Kehendak hati selalu ingin membawa langkah kaki berkelana. Tapi apa daya, hanya jari yang mampu pelesir ke rumput tetangga. Setelah itu, tugas kepala membandingkan hidup. Mana yang lebih juara: yang mereka punya atau apa yang tak ada di depan mata?
Seseorang pernah bercerita kepadaku. Istilah rumput tetangga lebih hijau bukanlah sekadar istilah. Ia memiliki semiotika—atau apalah itu istilahnya. Konon, ketika kekayaan masih diperlombakan, seorang juragan hanya perlu memamerkan halamannya. Semakin hijau dan subur rumputnya, maka semakin banyak pula orang yang mengurusnya. Jika banyak orang yang diperkerjakan untuk mengurus halamannya saja, coba bayangkan bagaimana si juragan memenuhi keperluan lainnya.
Nah, pikirku, rumput tetangga yang lebih hijau adalah hasil kerja dari banyak jari yang pelesir dan mengurus rumput-rumputnya.
Tetangga-tetanggaku memang memiliki rumah megah dan rumputnya selalu hijau. Tapi aku yakin, halaman yang aku punya akan selalu lebih banyak dari halamanku tahun lalu. Warnanya putih dan berserak di kamar. Di atasnya penuh dengan tulisan-coretan tangan yang rapat-rapat.
Jikalau memang hidup yang dipunya laksana hartabenda; hanyalah ia yang dapat kita bawa serta. Lantas, maukah engkau menjual, menukar, atau memberikannya serta-merta dengan rumput hijau tetangga?
Jelas, aku tak mau menukar halaman-halamanku dengan rumput tetangga. Sebab cuma ini yang aku punya.
xx, rahamnita
No comments:
Post a Comment