Sebuah memori usang tiba-tiba berputar di kepala. Aku pikir aku telah menyimpannya rapi dan tiada yang bisa memutarnya kembali. Aku pikir aku telah menyelesaikannya hingga tandas, hingga tak perlulah ia bermain lagi. Namun ternyata tidak. Ia kini berputar di tempat-tempat yang bukan seharusnya.
Barangkali karena belum sebulan ini aku singgah di kota kelahirannya dan tempatnya bersekolah tinggi—dua tempat yang selalu ia banggakan. Bahkan ketika bermalam di salah satunya, ia berputar lagi di dalam mimpi seperti tujuh tahun silam.
Barangkali juga ia sedang memberitakan padaku kalau ia telah sampai pada cita-citanya dahulu kepadaku: menjadi poros tumpu imaji dalam karyaku. Sebab belum ada lagi manusia yang dapat aku gubah menjadi fiksi-fiksi dan sajak kecuali ia.
Barangkali aku rindu berpikir. Sebab menaruh perasaan padanya sama artinya harus memasok pengetahuan dan mengaktifkan seluruh kerja otak agar percakapan terus bisa bergulir.
Aku memang sedang rindu menulis. Barangkali ini sebuah pertanda untuk bisa lebih rapi lagi mengarsipkan memori usang tentangnya sekaligus mewujudkan cita citanya untuk menjadi poros tumpu imaji dalam karyaku.
Agar ia tak perlu lagi berputar tiba-tiba di tempat-tempat yang harusnya menjadi memori baru. Agar aku tetap sadar bahwa ia adalah memori usang yang tidak perlu berputar kembali jika tidak diputar. Agar aku tetap bisa menulis—meski harus tentangnya.