Pemuda itu datang lagi. Aku tak tahu pasti siapa ia. Asal usul, sifat, dari mana ia berasal, dan segala hal-hal remeh lainnya. Ia datang berkali-kali seolah tak pernah berkenalan denganku sebelumnya. Ia datang berkali-kali dengan karakter dan nama yang berbeda.
Yang jelas, pakaian yang membalut tubuhnya yang kurus dan tinggi selalu sama: kaos oblong berwarna abu-abu, flannel coklat, celana jeans biru gelap sedikit belel, sneakers Converse High berwarna hitam yang sedikit buluk, tas ransel besar seperti karung berbahan kanvas tebal berwarna khaki, kacamata dengan bingkai tipis yang selalu digantungkan di leher kaosnya. Rambutnya juga selalu sama: lebat, hitam, legam, berpotongan shaggy, berantakan, menutupi setengah telinga dan tengkuknya. Aku tak begitu mengenal matanya. Barangkali karena terlalu dalam dan teduh.
Beberapa bulan yang lalu kami bertemu di kereta dalam sebuah perjalanan. Kala itu aku tak begitu senang dengan perjalanan. Rasa-rasanya aku ingin menetap saja tak ke mana- mana. Lalu ia hadir. Ia menamai dirinya dengan nama Kelana. Ia mengajakku untuk berpindah kota secara acak. Tanpa bertukar asal, tanpa peduli tujuan yang sebenarnya. Tanpa punya tujuan lebih tepatnya.
Sekitar satu bulan yang lalu ia hadir lagi. Dengan nama Kyano. Pekerjaannya adalah memperbaiki ingatan orang lain. Ia memiliki mantan kekasih bernama Layung. Waktunya terjebak di jam tangan analognya. Pukul 9:12, 12:12, dan 04:04. Tiga jam tangannya mati di tiga waktu tersebut. Cuma aku yang memperhatikan hal itu. Katanya, cuma jam tangan itu yang membuatnya selalu ingat akan mantan kekasihnya. Dan cuma aku yang mampu mengingatkannya dengan mantan kekasihnya.
Belakangan aku tak tahu harus ke mana. Tak tahu harus ke stasiun mana. Terminal juga jauh. Ingin naik kapal, tapi aku tak tahu pelabuhan mana yang harus aku tuju. Aku seperti hilang arah. Pemuda itu datang lagi. Kali ini duduk di sebelah kananku.
"Tidak pulang?" Tanyanya tiba-tiba.
Aku menggeleng. "Aku tak punya rumah."
"Apakah pulang harus ke rumah?"
Tentu saja tidak. Aku menggeleng lagi. "Namaku Muara. Aku biasa pulang ke lautan. Tapi kali ini aku tak tahu harus ke mana."
"Aku Kian, dan aku punya tenda. Kalau lelah, istirahatlah. Jangan menyerah. Tapi tendaku cuma satu."
"Kita harus bergantian terjaga. Tak apa?"
"Tak apa. Di sini tak ada naga, kau tahu itu. Malam akan selalu panjang. Kita tak akan pernah bisa membunuh malam dan menjadikan hari selalu siang."
"Kita harus buat perapian. Yang terjaga harus menjaga api agar tetap menyala. Bukankah begitu?"
Ia mengangguk. "Yang terjaga harus menjaga. Begitu kesepakatannya?"
"Tepat. Sebab hidup adalah belantara."
Kurasa hari akan menjadi malam. Seperti puisi Chairil Anwar. Aku dan Kian bergantian terjaga. Tak ada percakapan lain selain tentang kayu kering yang harus dibakar agar perapian tetap menyala atau informasi tentang binatang buas yang kita curigai sedang mengintai.
Entah sampai kapan aku harus tidur di tenda Kian dan membuatnya tak dapat melanjutkan perjalanan.
No comments:
Post a Comment