Thursday, December 28, 2017

Pengalaman Membaca dan Buku

Sudah lama sebenarnya saya memiliki keinginan untuk berbagi cerita tentang pengalaman membaca saya. Entah mengapa, saya amat suka bercerita tentang hal tersebut. Saya selalu menanyakan ke lawan bicara saya (yang suka baca) tentang pengalaman membaca mereka. Menurut saya, itu menarik. Alasan lainnya sih karena saya juga ingin bercerita tentang pengalaman membaca saya.

*

Tadi sore ketika saya membaca buku di sebelah ibu yang sedang mengupas bawang merah, saya iseng bertanya, "Kenapa dulu aku sering diajak ke Gramedia?"

Perlu diketahui, 20-25 tahun yang lalu, Gramedia adalah sebuah toko buku yang beberapa bukunya sengaja tidak disegel untuk dibaca. Seingat saya, lantai bagian anak-anak dilapisi karpet warna biru agar anak-anak bisa nyeker dan duduk bersila sambil membaca buku.

"Dulu bapak suka ninggalin kamu di Gramedia sendirian lalu dijemput beberapa jam kemudian." Tentu saja saya kaget mendengar jawaban ibu. Meskipun sudah diikuti penjelasan ketika itu sudah kelas 1 SD, tetap saja ninggalin anak di toko buku sendirian secara sengaja itu terdengar aneh. Ibu juga menjelaskan kalau tujuan saya sering 'ditinggal' adalah agar bisa lancar membaca.

"Kamu dulu umur tiga tahun udah bisa baca. Makanya kamu bisa masuk SD umur 5 tahun," tambah ibu. Saya menelan ludah. Kaget. Tidak percaya dengan pernyataan ibu. 

Saya ingat betul ujian membaca dan menulis yang saya lalui ketika akan masuk SD karena umur saya yang kurang. Saya juga ingat betul kalau saya dulu suka membaca teks yang berkeliaran di jalan (meski masih dieja sih). Tapi untuk kemampuan membaca di umur saya yang masih tiga tahun, saya masih tidak percaya. Baiklah, mari disederhanakan saja. Ketika umur tiga tahun, saya sudah bisa mengeja atau mengenal huruf saja.

Setelah masuk bangku SD, ibu dan bapak tak pernah membelikan saya buku cerita. Bagi mereka, membacanya di toko buku saja sudah cukup. Ditambah lagi iming-iming mereka ketika mengajak saya ke rumah saudara. "Nanti di rumah Mas Agus banyak komiknya" "Nanti kamu bisa pinjam bukunya Dek Nia" dan semacamnya. Kalau sudah diberi iming-iming seperti itu, saya gak bisa menolak untuk diajak berangkat ke rumah saudara. Kalau saya rewel di rumah saudara, saya juga ingat ibu sering bilang ke saya, "Coba tanya Pakde punya buku cerita apa." Dan setelah saya mendapat buku untuk dibaca, saya gak mau pulang sebelum bacaan saya selesai. 

Beranjak SMP, saya mulai tergoda dengan keberadaan perpustakaan. Bapak menemani saya untuk mencari Perpus Daerah yang notabene dekat rumah. Sampai di sana, ternyata perpustakaannya sudah tutup. Hari itu juga bapak mencarikan jurusan bemo yang bisa mengantarkan saya rumah-Pusda dan Pusda-rumah. Agar saya bisa berangkat dan pulang sendiri.

Hanya satu sampai dua kali bapak mengantar dan menjemput. Setelah itu, pada hari Sabtu dan Minggu bapak cuma mengantar tanpa bertanya jam berapa pulang, dan menjemput ketika tak kunjung mendapat bemo. Selain hari Sabtu dan Minggu, saya berangkat dan pulang sendiri. Sejak hari itu, setidaknya setiap dua minggu sekali saya berkunjung ke perpustakaan dan selalu pulang membawa dua buku pinjaman. Kalau libur sekolah datang, saya tak pernah membawa buku. Saya membacanya di sana. Datang ketika baru buka, pulang ketika akan tutup, dan ibu tak pernah mengomel.

Ketika di perpustakaan, tempat baca favorit saya adalah di dekat rak. Setelah dapat buku yang menarik, saya duduk bersila di menghadap rak. Karena petugas tak pernah menegur, dan tak ada rambu larangan, maka saya sering menghabiskan setengah buku dengan posisi seperti itu. Posisi favorit ke dua adalah meja yang memiliki sekat antar pembacanya. Saya tak tahu apa itu namanya. Kalian pasti tahu lah maksud saya.

Masuk SMK, saya sudah mulai jarang berkunjung ke Perpusda. Hari Sabtu dan Minggu saya habiskan di rumah untuk beristirahat. Tapi ketika UAS dan bisa pulang cepat, saya memilih oper bemo 2 kali untuk sampai ke perpustakaan daripada harus ikut teman-teman jalan-jalan ke Royal Plaza.

Meski waktu sekolah saya sangat padat (Senin-Jumat apel jam 06.30, pulang 17.30, baru sampai rumah 19.00), saya bisa curi-curi waktu membaca. Di kelas, di bemo perjalanan pulang, nunggu bapak jemput, ketika jam kosong, di kamar sampai jam dua pagi, atau bahkan ketika dibonceng. Harry Potter adalah prestasi terbesar saya. Saya membaca ketujuh serinya ketika duduk di bangu SMK. Buku kelimanya (yang notabene 1200 halaman) bisa saya baca dalam hitungan hari. Barangkali masa SMK saya tidak akan selamat kalau tak ada perpustakaan dan buku.

Sewaktu SMK, uang jajan saya cuma bisa untuk beli buku bekas. Dan entah kenapa, sejak SMP saya terobsesi dengan series Animorphs. Ditambah lagi buku-bukunya termasuk langka. Saya seperti sedang dalam misi mengoleksi series tersebut. Di tahun terakhir saya SMK, saya mampu membeli sebuah buku dari hasil uang lebaran. Itu adalah buku baru pertama yang saya beli. Sedihnya, ketika buku tersebut dibuat giliran di kelas, dia hilang.

Lulus SMK, saya bekerja. Selama bekerja, saya balas dendam. Karena tak pernah dibelikan buku dan tak pernah mampu membeli buku baru, Tiap kali gajian, yang ada di pikiran saya cuma buku. Setidaknya ada 1-2 buku yang saya beli dalam satu bulan. Satu tahun bekerja, saya sudah dibuat bingung untuk menyembunyikan buku-buku saya. Bukannya ibu mengutuk buku. Tapi menurut ibu, alangkah baiknya jika uangnya dialokasikan untuk tabungan.

Selama bekerja, saya juga masih sering berkunjung ke Perpusda. Meski tak sesering ketika sekolah, setidaknya saya bisa membawa buku ketika dalam perjalanan menuju tempat bekerja.

Masuk kuliah, saya tidak bekerja. Uang jajan saya juga tak banyak. Maka sebisa mungkin saya harus cari uang dengan berjualan. Tiap kali dapat untung, yang pertama kali saya pikirkan adalah buku. Tiba-tiba rak saya penuh, tapi lemari baju tidak berubah. Ibu ngomel. Daripada uangnya dibuat beli buku terus, mending dibuat beli baju.

Sampai hari ini, entah sudah berapa buku yang saya beli dan habiskan. Tapi yang pasti, tiap kali selesai membaca sebuah buku, saya selalu merasa bodoh dan kurang pengetahuan. 

No comments:

Post a Comment