Aku patah hati. Bukan, tentu saja bukan karena lelaki. Itu
sudah kujauhkan dari hari-hari sebelum ini. Melainkan karena kecintaanku.
Sanggar tempatku menari selama hampir setengah tahun
belakangan ini tutup. Padahal baru saja berdiri lagi lima bulan yang lalu,
setelah bertahun-tahun vakum.
Baru tadi sore aku mengetahuinya dari Hesti, anak dari sang empunya
sanggar. Ingin menangis, rasanya.
Alasan selama ini untukku beristirahat, meninggalkan sejenak
tanggung jawab dan kesibukan, untuk suatu kecintaan yang baru saja hadir dan
dipersilahkan oleh semesta untuk menjalaninya, kini berhenti sejenak.
Untuk beberapa waktu kedepan, aku tak lagi pandangi mata
dari anak-anak kecil ketika menghapal gerakan. Yang begitu menyenangkan dan
membuatku berdecak dan menyesal mengapa aku baru saja menemukan kecintaan ini.
Untuk sementara waktu, aku sedikit bisa untuk melupakan
seorang yang suka berkata, “Perempuan yang menari tu, cantik-cantik.”
Yang patah tumbuh,
yang hilang berganti
Yang hancur lebur akan terobati
Yang sia-sia akan jadi makna
Yang terus berulang suatu saat henti
Yang pernah jatuh ‘kan berdiri lagi
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti
Yang hancur lebur akan terobati
Yang sia-sia akan jadi makna
Yang terus berulang suatu saat henti
Yang pernah jatuh ‘kan berdiri lagi
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti
No comments:
Post a Comment