Tuesday, October 3, 2023

Untuk Nita si Petualang

Segala ingatan tentang pengalaman pertama apresiasi seni selalu tersimpan rapi di kepala. Aku tak pernah lupa bagaimana pertama kali aku menonton wayang dengan pencahayaan ublik (lentera) dan debog (pohon pisang) di Trenggalek bersama kakek di tempat mbecek (kondangan) dengan berangkat menaiki sepeda kumbang, teater pertama yang kebetulan cukup surealis di Gedung Kesenian Cak Durasim dengan kaos berkerah berwarna merah jambu, dan tentu saja film pertama di bioskop, Petualangan Sherina.

Kala itu tahun 2000 aku masih berusia tujuh tahun, kenaikan kelas 3 SD. Setelah menerima rapor dan mendapatkan hasil yang memuaskan yaitu rangking 1, aku langsung mengutarakan keinginanku: "Nonton Petualangan Sherina sekarang. Pokoknya sekarang. Titik." Bioskop dekat rumah yang menjadi tujuan adalah Mitra 21. Tiketnya masih Rp8.000 dan ngantrinya lamaa banget. Berangkat dari rumah jam 12, bersama bapak, dan kami baru dapat jadwal nonton jam 19. Ketika ditawari untuk pulang dan menunggu di rumah, aku bersikeras menolak. Akhirnya aku dan bapak mengaso di masjid belakang Mitra 21 yang sekarang menjadi satu kawasan Balai Pemuda a.k.a Alun-Alun Surabaya. Sampai hari ini, 23 tahun kemudian, ingatan dan perasaanku hari itu masih tersimpan rapi di kepala.

Sejak kecil, aku lebih suka memilih mainan pistol dan pedang. Setelah menonton Petualangan Sherina, aku jadi semakin suka dengan karakter-karakter cewek pemberani dan perkasa. Xena The Princess Warrior dan Sherina adalah karakter cewek yang aku suka sejak kecil. Petualangan Sherina memberikan efek yang luar biasa di masa kecilku. Aku tak begitu punya kenangan fisik berupa CD atau poster. Tapi di kepalaku ada ingatan yang terus berputar bagaimana inginnya aku menjadi petualang yang pemberani dan kuat. Kalau ke luar kota aku selalu ingin pakai sepatu boots, tas ransel, dan jaket bomber.

Ketika umur bertambah, aku tumbuh dengan benih-benih yang Sherina tinggalkan di filmnya: selalu bertanya, 'Kenapa sih kok...' 'Emang...' 'Kok bisa ya...' Ketika umur bertambah, sebenarnya aku juga tumbuh jadi gadis tomboy yang kadang terobsesi pakai flannel dan kaos oblong. Waktu kuliah, aku suka banget pakai celana jeans belel dan selalu merasakan kesenangan yang meletupp-letup tiap kali ada perjalanan ke luar kota. Ketika menonton sekuelnya, Petualangan Sherina 2, aku seperti diingatkan bahwa aku dulu juga sempat memiliki kepercayaan diri dan keberanian yang cukup besar. Aku pernah menjadi Nita yang tidak meragukan kemampuan dirinya. Tapi sayangnya, aku cukup pengecut untuk jadi petualang. Aku merasa aku tak ke mana-mana dan diam di tempat.

Meski hari ini aku masih menjadi Nita yang keras kepala dan ngeyelan seperti Sherina, tapi aku seperti kehilangan dan merindukan Nita yang percaya diri dan pemberani.

Awalnya aku pikir aku memang tidak pernah ke mana-mana. Aku tak pernah menjelajah panjangnya sungai Kapuas, menaiki tingginya gunung Jaya Wijaya, ke tempat paling asing, ke Banda Neira, mengunjungi suku Baduy, atau bahkan ke luar negeri melihat aurora. Aku tidak pernah merantau, ke luar pulau hanya ke Bali, liburan favorit cuma ke Solo, berkemah di alam juga baru sekali.

