Sunday, December 31, 2017

Jika 2017 Adalah Seorang Kekasih

2017
.
Saya mau pergi.

Saya
.
Silakan. Terima kasih atas semuanya. Atas akselarasi dan pengetahuan-pengetahuan yang saya gak nyangka bisa saya dapatkan ketika sama kamu.

2017
.
Apa perpisahan ini perlu dirayakan?

Saya
.
Tak perlu. Dirayakan atau tidak, toh kita tak akan bertemu lagi. Sama saja, bukan?

2017
.
Iya. 

Saya
.
Saya boleh memelukmu?

2017
.
Sini.
(berbisik) Akan ada tahun-tahun baik untukmu. Semoga ada yang lekas datang dan tak pernah pergi. Tidak seperti saya. Saya selalu berdoa tentang itu.

Saya
.
Amin. Terima kasih.

2017
.
(berbisik) Maafkan saya kalau saya pernah mengecewakanmu.

Saya
.
Kesalahanmu tak sebanyak kebaikanmu. Saya akan terus mengucapkan terima kasih kepadamu. Semoga kamu menjadi masa lalu paling baik. Meski saya tak banyak merekammu.

Terima kasih, 2017.

Thursday, December 28, 2017

Pengalaman Membaca dan Buku

Sudah lama sebenarnya saya memiliki keinginan untuk berbagi cerita tentang pengalaman membaca saya. Entah mengapa, saya amat suka bercerita tentang hal tersebut. Saya selalu menanyakan ke lawan bicara saya (yang suka baca) tentang pengalaman membaca mereka. Menurut saya, itu menarik. Alasan lainnya sih karena saya juga ingin bercerita tentang pengalaman membaca saya.

*

Tadi sore ketika saya membaca buku di sebelah ibu yang sedang mengupas bawang merah, saya iseng bertanya, "Kenapa dulu aku sering diajak ke Gramedia?"

Tuesday, December 26, 2017

Desember dan Januari

Desember belum pergi. Sepertinya ia akan menginap untuk enam hari ke depan. Mari kita jamu Desember dengan kenangan-kenangan indah sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan kita. Barangkali dengan menjamu Desember dengan hal-hal baik tahun ini, ia akan datang menjumpai kita tahun depan. Desember telah mengajari kita bahwa tak ada hal-hal yang benar-benar menetap. Ia akan pergi dan berganti dengan hal lain. Maka sebelum hal tersebut benar-benar pergi, mari beri segala hal baik yang kita punyai.

Januari memang telah kita tinggalkan sebelas bulan yang lalu. Tapi siapa sangka, setelah Desember pergi nanti, Januari yang lain akan menyambut kita. Januari juga telah mengajari kita bahwa apa yang telah kita tinggalkan dapat kita jumpai di masa yang akan datang. Semoga akan tetap seperti itu. Barangkali Januari kemarin atau Januari-Januari sebelumnya telah melukai kita tentang banyak hal. Mau tak mau, suka tak suka, kita harus menghadapi Januari esok.

Hidup memang bukan melulu tentang Desember dan Januari yang berdampingan namun terpisahkan tahun dan kalender. Atau pola datang-pergi seperti yang saya kemukakan di atas.

Kali ini saya ingin menerka tentang sebuah hal yang datang bulan ini. Saya juga ingin membicarakan hal-hal tentang kehadiran tanpa kepergian. Namun saya tak miliki kuasa yang cukup untuk membicarakan tentang hal itu. Barangkali tulisan kak Theo yang ditulis nyaris empat tahun yang lalu (dan kebetulan) tepat pada tanggal ulang tahun saya dapat mewakili:
Tuhan jika memang Engkau memilih dia untuk saya. Saya mau belajar mencintai semua kekurangannya. Buka jalan untuk kami. Kasih hatinya melekat untuk saya. Dan hanya saya yang dia pikirkan di dalam hari-harinya. Bahwa saya menyayanginya. Dan ajar kami punya rasa sayang yang murni. Dan jika memang Engkau memilih dia untuk saya, kasih saya pintar untuk melihat tanda. - Theoresia Rumthe (selengkapnya
 Semoga segala hal baik akan kembali baik pada nantinya.

Friday, December 22, 2017

Hal-Hal yang Aku Suka dari Wajahnya

Aku suka dengan segala hal yang membingkai matanya. Pelipisnya yang menonjol membuat rongga matanya sedikit cekung. Barangkali alisnya tidak simetris, tapi presisi. Bentuk matanya mirip kacang almond dengan sudut kemiringan lima derajad ke atas, sedikit sipit, dan memiliki bulu mata yang lebat. Bulu mata inilah yang membuat yang membuat matanya tampak memiliki bingkai khusus. Bola matanya berwarna cokelat. Jika kesemua hal yang membingkai matanya itu disatukan, akan menciptakan mata yang teduh dan dalam. Meski terkadang bisa menjadi tajam ketika sedang mengintai objek yang akan dibidiknya. Apalagi ia sering menanggalkan kacamatanya ketika sedang bersamaku. Itulah mengapa aku dapat menjelajahi dan menganalisa bentuk mata yang dimilikinya.

Hal lain yang aku suka dari bagian wajahnya adalah giginya. Menurut teman-temanku, hal ini aneh. Tapi menurutku tidak. Kalau ketidaksempurnaan atau kecacatan seperti lesung pipit dan gigi gingsul dapat menjadi nilai tambah seseorang untuk dikagumi, lantas mengapa aku dianggap aneh karena mengagumi gigi taringnya yang timpang? Gigi taringnya timpang. Yang sebelah kanan patah, yang sebelah kiri terlalu runcing. Aku tak hanya mengagumi gigi taringnya yang timpang. Bahkan jatuh cinta! Rasanya, ingin mencoba menggigitnya dengan gemas.

Setelah berbicara tentang gigi, mari berbicara tentang bibirnya. Singkat saja: tipis. Tapi ini tak membuatnya suka banyak bicara. Hal yang paling menyebalkan tentang bibirnya adalah senyumnya yang selalu singkat dan kadang suka mengejekku. Itulah mengapa agaknya sampai di sini saja bahasan tentang bibir.

Turun dari bibir, ada dagunya yang runcing dan rahangnya yang kokoh. Sampai di sini, kurasa bagian dagu dan rahang adalah hal yang aku suka setelah mata dan giginya. Dagunya sedikit ditumbuhi rambut, dan jenggotnya juga tidak ditumbuhi jenggot. Inilah alasan mengapa dagu dan rahangnya menjadi bagian yang aku kagumi. Aku bisa melihat tulang rahang bawahnya nampak telanjang karena hanya diselimuti kulit tanpa ditumbuhi rambut yang berlebih.

