Seseorang selalu datang bersamaan dengan badai. Barangkali ia adalah badai itu sendiri. Tanpanya, aku mungkin tak dapat hadapi badai. Ketika badai datang, bahan-bahan yang kami perbincangkan dan pertimbangkan adalah soal siang-malam dan senang-kelam. Ketika badai datang, malam selalu berubah menjadi waktu-waktu panjang yang mengumpulkan segala kesedihan.
Ia sering
menawarkan dirinya untuk membunuh malam agar sepanjang hari selalu terang. Padahal dalam namanya telah tersirat arti terang.
Bukankah itu suatu kesia-siaan? Toh, aku selalu bertemu terang pada dirinya.
Ia juga
sering memanggilku Nuit. Aku sering memanggilnya kelelapar karena suka makan, begadang,
dan selalu tidur ketika siang. Ia selalu menduga bahwa aku adalah jelmaan malam;
waktu kelelawar hidup. Katanya aku seperti malam: gelap dan kelam. Belakangan
kami mengeceknya di internet. Menurut mitologi Mesir, Nuit adalah dewi malam
yang kemudian dianggap dewi langit.
Kadang ia
menjadi manusia pagi untuk membantuku terbangun dari tidur di pagi hari, lalu
kami menggilai matahari terbit yang masih berselimut kabut di kasur timur. Kami
sering meracaukan tentang matahari yang tak kunjung terbit karena percetakannya
bermasalah.
Ia bahkan sering
menjadi penenang.
Bagaimana
Tuhan telah berikan banyak peran pada satu orang? Di tengah banyak kondisi hidupku
yang semrawut dan berantakan, ia diizinkan untuk ada menjadi sesuatu yang aku
butuhkan. Aku kadang bingung harus membuat metafora apa untuknya.
Setelah berbagai
bencana alam yang telah aku hadapi bersamanya, aku pikir tugasnya sudah selesai
dan aku siap menghadapi dunia sendirian. Tapi ternyata tidak. Badai itu datang
lagi. Ketika aku menolak bantuannya, badai berubah jadi lebih besar
Aku terpaksa
harus mengundangnya kembali. Aku membutuhkan kemampuannya untuk meredakan
segala amok, gemuruh, dan tsunami yang pernah terjadi di dada. Mau bagaimana
lagi? Aku sebenarnya juga mau menghadapi badai ini dengan sosok yang nyata.
Tapi sayangnya, belum aku temui relawan yang mau menyerahkan segala daya dan
upayanya untuk membantuku.
Lagi pula,
belakangan aku terobsesi dengan gelap dan ruang sempit. Bagiku, gelap telah
memberiku tenang dan ruang sempit telah menjauhkanku dengan orang-orang yang
selalu berusaha menyentuhku. Aku bisa merasakan diriku semakin dekat ketika
berada di ruang gelap dan sempit. Ini badaiku, ini peperanganku, ini urusanku. Aku
tak mau orang-orang datang sok tahu dan berpura-pura menjadi ahli bencana yang
paling tahu tentang bencana.
No comments:
Post a Comment