya, saya tak menuliskannya. Ini menjadi evaluasi untuk saya agar tak lagi malas menyelipkan kertas di dalam buku dan membawa pena ketika membaca. Sebab tak mungkin saya berdekatan dengan ponsel pintar saya ketika membaca.

*rah