Oh, aku belum membahas hidungnya! Sebelum membahas hidung, izinkan aku bercerita tentang kumisnya. Ia memiliki kumis tipis yang tumbuh agak lama dan jarang dicukur. Kumisnya nampak serasi dengan bibirnya. Sama-sama tipis. Keduanya juga bisa menjadi hal yang berseberangan. Kalau aku mulai tak suka dengan bibirnya, aku akan mulai mengamati kumisnya yang menggemaskan itu.

Hidungnya panjang. Sudah, itu saja. Aku sering mengejeknya Pinokio karena ia sering ingkar janji. Kalau hidung Pinokio memanjang ke depan lantaran sering berbohong, barangkali hidungnya akan memanjang ke bawah karena sering ingkar janji. 

Telinganya juga lebar. Jika telinga, hidung, dan matanya disatukan dalam narasi yang singkat, akan menjadi : matanya sipit, hidungnya panjang, telinganya lebar! Haha, seperti apa? Gajah! Tapi tubuhnya tak seperti gajah. Tubuhnya kurus dan tinggi seperti tiang. Kapan-kapan aku akan bercerita tentang bagian tubuh yang lain. 

Hm, apa lagi yang belum aku sebutkan ya? Pipi dan jidat? Oh, pipinya tirus, nyaris cekung. Jidatnya tidak lebar, dan selalu tertutupi oleh rambutnya yang berpotongan shaggy dan berantakan. Ah, aku selalu suka rambut dan seleranya dalam menata rambut ―meski rambutnya hanya akan dicukur ketika ada acara-acara penting yang harus ia datangi. Rambutnya lurus, hitam, lebat, dan agak sedikit kaku. Kalau sudah mulai panjang dan enggan dipotong, ia tak pernah menggunakan bandana atau karet rambut untuk meringkasnya tetapi pakai udeng atau ikat kepala.

Itu baru bagian wajahnya. Belum bagian tubuh lainnya seperti jemarinya yang panjang, punggungnya yang bidang, bahunya yang rata, atau kebiasaan-kebiasaan yang suka ia lakukan secara tak sadar.

*

Monday, December 18, 2017

Tentang Seseorang

Pemuda itu datang lagi. Aku tak tahu pasti siapa ia. Asal usul, sifat, dari mana ia berasal, dan segala hal-hal remeh lainnya. Ia datang berkali-kali seolah tak pernah berkenalan denganku sebelumnya. Ia datang berkali-kali dengan karakter dan nama yang berbeda.

Yang jelas, pakaian yang membalut tubuhnya yang kurus dan tinggi selalu sama: kaos oblong berwarna abu-abu, flannel coklat, celana jeans biru gelap sedikit belel, sneakers Converse High berwarna hitam yang sedikit buluk, tas ransel besar seperti karung berbahan kanvas tebal berwarna khaki, kacamata dengan bingkai tipis yang selalu digantungkan di leher kaosnya. Rambutnya juga selalu sama: lebat, hitam, legam, berpotongan shaggy, berantakan, menutupi setengah telinga dan tengkuknya. Aku tak begitu mengenal matanya. Barangkali karena terlalu dalam dan teduh.

Beberapa bulan yang lalu kami bertemu di kereta dalam sebuah perjalanan. Kala itu aku tak begitu senang dengan perjalanan. Rasa-rasanya aku ingin menetap saja tak ke mana- mana. Lalu ia hadir. Ia menamai dirinya dengan nama Kelana. Ia mengajakku untuk berpindah kota secara acak. Tanpa bertukar asal, tanpa peduli tujuan yang sebenarnya. Tanpa punya tujuan lebih tepatnya.

Sekitar satu bulan yang lalu ia hadir lagi. Dengan nama Kyano. Pekerjaannya adalah memperbaiki ingatan orang lain. Ia memiliki mantan kekasih bernama Layung. Waktunya terjebak di jam tangan analognya. Pukul 9:12, 12:12, dan 04:04. Tiga jam tangannya mati di tiga waktu tersebut. Cuma aku yang memperhatikan hal itu. Katanya, cuma jam tangan itu yang membuatnya selalu ingat akan mantan kekasihnya. Dan cuma aku yang mampu mengingatkannya dengan mantan kekasihnya.

Belakangan aku tak tahu harus ke mana. Tak tahu harus ke stasiun mana. Terminal juga jauh. Ingin naik kapal, tapi aku tak tahu pelabuhan mana yang harus aku tuju. Aku seperti hilang arah. Pemuda itu datang lagi. Kali ini duduk di sebelah kananku. 

"Tidak pulang?" Tanyanya tiba-tiba. 

Aku menggeleng. "Aku tak punya rumah."

"Apakah pulang harus ke rumah?"

Tentu saja tidak. Aku menggeleng lagi. "Namaku Muara. Aku biasa pulang ke lautan. Tapi kali ini aku tak tahu harus ke mana."

"Aku Kian, dan aku punya tenda. Kalau lelah, istirahatlah. Jangan menyerah. Tapi tendaku cuma satu."

"Kita harus bergantian terjaga. Tak apa?"

"Tak apa. Di sini tak ada naga, kau tahu itu. Malam akan selalu panjang. Kita tak akan pernah bisa membunuh malam dan menjadikan hari selalu siang."

"Kita harus buat perapian. Yang terjaga harus menjaga api agar tetap menyala. Bukankah begitu?"

Ia mengangguk. "Yang terjaga harus menjaga. Begitu kesepakatannya?"

"Tepat. Sebab hidup adalah belantara."

Kurasa hari akan menjadi malam. Seperti puisi Chairil Anwar. Aku dan Kian bergantian terjaga. Tak ada percakapan lain selain tentang kayu kering yang harus dibakar agar perapian tetap menyala atau informasi tentang binatang buas yang kita curigai sedang mengintai.

Entah sampai kapan aku harus tidur di tenda Kian dan membuatnya tak dapat melanjutkan perjalanan.

Tuesday, November 21, 2017

Payung dan Vitamin C

Surabaya sudah basah. Apa kota tempatmu merantau sudah? Kuharap belum. Sebab jika sudah, kuharap kau dalam kesehatan baik. Cuaca sedang tak menenetu. Kadang terik luar biasa, kadang dingin dan basah. Jaga kesehatan. Aku tidak bisa membuatkanmu sup ayam ekstra merica komplit dengan ceker beserta omelet kentang sebagai pengganti perkedel, lalu membelikan Angsle Biliton kesukaanmu.

Surat ini datang ditemani sebuah payung. Sengaja aku memilih yang kecil agar hanya muat untukmu seorang. Sengaja pula aku memilih yang transparan agar kau dapat memandang langit mendung lantas menitipkan pesan kepadanya. Jika hujan datang terlampau deras, rayakanlah dengan suka cita. Jika hujan datang rintik, lindungi kepalamu. Jangan sampai esok pusing datang dan akhirnya flu menyerang. Maka, bawalah selalu payung ini ke manapun kau pergi. 

