Belakangan ini sering mikir; kalau dunia ini panggung sandiwara, maka masing-masing kita adalah pemeran dan orang lain penontonnya. Masing-masing kita menari, bermonolog, berakting, dan bercerita dengan disorot lampu. Penonton bisa melihat kita, kita tak bisa melihat mereka. Apalagi tak ada lampu yang menyorot kursi penonton. Artinya, hidupmu adalah panggungmu.
Meski di awal pertunjukan sudah kita bagikan panduan, mereka bisa saja tidak membacanya dan membiarkan interpretasi-ekspektasi bergelut di kepala mereka sendiri. Interpretasi dan ekspektasi pada penonton akan bergantung pada intelegensia dan pengalaman yang mereka miliki. Kita tak punya banyak andil di sektor itu. Ingat, batasan penyaji hanya sampai di tepi panggung.
Jadi, jika penonton memutuskan untuk keluar karena bosan atau tidak paham; biarkan. Bahasan-bahasan tentang pertujukanmu biarkan ada di luar arena panggungmu. Apalagi jika argumen-argumen itu muncul dari mereka yang tidak menonton sampai akhir. Tahu apa mereka? Anggap saja mereka tak miliki intelegensia dan pengalaman yang cukup untuk menikmati kita sampai akhir pertunjukan.
Nanti, jika pertunjukan telah usai dan lampu gedung telah menyala, lihatlah siapa-siapa yang masih duduk dan bertepuk tangan. Bukankah mereka adalah orang-orang yang tak kau minta untuk tinggal? Bukankah mereka adalah orang-orang yang percaya padamu?
No comments:
Post a Comment