Aku sedih. Aku seperti tidak pernah mengajak Nita ke tempat-tempat baru yang asing namun menyenangkan. Ternyata aku cukup pengecut.

Tapi aku punya ingatan yang baik tentang bagaimana ia membawa bekal yang cukup banyak untuk menghadapi hidup. Segala pengalaman hidup yang aku hadapi adalah petualangan bagi Nita. Nita membuat hidup seperti perjalanan ke tempat-tempat.

Nita,

kita telah berpetualang jauh ke rimba raya hidup yang tak pernah kita duga. Kita punya tubuh yang luar biasa; tidak pernah mabok. Tubuh kita mampu bertahan begitu hebatnya di dalam situasi dan keadaan apapun. Naik mobil, bus ekonomi yang penuh sesak dan keringat, kereta ekonomi dengan kursi tegak selama dua belas jam, naik perahu dengan ombak yang rasanya seperti ditimang lalu tertidur. Bahkan, kita tak pernah butuh sandaran leher dan bisa mengatur tubuh untuk bisa tetap tidur di dalam perjalanan.

Kita jago membaca peta. Kita tahu bagaimana cara membaca peta topografi. Kita tahu dan paham mana letak barat, timur, utara, dan selatan. Tapi toh kita pernah juga tersesat tanpa arah dan terpaksa mengubah tujuan; tanpa ada petunjuk berupa bintang utara atau remah roti. Tapi kita selalu menemukan jalan. Kita selalu melihat peristiwa tersesat adalah sebuah petualangan untuk mengenal jalan pintas baru.

Kita pernah tenggelam di tempat paling dalam: Palung Mariana. Rasanya gelap, sepi, sendiri, dan basah. Kita pernah ada di tempat dengan malam paling panjang, penuh badai, dan tanpa matahari. Namun kita tetap saja selalu selamat dan melanjutkan perjalanan selanjutnya.

Kita pernah bertemu dengan satu dua petualang. Petualang pertama bernama Kelana yang kemudian mengubah namanya menjadi Pak Tualang dan ia tak pernah mau pulang ke bait. Satu petualang lain adalah petualang yang cukup lama membersamai malam-malam panjang namun ternyata berbeda tujuan. Ia hendak ke Timur, kita ke Selatan. Kita tawarkan untuk ke Tenggara, namun ia menolak.

Kita pernah ke hutan beton Jakarta yang asing dan membingungkan. Ah, ternyata kita selalu mengaitkan hal-hal yang kita temui ini menjadi tempat petualangan.

Nita,

tubuh kita memang tak pernah banyak menjajaki tempat-tempat. Tapi kita tumbuh dengan membaca, dan ini yang membuat kita berpetualang melewati waktu dan tempat. Kita tumbuh dengan rasa penasaran yang tinggi, dan ini bisa membuat kita terus belajar dan berpetualang menjelajahi dunia meski raga tetap di sini-sini saja. 

Kita memang belum sampai ke puncak hidup. Tapi perjalanan yang berkelok dan sering tersesat tak tahu arah ini adalah petualangan yang tak kalah menyenangkan.

Terima kasih, ya. Aku janji, suatu hari nanti, kita akan pergi ke Indonesia Timur untuk menjadi Panitia Penerbitan Matahari, ke Kabelegi untuk residensi, atau bahkan kita akan ke tempat-tempat yang orang lain tak pernah kunjungi. Barangkali petualang-petualangan selanjutnya akan ditemani oleh petualang lain dengan tujuan yang sama. Suatu hari nanti.

*

Aku dan Nita akan terus tetap berpetualang. Aku akan biarkan ia melihat dunia ini dengan caranya sendiri. Sebab aku telah hidup bersamanya selama 30 tahun. Sampai atau tidak sampai di puncak hidup, kami akan terus berpetualang. Kami tak sabar untuk bertemu dengan hal-hal yang mengejutkan lain dalam hidup.

No comments:

Post a Comment