Tetap ingat, setelah sampai di kontrakan, langsung bilas seluruh tubuhmu dengan air. Air hangat atau tidak, tak jadi masalah. Aku tahu kau tak akan sempat ―bahkan malas― untuk merebus air. 

Selain payung, juga ada sebotol vitamin C yang berisi 30 kapsul untuk sebulan. Minumlah setiap pagi selesai sarapan. Kau juga harus menjaga stamina. Ingat, aku tidak bisa membuatkanmu sup ayam ekstra merica komplit dengan ceker beserta omelet kentang sebagai pengganti perkedel, lalu membelikan Angsle Biliton kesukaanmu.

Aku tak akan menyuruhmu untuk mengatur pola istirahat, makan, dan olah raga. Selain karena kau tak suka diatur, kau lebih mahir mengatur gaya hidupmu daripada aku. Namun kau sering lalai perkara kecil seperti payung dan vitamin C.

Oh ya, tempo hari aku terjatuh dari sepeda motor. Terpleset lebih tepatnya. Jalanan licin, dan rodanya selip. Hati-hati ketika berkendara dengan kawan atau naik ojek. Ingatkan mereka untuk berkendara pelan-pelan saja. Kau selalu masih punya waktu yang banyak untuk tidak terlambat. 

Jangan lupa juga untuk memakai alas kaki yang anti selip. Jatuh terpleset itu tak enak. Ototmu baru terasa nyeri keesokan harinya. Tak ada yang mengurut kakimu yang terkilir dengan minyak gondopuro dan membuatkanmu teh jahe dengan madu. Maka, selalu berhati-hatilah.

Kalau kekasihmu menanyakan perihal payung dan vitamin C, jawab saja dapat dari menang lotre. Ah, kekasihmu pasti tak tahu kalau kau suka dengan lotre. Apalagi taruhan. Apalagi taruhan dengan hidup.





Yang selalu menyayangimu.

Kakakmu.

Thursday, November 16, 2017

Pesan yang Harusnya Aku Kirimkan ke (Seorang) Kawan


I’ve lost my muse. I can’t write. Is it a writer’s block? Oh, I am not a writer.

Seminggu belakangan, saya tidak bersama Galang. Kamu boleh gembira atau bahagia. Harusnya saya pun. Tapi ternyata, tidak bersama Galang membuat saya tak bisa menulis. He is my muse, my sanity. Narasi yang biasanya mengalir begitu lancarnya di kepala tiba-tiba tersumbat. Diksi-diksi yang biasanya hadir bak kejutan ketika menulis tiba-tiba tak bisa dihubungi. Imaji dan diskripsi yang biasanya saling kejar berdua tiba-tiba bersembunyi entah di mana.

Kamu boleh protes, “Nah, bukankah kamu sedang menulis?” Iya, saya sedang menulis untuk menyampaikan pesan kepadamu. Butuh waktu setidaknya setengah jam untuk menulis satu paragraf di atas. 

Saya sedang menulis cerpen. Storyline, karakter, dan plot; semuanya sudah diracik. Tapi saya tak bisa menyelesaikannya. Alih-alih menyelesaikan, menemukan cara untuk memulai saja tak bisa. Cerpen saya sebelumnya yang berjudul Kelanai Juni begitu amat mudah dikerjakan. Saya ingat betul, saya menyelesaikan cerpen tersebut di McD, sendiri, sampai jam tiga pagi. Seperti orang kerasukan: tangan saya tak berhenti menekan tuts keyboard, sambil neleng, dan ngomong sendiri.

Perlu diakui, muse Kelanai Juni bukanlah Galang Adyatarna. Tapi tentu saja dalam peracikannya, diperlukan Acidum Metaforicum yang cukup banyak untuk menyembunyikan kesan lugas dan denotasi.

Mungkinkah saya sedang kehilangan diri saya sendiri? Sebab tiba-tiba saja menari menjadi kegiatan yang tidak begitu menyenangkan, tak seperti sebelum-sebelumnya.

Ah, kalau berbicara tentang kehilangan diri sendiri, sepertinya terlalu jauh dan rumit. Barangkali saya sedang berada di satu fase yang belum saya namai. Karena memaafkan diri sendiri cenderung lebih susah, maka secara tak sadar saya memiilih untuk untuk menyalahkan ketidakhadiran Galang Adyatarna daripada harus menyalahkan diri sendiri.

Saturday, November 11, 2017

Adyatarna

/1/

Nyaris 2922 hari telah mencari dan berperang

2922 hari berperang
Tanpa genderang sejak hari pertama
Tiada menerjang pun menyerang
Hanya bertahan pada tumpuan

Nasib diburu pada undian lotre
Bertaruh kepada takdir
Masa depan tak mampu dihadapi
Bukankah takdir ada yang meminta?

Tak ada hari depan
Selamanya tak ada hari depan


/2/

Adyatarna, Adyatarna
Berantagonis dengan kenyataan
Daging-daging pendosa
Adalah senjata
Bertikai dan menghunus
Merajuk dan menguasai
Selaksa tombak dan irama

Menari, menarilah di atasnya
Menertawakan emosi di persimpangan
Pada senja di tahun ketiga
Sampai neraka terbakar di tengah kota


/3/

Adyatarna, Adyatarna
Akal telah hilang
Ditelan petak-petak khayali
Lantas menerjang kerumunan

Mengabaikan dosa-dosa
Mengacuhkan cermin
Menatap pada diri
Melibatkan bara dan dendam
Menyelamatkan nyawa-nyawa


/4/
Adyatarna, Adyatarna
Pada hari ke 2923 kelak
Tetaplah menyelamatkan kewarasan
Tetaplah memenangkan keangkuhan
Bermetafor dengan semesta
Dan paradox waktu yang jauh

Nestapa tak dilalui
Duka tak dialami


/5/

Adyatarna, Adyatarna
Yang kucari di sela-sela keramaian
Yang kucari di pameran-pameran wajah
Yang kucari pada kecintaan-kecintaan
Yang kucari pada ketiadaan, kesunyian, kekosongan

Adalah engkau
Adyatarna
Adalah aku

Friday, October 6, 2017

Dandelion, Moonlight, and Pudding

Pewangi pakaian dan lotion favoritmu itu sudah berhenti diproduksi. Kini aku tak tahu lagi ke mana harus menemui aroma tentangmu. Padahal aku telah mengunci ingatan tentangmu pada aroma-aroma dan bebunyian yang tak akan lekang. Lantas mengapa aku harus bersedih mengenai pewangi pakaian dan lotion yang berhenti diproduksi? Barangkali memang telah tiba waktunya untuk kita tak lagi terkoneksi.

