Badai telah datang tanpa ramalan cuaca. Ia menyelinap pada malam-malam panjang, menggandakan waktu, dan memperbanyak lelah. Ia mencekik napas, membunuh kupu-kupu, menambah beban bahu, menyekat tukar bicara, mendatangkan adrenalin, dan luluh lantak lain yang tak bisa aku perhitungkan lagi.
Dadaku pengap, ia seperti dijejali banyak dendam, amarah, dan utang. Padahal aku yakin isinya hanya beliung, guruh, dan tsunami. Kupu-kupu yang baru diternak juga harus terbunuh karena luapan asam lambung yang melimpah. Adrenalin juga suka berpacu hebat menabuh genderang.
Bagiku, setiap hari adalah peperangan menghadapi badai. Prajurit dan ksatriaku tak cukup daya untuk melawannya. Persenjataan kami tidak cukup. Kami hanya memiliki kemampuan untuk menerima serangan badai dari segala penjuru. Nanti, kami akan olah serangan itu sebagai pasokan senjata. Sekarang, sebagai panglima perang, siasatku cuma satu: bertahan.
*
Enam minggu belakangan, hidup terasa seperti berhadapan dengan badai setiap hari. Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi kepadaku. Yang jelas, aku sedang tidak baik-baik saja. Selama tiga minggu pertama, aku merasa melewati hari-hari begitu berat. Hari Rabu terasa hari Jumat. Tidur malamku serasa telah habis sehari. Seminggu berjalan seperti terasa dua minggu.
Tiga minggu pertama, aku sudah merasa aku sedang tidak baik-baik saja. Empat permasalahan hidup sedang menyerangku secara bersamaan: karir, asmara, aktualisasi diri, dan sosial. Di pertengahan minggu, hari Rabu, aku mendadak seperti mendapat serangan panik: jantung deg-degan, panik, dan pusing. Tanpa pikir panjang, aku memutuskan untuk pergi ke psikolog dan kami menyepakati jadwal bertemu di akhir minggu depan, minggu keempat.
Perjalanan menuju minggu keempat sama sekali tidak mudah. Badan terasa babak belur semua. Jantung mudah berdebar setiap hari, panik, pusing, mual, asma kambuh, napas mudah ngos-ngosan, dan segala macam serangan di tubuh. Sampai rasa-rasanya seperti lumpuh, tidak bisa berfungsi seperti sedia kala. Aku tidak sabar untuk segera pergi ke psikolog.
Ketika konseling, aku menceritakan apa yang aku alami selama 4 minggu belakangan. Di depan psikolog, aku menunjukkan peta pikiran yang aku buat seminggu sebelumnya yang isinya adalah empat masalah hidup yang datang bersamaan. Aku juga menceritakan kondisi badan yang tidak seperti biasanya.
Untuk menyelseaikan masalah aktualisasi diri, aku diajak untuk bertemu dengan aku 12 tahun yang lalu; sebuah pertemuan yang selalu aku hindari. Aku ditolong oleh psikolog untuk bertemu dan berdamai dengan dia. Kini aku menjadi sahabat terbaiknya.
Untuk masalah lainnya, psikologku hanya menanyaiku bagaimana cara penyelesaiannya dan aku menjawabnya dengan tegas dan tidak ragu. Katanya, ketika aku menjawab dengan tegas dan tidak ragu, sebenarnya aku sudah tahu solusi dari masalahku. Aku tinggal melakukannya saja.
Psikologku juga berpesan kalau alasan mengapa aku merasa babak belur beberapa minggu belakangan adalah karena aku menolak apa yang aku rasakan dan aku terlalu keras dengan diri sendiri. Katanya seperti minum obat flu tapi menolak efek sampingnya yaitu tidur. Harusnya, ketika merasa lelah, ya istirahat. Ketika Galang hadir, ya diterima. Ketika jatuh cinta, ya benar adanya. Ketika merasa ingin pacaran, ya itu valid. Ketika merasa kemampuanku cuma segitu, ya memang kemampuanku segitu (tentu saja karena masih berproses).
Ketika kita menerima apa yang kita rasakan, segala sesuatunya terasa lebih mudah.
Ohya, tanggapan psikologku: aku melahap materi 2 sesi. Ketika aku mencatat apa yang harus aku lakukan untuk menghadapi badai, beliau bilang, "Ini harusnya saya berikan di sesi kedua. Tapi kamu lakukan ini di sesi pertama. Hebat." Aku tentu saja kaget. Ternyata, aku punya kemampuan dan kemauan untuk pulih dengan caraku sendiri. Kepercayaan diriku tentang kemampuanku menghadapi badai divalidasi olehnya. Tapi tetap saja aku butuh ke psikolog untuk mengarahkanku ke jalan terang.
Sebelum bertemu dengan psikolog, aku melakukan beberapa hal ini untuk membantuku dan membantu psikologku untuk membantuku. Aku bukan professional. Tapi mungkin teman-teman bisa lakukan ini ketika sedang tidak baik-baik saja. Mungkin cara ini bisa berhasil di kamu, bisa juga tidak. Aku hanya membagi apa yang aku lakukan.
1. Buat daftar masalah-masalah. Aku melakukan ini seminggu sebelum pergi ke psikolog. Aku menuliskan hal-hal apa saja yang menghantui pikiranku. Jika itu masalah kerjaan, jabarkan semuanya. Kebetulan aku memiliki empat masalah sekaligus. Aku menjabarkan empat masalah yang aku hadapi. Dari sini akan terlihat ranking masalah.
2. Buat mindmap atau peta pikiran. ini aku juga lakukan sebelum pergi ke psikolog setelah langkah di atas aku lakukan. Aku menghubungkan masalah satu dengan masalah yang lain. Ternyata mereka berhubungan. Dari sini akan kelihatan 'dedengkot' masalahnya ada di mana. Iya, aku pergi ke psikolog dengan membawa dua hal ini seperti melakukan presentasi.
3. Menulis. Apapun. Bebas. Tumpahkan semua. Ini sering aku lakukan untuk masalah-masalah biasa di hidup. Tapi sejak tahu aku tidak baik-baik saja, aku jadi lebih banyak menulis di diary dan di mana pun. Aku keluarkan semuanya.
Setelah pergi ke psikolog, rasanya lebih enteng dan mengerti harus berbuat apa untuk menghadapi badai. Serangan panik, asma kambuh, mual, dan muntah masih menyerangku. Tapi aku mengerti harus berbuat apa: istirahat dan bertanya mauku apa. Galang juga datang membantu. Dari sini aku sadar, ia akan datang bersamaan dengan badai untuk membantu. Ketika kondisi normal, aku bisa hidup tanpa dia. Jika ia tiba-tiba datang, artinya aku sedang tidak baik-baik saja.
Setelah pergi ke psikolog juga, hari Rabuku terasa tetap hari rabu dan dua minggu belakangan terasa begitu ceopat.
Menulis adalah obat paling mujarab. Aku bisa menguraikan segala macam kerumitan di otak lewat menulis. Kurasa, jika tidak menulis, keadaanku akan lebih parah dari ini. Selama seminggu belakangan juga aku lebih sering menulis diary untuk meluapkan sesak di dada. Setelah menulis, dadaku terasa lebih lapang dan plong sehingga tidur malamku terasa lebih nyenyak.
Hari ini adalah minggu keenam aku menerjang badai. Badai telah teratasi 75%. Rasanya tak pernah lebih baik daripada ini. Badai yang tersisa kini adalah 25% dan yang perlu dilakukan adalah menghadapinya.
/rah
No comments:
Post a Comment