Monday, April 11, 2016

Ketika Hanya Kami Berdua

Mirip Galang, katanya. Itu yang ia laporkan kepada saya ketika kami berdua duduk memperhatikan orang-orang. Lalu mendapati seorang pria datang dengan setelan kaos abu-abu, jaket merah marun, celana cargo selutut, tas merah butut dengan buku gambar yang mencuat di salah satu sisinya.

Saya tak tahu Galang itu lelaki yang mana.

Yang kurus, tinggi, jangkung, rambut lurusnya ––yang jarang dipotong dan disisir–– selalu menutupi setengah telinga dan tengkuknya. Pundaknya nraju mas. Matanya kecil tapi tidak sipit, sedikit cekung. Begitu katanya.

Saya tetap tak mengerti.

Dia suka menulis. Amat suka. Yang dibuatnya pertama kali adalah karakter lelaki. Dan itu selalu sama. Kurus, tinggi, rambutnya mencuat kemana-mana. Seperti yang ia katakan tadi. Profesinya selalu nyaris sama : berhubungan dengan gambar-menggambar. Illustrator, arsitek, desainer, atau perupa lainnya. Pendiam, temannya tak banyak, nyaris anti sosial, dan satu lagi : bermusuhan dengan bapaknya.

“Galang itu masterpiece-ku!”

Patokan karakter?

“Iya!”

Mirip dia semua?

“Iya. Nyaris.”

Sama saja, ah!

“Beda! Sebentar, kamu tak biasanya banyak bicara.”

Apa kalimatnya panjang?

“....”

Apa kita baru kenal kemarin?

“Kamu ini selalu. Kalau bikin pernyataan selalu pakai pertanyaan.”

Aku ini bikinan siapa?


“Sudahlah, Galang Adyatarna! Kamu diam saja di otakku. Tak usah banyak tanya dan protes.” Ujarnya seperti membentak dan nyaris marah. Tak lama, umpatan Suroboyo-annya akan keluar. Taruhan?

2 comments:

  1. Suka...

    saya sangat suka tulisan kamu.
    Lugas, penuh esensi, ke-kinian.
    saya mohon Mohon ijin menyimak dan membaca kelanjutannya kisanak.

    ReplyDelete