Aku memiliki keinginan untuk membunuhmu sejak empat tahun yang lalu. Ada bukti otentik berupa tulisan di buku harian yang menyelematkanku tahun itu. Tapi sayangnya, tiap kali aku berusaha untuk membunuhmu, aku seperti hendak membunuh diriku sendiri perlahan-lahan. Aku salah memberikanmu terlalu banyak kuasa terhadapku. Sehingga makin hari kulihat kau makin kuat, dan aku tak sadar dengan diriku sendiri yang makin terkikis. Lantas aku tak mampu membunuhmu.

Perang berkecamuk di dalam diriku. Ternyata aku tak mampu membunuhmu sendirian. Perlahan-lahan aku menemukan diriku sendiri. Aku kini nyaris seperti dirimu. Dengan berbagai watak yang kubuat. Pesan-pesanku kepadamu yang kusampaikan empat tahun yang lalu seolah-olah sampai kepada diriku sendiri hari ini. 

Bagaimana jika nantinya aku sendiri mati, lalu aku berubah menjadi dirimu?

Aku seperti membuat mesin waktu untuk diriku sendiri. Dan ketika aku hendak menghancurkan mesin waktu itu, aku kewalahan karena tak kutemukan kelemahan dari mesin waktu tersebut. Sebab aku telah membuat mesin waktu yang paling sempurna untuk diriku sendiri.

Tak ada yang seperti dirimu. Lantas mengapa aku harus mencari yang seperti dirimu? Bukankah itu kesia-siaan semata? Aku tak pernah berusaha mencari yang seperti dirimu. Aku mencari manusia, bukan kesempurnaan.

Tahun lalu aku tak sadar menjebakmu di usia 27. Maka tahun ini umurmu tetap 27. Tak ada doa-doa dan niatan untuk membunuhmu seperti tahun-tahun sebelumnya. Karena aku tahu hal-hal tentangmu adalah sia-sia.

Selamat ulang tahun, Galang Adyatarna.


Tuesday, September 19, 2017

Menyederhanakan Kerumitan Berpikir

Sudah hampir setengah jam kursor pada layar kupandangi. Dia berkedip dua sampai tiga kali lebih cepat dari mataku. Barangkali sudah tiga atau empat gelas air putih telah kutenggak. Apalagi ketukan telunjukku kepada meja; tak terhitung berapa kecepatannya. Entah tak terhitung berapa kali aku menghapus kata yang kurasa tak perlu diutarakan.

Otakku tak menemukan perumpamaan yang tepat untuk mengutarakan jalan pikirnya. Katanya tak seperti maze. Tapi dia sendiri yang tak mengerti bagaimana dia akan menyampaikan apa maksdunya. 

Sudah 24,5 tahun lebih dua hari aku hidup dengan dia. Dengan otak berantakan ini. Barangkali dia hanya menurut jika dihadapkan oleh soal matematika atau dengan kata-kata. Itulah mengapa aku sering menolak jatuh cinta karena tak jelas bagaimana algoritmanya; yang tak aku mengerti pola paling sederhananya.

Bayangkan saja; ketika badan sudah lelah hendak beristirahat, otakku mengajukan pernyataan tentang wafer introver dan ekstrover. Wafer yang dibungkus satu-satu dan dibungkus dalam kaleng dengan teman-temannya. Dia juga menanyakan, “Pabrik memproduksi wafer introver dulu atau wafer ekstrover dulu?”

Mau tak mau jemariku harus mengutarakannya ke notes dalam ponsel pintarku. Agar si otak tak menuntut banyak pertanyaan dan membuat pernyataan yang tak jelas ke mana juntrungannya.

Kurasa yang kubutuhkan saat ini adalah sepasang mata yang terlihat seperti ingin meniadakan nyawa orang; atau sebuah punggung yang nampak seperti pameran lukisan pemandangan dengan bukit-bukit yang landai; atau jemari yang tak hanya digunakan untuk bermain senar layangan. 

Agar aku tak perlu lagi tiba-tiba mencuci lima celana jeans yang sudah delapan minggu bertengger di gantungan baju; agar aku tak perlu lagi tiba-tiba ke luar rumah membeli selotip kertas ke toko ATK terdekat berjalan kaki; agar aku tak perlu mengendarai sepeda motor ke taman kota hanya untuk merasakan berpindah tempat.

Sebenarnya aku hanya ingin menanyakan suatu hal padamu. Bagaimana jika engkau memiliki kemampuan untuk membuatku merasakan pulang tanpa aku menuntut untuk berkelana lebih dahulu? Bagaimana jika engkau memiliki kemampuan untuk menyederhanakan kerumitan berpikirku?

Aku tak bisa melakukan apa-apa selain menyerah.

Friday, September 1, 2017

Perkara Dua Pihak

Suatu hari aku bertanya kepada bapak bagaimana cara membuat rumah dengan pondasi yang kuat, tembok yang kokoh, dan atap tangguh. Bapak bercerita semuanya. Dari cara memilih semen; teori perbandingan antara semen, pasir, dan air; unsur estetik interior dan eksterior; ventilasi udara; cara menghitung batu-bata; memilih jendela; sampai cara memilih tukang yang tepat.

Setelah mengumpulkan kebutuhan untuk pulang yang cukup, kubuat rumah sesuai instruksi bapak. Kubangun dengan caraku sendiri. 

Suatu pagi di bulan Januari yang cerah, seseorang mengetuk pintu. Aku tak begitu mengingat wajahnya. Yang kuingat hanyalah percakapan kami.

Kutanyakan, "Ya, ada apa?" 

Ia menjawab, "Aku telah lelah berkelana. Aku ingin pulang kepadamu."

Samar-samar kukerutkan keningku. Kutanya lagi, "Mana rumahmu?"

"Tak punya," katanya.

Kutarik napas dalam-dalam sambil masih mengerutkan keningku. Sambil menahan amarah tak terima yang tercekat di kerongkongan, kutanyakan lagi pertanyaan terakhir, "kalau kau tak punya rumah, lalu ke mana aku harus pulang nantinya? Ke mana biasa kau pulang sebelum-sebelumnya?" 

"Kita akan pulang ke sini juga. Sebelumnya aku biasa pulang ke pelukan ibuku."

Dengan amarah yang masih kutahan, kuminta ia untuk kembali lagi esok.

Selepas kepergiannya, kutelepon bapak. "Pak, sepertinya aku butuh pagar. Juga belantara dan segara di depan rumahku."

"Untuk apa, Nak?"

"Untuk menghalau pria yang semena-mena minta pulang kepadaku. Aku bukan ibunya tempat merengek."

"Jangan terlalu keras, Nak."

"Aku juga telah berkelana, Pak. Meski sejatinya aku tak ke mana-mana. Seenak jidat saja ingin pulang kepadaku." Bapak diam. Aku melanjutkan cerita, "Bagiku pulang itu perkara dua pihak, Pak. Entah punya tujuan atau tidak, dirasakannya berdua."

