Sunday, June 3, 2018

Pulang Dulu

"Tidak pulang?" Tanyaku kepada seseorang setelah menghabiskan puluhan malam dengan banyak keraguan.

Ia diam menyedot rokok kreteknya dalam-dalam. "Sebenarnya aku tak mengerti betul definisi pulang. Sebab pulang ..."

"... tak harus ke rumah," ucap kami bersamaan. Kami bertukar senyum.

"Kau tak pulang?" tanyanya kembali kepadaku.

Aku terbahak. "Tahu apa aku tentang pulang?"

"Mumpung kita sedang di tengah hutan," suaranya mendekat ke telinga lalu berbisik, "mari kita tersesat."

Aku tak mengiyakan ajakannya. Pun tak bisa menolak. Dengan segera, kubereskan tenda dan perapian yang berserakan. 

Barangkali aku telah lupa percakapan apa yang kami bicarakan sebelum malam itu. Namun aku ingat betul apa yang ia bicarakan ketika kami berdua tersesat di belantara yang baru saja aku jelajahi. 

Sejak kecil cita-citanya hanya berpetualang. Rumah tempatnya tumbuh disulapnya menjadi sebuah bangunan yang berisi empat manusia yang nama-namanya ditulis di sebuah sertifikat. Menurutnya, jika ia terlalu terikat dengan rumah, cita-cita terbesarnya tak akan terlaksana.

Hal pertama yang dapat dilakukannya adalah memanipulasi lidah. Ia membuat lidahnya tidak cocok dengan masakan rumah. Karena masakan ibunya selalu manis, maka ia memaksa lidahnya untuk suka dengan masakan pedas.

Setelah umurnya 17 tahun, ia mencari pekerjaan tambahan untuk menambah uang sakunya yang nanti dipergunakan untuk makan di luar. Ia selalu mencari nikmatnya nasi warteg yang keras, sop dengan kaldu penyedap rasa yang terlalu banyak, bakwan yang kebanyakan tepung, telur dadar yang isinya tepung dan air, teh hangat yang hampir tengik, ayam goreng tiren, sampai nasi goreng yang terlalu keras untuk dikunyah.

Lalu pada suatu pagi aku terjaga dengan sepucuk surat. Begini isi suratnya:
"Aku telah punya rumah. Semalam ia memanggilku untuk pulang. Bukan dari perempuan yang biasa kuceritakan. Ini perempuan lain yang suka memasak pedas dan pakai penyedap rasa terlalu banyak. Aku pulang dulu."
Lidahnya yang semula ia manipulasi untuk dirinya sendiri kini terlatih untuk memanipulasi orang lain. Aku menertawainya. Ia yang mengajakku tersesat, ia sendiri yang pulang duluan. 

Untungnya sejak kecil aku telah terbiasa dengan teka-teki dan bapak suka mengajakku tersesat di gang-gang kecil yang baru beliau lewati. Aku memang tak punya rumah untuk pulang, tapi aku tak bisa tersesat.

**

83% fakta, 17% fiktif.

No comments:

Post a Comment