Seperti itulah.

Saturday, August 26, 2017

Sampai Mana?


+
Semalam percakapan kita sampai mana ya, Mas?
-
Sepertinya Ngawi.
+
Yah, kalau Sidoarjo saja bagaimana? Agar seolah-olah kita baru saja bercakap.
-
Kita baru saja bertemu untuk yang kedua kalinya di kursi sebuah kereta setelah pertemuan di ruang tunggu. Kita baru bertukar nama, lalu kau tertidur.
+
Artinya, percakapan kita belum sampai Sidoarjo?
-
Lalu kau bangun di Ngawi.
+
Dengan bahagia!
-
Lalu tiba-tiba kereta sampai Klaten. Kita melewatkan Surakarta.
+
Tak jadi pulang?
-
Tak perlu. Kita mengobrol tak ada habisnya.
+
Mau tak mau kita harus turun di Jogja, kan?
-
Kita ke Jogja berdua tanpa janjian dan tujuan.

Friday, August 25, 2017

Sepuluh Menit Paling Bajingan

“LDR itu bajingan. Jarak itu bajingan. Waktu yang memisahkan pun, juga bajingan.” Ujarku kepada Fajar malam tadi. Ia meneleponku tiba-tiba. Aku yang mendadak rindu, dan ia menyempatkan waktu sepulang bekerja untuk mendengarkan segala cerita dariku. Sampai hampir berganti hari, kami bertukar cerita.

Kami berteman dari SMP, dari tahun 2004. Tadi kami sempat membahasnya. Setelah lulus SMP, kami berteman baik. Lulus SMA pun, kami masih berteman dengan jarak. Kadang tiba-tiba ia meneleponku selama 30 menit dari Pontianak hanya karena ingin meneleponku. Kalimat di atas kusampaikan karena ia sedang menjalani hubungan jarak jauh dengan kekasihnya. Ia di Bali, kekasihnya di Surabaya.

Kalimat itu kulontarkan setelah kami habis membahas perbedaan waktu yang terjadi di Surabaya dan Bali yang begitu konyol dan aneh. Dan aku, terlalu konyol untuk protes mengapa jarak Surabaya-Bali nampak begitu aneh dirasakan. Aku seolah-olah pernah merasakan betapa jauh dan konyolnya waktu yang memisahkan Surabaya-Bali.

Seperti yang kita tahu, Indonesia dibagi menjadi tiga bagian waktu. WIB, WITA, WIT. Surabaya ada di bagian WIB, sedangkan Bali –atau selanjutnya kita sebut Denpasar saja– berada di bagian WITA. Jaraknya cukup satu jam. Tak seperti Surabaya-Sorong. Tapi ada yang aku benci dengan pembagian waktu ini.

Jika dilihat dari pergerakan matahari, Surabaya-Denpasar hanya berjarak 10 menit. Contohnya saja ketika sahur. Denpasar lebih dulu imsyak (ini jelas). Tak perlu memakai patokan waktu WIB-WITA, sepuluh menit kemudian Surabaya imsyak. Tapi jika dilihat dengan memakai waktu WIB-WITA, imsyak Denpasar terjadi pada pukul 5.00 WITA. Sedangkan imsyak Surabaya terjadi pada pukul 4.10 WIB. Ini menyebalkan. Yang harusnya terasa sepuluh menit, malah terlihat berjarak satu jam.

Aku marah-marah protes di telepon seolah-olah pernah merasakannya. Aku pernah merasakannya. Dengan Adyatarna. Ah, anggap saja sudah. Itulah mengapa aku berkata kepadanya bahwa jarak itu bajingan. Bukan karena memisahkan, terlebih karena membuat waktu menjadi konyol dan tidak masuk akal.

Jika nanti memang jarak yang membuat aku –dengan entah siapa nanti– menjadi dekat, semoga logika dapat mematahkannya menjadi hal yang tak konyol dan lumrah.

Jarak dan waktu telah mengelabui kita, Adyatarna. Ah, ataukah pemerintah? Ketika itu ingin rasanya mengubah aturan pembagian waktu WIB dan WITA menjadi waktu kesepakatan kita berdua saja. Tapi tak bisa. Nanti kita terlalu bersepakat dengan banyak hal.


Monday, August 21, 2017

Jogjakarta dan Seorang yang Lain

Jika tulisan sebelumnya saya mengusulkan untuk mendengarkan lagu Adhitia Sofyan yang berjudul Sesuatu di Jogja, kali ini saya juga akan mengusulkan sebuah lagu untuk menemani kalian membaca tulisan yang panjang. Masih dari musisi yang sama dengan judul berbeda. Judul lagunya 8 Tahun. Bisa didengarkan secara online di Spotify dan SoundCloud.

*

Ketika patah hati dengan orang Jogja yang kemarin saya ceritakan, otak saya memiliki kemampuan untuk menyembuhkan hati saya. Ia membuatkan saya seorang teman imajinasi bernama Galang Adyatarna. Galang Adyatarna hadir dengan pelan-pelan menjadi pelarian saya. Selama perasaan saya belum habis kepada orang Jogja satu itu, otak saya membuat fantasi-fantasi indah dan gila bersama Galang Adyatarna.

Sunday, August 20, 2017

Surat Cinta: Tentang Jogjakarta dan Seseorang

Sebelum membaca tulisan ini, izinkan saya untuk mengusulkan sebuah lagu yang didengarkan sebagai pengiring membaca tulisan ini. Sebab tulisan ini ditulis dengan mendengarkan lagu tersebut. Sesuatu di Jogja oleh Ahitia Sofyan. Bisa didengarkan secara online di Spotify, dan SoundCloud. Barangkali tulisan kali ini agak sedikit panjang.

*

Jogja, entah mengapa selalu memiliki kemampuan untuk mengubah. Tempatnya, pun orang-orangnya. Bagi saya, keduanya memiliki peran penting di hidup saya. Jogjakarta, dan orang Jogjakarta. Jogja pernah membantu saya membersihkan residu perasaan kepada seseorang. Dikuras habis oleh orang yang bersangkutan.

Wednesday, August 9, 2017

Adyatarna - 0

(+) Lang, kenyataan itu menakutkan, ya?
(-) Maka itu aku tak nyata, Nyit.

Friday, August 4, 2017

Balasan kepada K

Barangkali, hanya di hadapannya aku tak dapat menahan rindu. Bahkan, jika rinduku harusnya disampaikan untuk orang lain, maka akan kuutarakan kepadanya. Sepertinya, semua rindu hanya menuju untuk ia.

“Aku rindu merayakan ulang tahun berdua.”

“Maret masih lama,” katanya di seberang.

“Tak bisa kah kita rayakan tiap setengah tahun sekali?”

“Bisa tiap hari. Dirayakan bersama orang yang selalu bersyukur akan kehadiran kita di tiap harinya.”

Maret lalu, ia manusia terakhir yang memberikanku ucapan selamat ulang tahun via telepon. Dan aku adalah manusia terakhir yang menemani menghabiskan tanggal istimewanya. Lucunya, meski tanggal ulang tahun kami tidak sama, tahun ini kami sama-sama menghabiskan hari ulang tahun kami dalam sebuah perjalanan menuju Surabaya. Aku di bus, ia di kereta lima hari kemudian. Lalu selang beberapa hari setelahnya, kami meniup lilin di atas kue yang sama. Di sebuah kota yang mempertemukan kami. Surabaya.

Berbicara tentang rindu, tadi malam kami membahasnya. Katanya, kepekatan rindu dapat diukur dari jarak waktu yang mengutarakan. Jika diutarakan tiap hari, maka rindu itu encer. Jika sebulan sekali, rindu itu pekat. Kuiyakan. Tapi ia protes. Malam tadi ia banyak protes.

“Lemah! Main setuju saja? Tak kau sanggah atau protes?”

Terserah. Yang jelas, dini hari tadi kami menghabiskan satu setengah jam mengobrol. Entah kapan terakhir kali kami mengobrol tak ada juntrungnya sampai ia menanyakan, “Kita nih membicarakan apa, sih?”

Aku masih mengingat kalimatnya tiga tahun yang lalu. Kami bertemu di sebuah restoran fast food. Kami memutuskan untuk bertemu setelah sadar kalau lima pertemuan sebelumnya tak pernah sampai lima menit. Selepas pertemuan itu, sebelum berpisah, ia berkata, “Ini kalau diteruskan, bisa sampai subuh.”

Di telinga kami, tak ada yang salah dengan ceracau dan Bahasa Kesepakatan yang-sejatinya-tak-pernah-disepakati. Orang-orang seperti kita. Itu yang selalu ia ucapkan. Padahal aku tak paham seperti apakah kita ini, K?

Tadi malam kami juga bicarakan tentang surat. Yang aku ingat tentang Palembang-Surabaya adalah jarak yang ibu dan bapakku ciptakan untuk bertukar kabar via surat. Lantas ia bercerita kalau ia rindu berkirim surat. Kenapa kita tak berkirim surat saja, K? 

“Di sini tak ada kantor pos. Kan aku di hutan.”

Jika memang jodoh tak hanya untuk pasangan yang akan menikah nantinya, kita ini berjodoh, kan, K? Teman juga jodoh, kan?

Kami telah sepakat tentang hal ini.

Thursday, June 15, 2017

Kepada G

Mau apa? Mau apa lagi? 
Tidak menemukan apa yang kau cari? 
Minta saja sini.

Sunday, June 11, 2017

Tips Agar Tak Mudah Patah Hati

Salah satu orang yang sering melogika hal-hal mengenai perasaan adalah saya. Mulai dari jatuh cinta, patah hati, pola-pola bagaimana seseorang bisa tertarik dengan seseorang yang lainnya, bahkan mencari cara agar tremor pada tangan dapat terkesan normal saat bertemu gebetan. Nah, kali ini saya akan menjelaskan bagaimana caranya agar hatimu tak dipatahkan. Caranya mudah: patahkan sendiri hatimu. Lantas hadapi sakitnya.

Jadi, ketika ia datang hendak mematahkan hatimu, hatimu sudah terlanjur patah. Kamu bisa mencemooh dan menanyakan, “Mau apa kau? Mematahkan hatiku? Sudah patah.” Lalu ia pergi, kecewa karena tak bisa mematahkan hatimu.

Atau kamu sendiri yang menawarkan diri untuk mematahkan hatimu? “Mau apa kau? Mematahkan hatiku? Tak perlu repot-repot. Biar aku saja. Bisa dipatahkan sesuai permintaan. Mau patah jadi berapa? Dua? Tiga? Sepuluh? Atau menjadi bubuk halus? Bisa. Aku saja yang patahkan dan hancurkan. Kau tak perlu repot-repot. Memangnya kau tahu dimana sensor sakit milikku karena patah hati? Tidak, kan? Aku tahu. Maka, kau duduk saja sambil minum kopi atau teh, sembari melihat aku kesakitan karena patah hati. Gratis! Tidak dipungut biaya!”

Mudah, bukan?

Pokoknya, jangan sampai ia mematahkan hatimu. Jika hatimu dipatahkan olehnya, lalu ada beberapa puing-puing hati yang mencuat dan hilang, kamu tak tahu bagaimana cara menemukan dan mengembalikannya kembali seperti semula. Jika kau mematahkannya sendiri, kamu akan tahu kemana arah puing-puing hatimu lari dan kamu dapat memulihkan kembali hatimu.

Jangan sampai terlalu lama patah hati. Sebab, patah hati adalah hal yang paling tak penting di dunia. Menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran dengan sia-sia. Iya, kan?

Apakah saya pernah mematahkan hati saya sendiri? Menggerusnya pun pernah, tanpa ada yang meminta. Jika ada yang meminta mematahkan hati saya jadi dua, saya akan tertawai. Itu mudah sekali. Seperti melipat kertas menjadi dua.

Wednesday, June 7, 2017

Surat Cinta Buat yang Lagi Jauh

Sudah bulan Juni, dan kau sedang jauh. 

I miss you already. Ah, gak seru. Belum apa-apa udah spoiler. Tapi gak apa. Ketimbang kayak surat cinta sebelah yang baru dibaca 2,5 tahun kemudian?


Aku bingung harus memulai dari mana. Tapi ini adalah perasaan yang tiba-tiba saja muncul siang ini. Kau tahu, kan, kalau aku tak pandai menyimpan perasaan lama-lama? Selalu meledak-ledak. Rinduku padamu pun. Terdengar picisan atau klise. Terserah kau memberi kesimpulan seperti apa. Yang penting, aku sudah rindu.

Sementara aku menyusun hal-hal apa saja padamu yang membuatku rindu, biarkan aku mengutarakan hal ini di awal surat. Kalimat yang selalu ingin aku utarakan tapi sayangnya tak tahu kepada siapa: 
Baik-baik di rantau orang. Berbahasalah yang baik. Jangan lupakan bahasa kesepakatan kita. Perpisahan itu pasti, yang tak pasti adalah pertemuan. Tapi, kita sudah melewati masa pertemuan itu, kan? Semoga ada pertemuan-pertemuan selanjutnya yang akan kita temui. Berpisah yang betul tuh, gak pakai perayaan. Aku merayakan perpisahan kita dengan tulisan ini, sebab kau tak ingin berpisah dengan betul denganku, kan?
Sesungguhnya, semenjak awal perpindahanmu ke Pandaan kala itu sudah membuatku resah. Aku membenci jarak. Untungnya cuma jarak geografis, bukan psikologis. Seringkali ada niatan untuk berkunjung ke tempat kosmu untuk sekadar mampir. Membuatmu bahagia karena pertemuan yang tidak direncanakan. Lalu aku menginap, dan esoknya kuajak kau jalan-jalan ke Kebun Raya Purwodadi. Gelar tikar, minum susu hangat kesukaanmu, makan biskuit, baca buku, dan mengobrol tentang macam-macam seperti biasanya. Namun proposalku kepada semesta selalu terhalang dan akhirnya tidak disetujui.

Namun tak lama, kau dipindah ke Madura. Aku amat bahagia ketika tahu jarak kita hanya sebuah jembatan dan perjalanan setengah jam. Kita sering bertemu. Tapi waktu jarang kita habiskan seperti yang biasa kita lakukan: duduk berdua di warung kopi dan membicarakan tentang banyak hal.

Aku rindu pada waktu ketika Surabaya masih memilikimu. Ketika aku mulai mengajakmu ngeskrim di McD, lalu terjadi percakapan absurd kita. Mulai dari masalah agama, negara, politik, seni, musik, film, teori-teori patah hati, science, sampai ke ranah ghibah. Kita selalu menganalisis sikap seseorang berdasarkan latar belakang yang dia miliki dan dari bahasa tubuh yang tak sengaja dia sampaikan.

Aku rindu memesankanmu susu hangat tiap kali kita cangkruk di warkop atau di Mbah Cokro. Aku rindu kita saling merekomendasikan film. Ketika kutanya bagaimana premis dari film yang kau rekomendasikan, kau menceritakan semuanya sampai ending! Dasar Mother of Spoiler!

Percakapan paling ekstrim yang aku ingat adalah sepulang karaoke pukul 2 pagi. Aku menginap di kosmu. 2 AM thoughts with you. Dan pada akhirnya kita baru tidur pukul 7 pagi. Aku lupa apa saja yang kita bicarakan. Tapi ketika itu kita sama-sama saling meladeni 2 AM thoughts masing-masing.

If I were a boy, I would date you.” Kuucapkan kalimat ini berkali-kali. Di tengah-tengah diskusi kita, atau ketika kita sedang duduk berdua, sama-sama membaca. Kau mengangguk mengiyakan. Sayangnya kita sama-sama heterosex yang juga sama-sama jomblo.

Kau stuck sama bibir Tom Hardy, aku stuck sama pundaknya Nicholas Hoult.

We are both hopeless romantic. Sama-sama jomblo sejak kenal (awal kuliah, red), tapi punya pengalaman yang beda. “Dia itu bodo,” kalau kau ketemu cowok yang gak baca buku. Udah bodo, patriarki, masokis pula, ya gak? Ada saja pemuda yang mudah dekat denganmu, namun aku selalu stuck dengan illustrator cakep yang kutemui di Instagram.

Barangkali memang jodohmu bukan pemuda Jawa Timur atau bahkan pemuda Makassar satu itu (ea). Kalau kata Sinikini, “Senyummu masih menawan, cerita cinta masih akan datang.” Semoga di tempat barumu ini kau dapat bertemu dengan orang-orang yang dapat memenuhi hasratmu dalam bentuk apapun. Asmara, atau hanya sekadar teman diskusi kayak aku. Mari saling mendoakan untuk sama-sama saling menemukan.

Pesanku satu lagi : tak perlu minum obat perontok bulu mata agar kau dapat mengira bahwa ada yang merindukanmu. Sebab sudah ada yang merindukanmu. Aku, yang masih heran kok ada yang mau kuajak nontonin senja bahkan purnama meski mendung.

Tak perlu ulang tahun untuk membuat kejutan untukmu. Semoga surat ini tak perlu menempuh perjalanan selama 2,5 tahun untuk kau baca. 

Bonus foto jaman kita masih polos. Belum kenal make up, belum berbahasa sarkastik, belum keseringan ngomong, "Logikanya dipake! Jangan kayak orang jatuh cinta ah!", belum kenal Banda Neira atau Aurora atau Keaton Henson, belum pacaran. 



Love, your favorite G.

Wednesday, April 26, 2017

Jarak


Ada rindu yang meruah. Namun kapasitas rindu yang aku punya tak cukup. Jika sampai seperti ini, rindu memang harus disampaikan. Ditumpahkan di hadapannya, di  samping telinganya, dengan peluk erat, dan bisik lirih, "Aku rindu." Sayangnya, kali ini aku tak dapat menciptakan pertemuan. Jarak terlalu angkuh, dan kami bersikukuh untuk saling jauh.

Tuesday, April 25, 2017

Berlabuh



Jangan pernah meminta seseorang berlabuh kepadamu. Sebab pelabuhan sama seperti terminal, stasiun, bandara, pangkalan ojek sekalipun. Mereka mempertemukan, pun memisahkan.

Singgah


Siang itu kutemukan seseorang tertidur di teras. Kuamati lekat-lekat garis wajah itu. Kelelahan menumpuk di dahi wajahnya yang terlihat tenang. Kelana, doa apa yang ibumu sematkan pada namamu? Sehinga lupa jalan pulang, lupa rumah, tapi kau tak lupa singgah. 

Sunday, April 23, 2017

Perjalanan/Pulang


+
Aku ingin pergi jauh dari kotaku. Barangkali akan jarang pulang.
-
Katamu, Surabaya kota kenangan.
+
Tidak bagiku. Apa yang harus dikenang? Kenangan tentangmu saja tak ada di dalamnya.
-
Aku tak ingin melukai kotamu.
+
Bagaimana jika, aku menemui kepulanganku tiap kali bertolak dari Surabaya? Lalu semua kenangan tentangmu ada di semua kota selain Surabaya. Kau telah melukai semua kota
-
Surabaya tidak.
+
Tapi aku tak suka kota ini. Surabaya bukanlah kepulanganku.
-
Pulang tak selalu ke rumah.
+
Aku tak sedang bicarakan tentang pulang. Kau tak mahir tentang itu.
-
Tapi kalau rumah makan...
+
Mas!
-
Kita. Kita tak mahir tentang hal yang berkaitan dengan pulang. Kau tak pernah merantau.
+
Enam tahun merantau, kau tak pernah rindu rumah.
-
Sudah kau dengarkan lagu-lagu Silampukau?
+
Sudah. Mengapa?
-
Barangkali jika kau merantau, lalu bertemu lagu mereka di telingamu, tiba-tiba kau rindu Surabaya.
+
Kupikir mereka tak cukup kuat untuk membuat aku menjadi manusia yang ingin pulang.
-
Ingatkah, kau pernah merengek sejadi-jadinya untuk memaksaku pulang ke tanah kelahiranku?
+
Tiap malam, tiap percakapan.
-
Masing-masing kita sering membuat perintah secara tak langsung untuk pulang. Pulang ke rumah, ke tanah kelahiran.
+
Bukankah kita sepakat kalau pulang tak selalu ke rumah?
-
Nah! Aku menemui kepulanganku pada perjalanan-perjalanan.
+
Aku menemui kepulanganku ketika bertolak dari Surabaya.
-
Tak bisakah kita pulang berdua?
+
Menemui kepulangan pada perjalanan?
-
Iya.
+
Tapi itu mustahil.
-
Aku tahu.


+, rahamnita

Saturday, April 22, 2017

Menitipkan Ingatan : rahamnalogi

Selangnya mbulet, kayak donat. Stadion ITS, 2 Maret 2017

Sudah lima bulan lebih terhitung dari November 2016 saya bermain kamera analog. Bermain sambil belajar. Katanya, kalau mau belajar fotografi dari nol, mulailah dari memakai kamera analog. Itu salah satu alasan mengapa saya mulai bermain dengan kamera analog, namun itu bukan alasan utama. Alasan utamanya berupa saya tak mampu (menabung secara istiqomah untuk) membeli kamera.

Friday, February 17, 2017

Balaena mysticetus (italic)

04.00, 16 Februari 2017
Beberapa jam yang lalu saya tiba-tiba memutuskan untuk membuat proyek menulis harian kembali. Proyek yang hampir sama sebelumnya bernama FCT. Dibuat sekitar bulan Oktober-November 2012, dan berlangsung selama 26 hari. Tulisan tersebut ada di blog saya yang lama. Ini linknya. Berkali-kali saya memiliki niatan untuk membuat proyek yang sama. Tapi saya ingkar.

Jujur, tidak mudah mendisiplinkan diri untuk menulis setiap hari. Bukan karena kesibukan. Menyisihkan waktu untuk memikirkan satu cerita yang harus diunggah tiap harinya bukan perkara mudah. Ketika dalam pembuatan proyek FCT, pernah satu hari saya tak pernah mendapat ide. Hukumannya saya yang buat. Menjadi hutang di kemudian hari. Esoknya, saya harus menulis dua FCT. Jika tak ada ide juga, hutang bertambah di hari berikutnya. Tapi dengan begitu, otak rasanya harus bekerja ekstra untuk menyajikan apa yang telah dimulai.

Ketika itu teman saya belum banyak. Yang membaca ya hanya itu-itu saja. Saya tak butuh audience. Proyek tersebut murni karena ingin melatih otak dan tulisan. Hasilnya? Ada satu teman yang ingin ikut mendisiplinkan diri untuk membuat satu hari satu tulisan. Meski cuma niat seorang teman, itu membuat saya merasa tak sia-sia untuk memeras otak selama 26 hari.

Sekarang telah banyak beredar proyek-proyek menulis yang menerapkan sistem satu hari satu tulisan, satu minggu satu tulisan, satu minggu satu puisi, begitu seterusnya. Saya tak pernah ikut serta dalam proyek tersebut. Menurut saya, percuma jika tekanan datangnya dari orang lain. Akan lebih menantang jika tekanan berasal dari diri sendiri.

Maka, saya memutuskan untuk membuat proyek sendiri. Sebab hanya saya yang tahu kemampuan yang saya punya. Dengan tantangan yang berasal dari diri sendiri. Bukankah lawan yang berat adalah melawan diri sendiri?

Sekitar awal September, beberapa hari sebelum seseorang berulang tahun, saya berniatan untuk membuat proyek yang sejenis. Isinya adalah tulisan-tulisan saya tentang dia dengan jumlah hari yang sama dengan jumlah umurnya yang akan saya post di blog. Jadi, ketika sampai pada hari ulang tahunnya, dia telah menerima jumlah yang sama dengan umurnya. Namun proyek itu tidak terlaksana karena dia kurang spesial untuk menerima itu semua.

Karena sebentar lagi saya berulang tahun, mengapa tidak membuat proyek yang nyaris sama? Menulis sekian tulisan yang jumlahnya sama dengan umur saya.

Sering terjadi ketika seseorang berulang tahun, ia mendapatkan kejutan, kado, ucapan, dan hal lainnya yang membuatnya merasa spesial. Setelah saya merayakan ulang tahun ke-4, 20 tahun yang lalu, seingat saya hanya ada 3-4 kejutan yang saya terima setelah itu. Maka, kali ini saya yang membuat hadiah untuk teman-teman saya berupa tulisan. Seperti kutipan berikut:
“Hiduplah untuk memberi yang sebanyak-banyaknya, Bukan untuk menerima yang sebanyak-banyaknya.” - Pak Harfan (Laskar Pelangi karya Andrea Hirata)
Daripada mengharapkan suatu hal yang tak pasti, Bagaimana jika kita memberi saja? Maka, proyek ini saya berinama Balaena mysticetus.

Balaena mysticetus. Paus kepala busur. Paus bukan ikan. Ia mamalia air. Saya lupa kapan pertama kali terobsesi dengan binatang satu itu. Yang saya ingat adalah ada hubungannya dengan zodiak saya. Pisces. Ikan. Lalu saya memilih paus. Alasannya karena ia hidup di laut tapi bernapas tidak di laut. Ia bukan ikan, tapi hidup di laut. Saya juga bingung.

Paus kepala busur adalah mamalia air dengan usia hidup paling lama; yaitu 200 tahun. Seperti berdoa untuk diri sendiri agar memiliki umur yang panjang meski umur rata-rata manusia hanya sampai hampir sepertiganya saja; 70 tahun.

Kali ini saya sedikit curang. Mencuri start. Harusnya tulisan pertama akan di-post esok Rabu(22 Februari 2016). Tapi hari ini saya telah memiliki dua bahan tulisan. Tak apa, saya ampuni. Saya sedang berada dalam fase pemulihan setelah merasa kehilangan muse semenjak 2-3 tahun yang lalu. Anggap saja sebagai pemanasan di tengah-tengah deadline pengumpulan draft proposal Tugas Akhir yang jatuh pada hari ini. Sore ini.

Sama seperti proyek sebelumnya, saya tak butuh audience. Bagi saya itu bonus. Namun, selain teman saya yang bertambah banyak, kali ini saya memiliki teman yang agaknya suka dengan tulisan-tulisan saya. Barangkali proyek ini akan menjadi pengobat rindu bagi mereka yang rindu akan tulisan saya.

Sama seperti memotret, tujuan saya menulis adalah untuk membagi apa yang saya lihat, alami, dan pikirkan. Saya berharap, dengan terlaksananya proyek ini, teman-teman pembaca blog saya akan mengerti hal-hal yang menarik menurut sudut pandang saya dan bisa menjadi acuan dalam melihat suatu hal ke depan.

Jadi, tungguin tanggal 22 besok, ya!