Sebelum membaca tulisan ini, izinkan saya untuk mengusulkan sebuah lagu yang didengarkan sebagai pengiring membaca tulisan ini. Sebab tulisan ini ditulis dengan mendengarkan lagu tersebut. Sesuatu di Jogja oleh Ahitia Sofyan. Bisa didengarkan secara online di Spotify, dan SoundCloud. Barangkali tulisan kali ini agak sedikit panjang.
*
Jogja, entah mengapa selalu memiliki kemampuan untuk mengubah. Tempatnya, pun orang-orangnya. Bagi saya, keduanya memiliki peran penting di hidup saya. Jogjakarta, dan orang Jogjakarta. Jogja pernah membantu saya membersihkan residu perasaan kepada seseorang. Dikuras habis oleh orang yang bersangkutan.
Orang Bantul satu itu pernah membuat saya jatuh cinta selama setahun, lantas patah hati selama tiga tahun. Sampai saya menulis ini pun, jika teringat apa saja yang telah kami lewati, saya masih tidak menyangka bisa jatuh cinta sejauh itu kepadanya.
Anggap saja ini surat cinta. Sebab saya akan bercerita tentang Jogja dan seseorang. Sepertinya akan menumpahkan sebagian besar dari pengalaman saya tentang dua hal tersebut.
Enam tahun yang lalu saya bertemu dengan seseorang. Orang Jogja, orang Bantul. Ketika itu saya termasuk penganut kepercayaan falling in love with people we can’t have love at the first sight dan witing tresno jalaran saka kulina. Jadi, saya akan jatuh cinta kepada seseorang jika memenuhi dua kepercayaan tersebut.
Pertama kali kami bertemu di sebuah welcome party sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa. Saya tak bisa ceritakan bagaimana perasaan saya ketika itu. Bukan karena saya tak ingin bercerita, melainkan perasaan tersebut tak bisa didefinisi. Pada pertemuan itu, kami bertukar nama, jurusan, dan kota asal. Saya melihat sosok yang diam, tenang, kalem, dan Jogja. Kepercayaan pertama telah terpenuhi.
Esoknya, kami bertemu lagi, tanpa bertukar janji. Seperti sudah direncanakan oleh semesta, kami sama-sama ingat, “Kamu yang kemarin, kan?” Sampai hari ini, saya masih ingat bagaimana cara kami bertemu, jaket yang dipakainya, tas yang dikenakannya, dan ke-Jogja-annya.
Apalagi semesta mengizinkan kami untuk melewati kepercayaan kedua. Kami jadi saling bertemu dan berinteraksi. Tetap saja, bagi saya, lagi-lagi––dan akan tetap selalu––jatuh cinta dengan ke-Jogja-annya.
Dimulai dari paragraf ini, kenangan dan kalimat yang ia lontarkan terputar di kepala. Semuanya.
“Yang tidak baik, jika diteruskan, akan menjadi tidak baik” ujarnya dengan bahasa jawa ketika saya sedang bermasalah dengan teman angkatan. Saya yang semula nyolot, tiba-tiba menurut. Dengan cara bertuturnya yang halus, implisit, dan tak menggurui.
Kami memiliki beberapa kesamaan selera musik. Yang paling membekas adalah Mocca dan Adhitia Sofyan. Saya ingat betul ia menunda berwudu hanya karena saya menulis di balkon dengan mendengarkan lagu Mocca. Ia lantas memilih duduk di sebelah saya, menyanyikan lima sampai tujuh lagu. Saya juga ingat betul kalau ia pernah menyanyikan After The Rain oleh Adhitia Sofyan ketika saya hendak tidur. Sebelumnya, saya mendengarkan lagu itu lewat mp3 dari ponsel saya. Padahal ia sedang mengerjakan tugas dan tetek bengek deadline. Yang paling sering dilakukan adalah ketika gitar ada di tangannya, tiba-tiba ia memetik intro On The Night Like This-nya Mocca, dan tiba-tiba saya menyanyi.
“Kalau pekerja seni bisa disebut seniman, apa sebutan karyawan bisa untuk mereka yang bikin karya?” tanyanya di sebuah perjalanan malam menuju rumah. Ketika itu saya belum bisa naik sepeda motor. Ia sering mengantarkan pulang. Dengan racauan-racauan pada kecepatan 20km/jam.
Ia memahami keanehan, pola pikir, dan imajinasi saya. Bahkan, ia tahu kalimat apa yang biasanya menyangkut di tenggorokan. Ia bisa paham dan mengerti dengan begitu saja. “Iya, aku paham, Jun!”
“Eman, Jun, kamu gak datang ke sini. Karyamu diapresiasi hebat.” SMSnya. Pertengahan Juni 2012. Saya tak bisa langsung terbang ke Purwokerto untuk melihat mukanya yang antusias melihat karya saya diapresiasi.
“Wah, kita sama-sama pakai baju biru donker! Kopelan gitu ya?” Sampai hari ini, baju biru donker tersebut masih saya simpan dan saya pakai.
Malam ketika kakek meninggal. Kala itu hujan. Sebetulnya saya enggan pulang. Tapi rasanya ingin berlindung di belakang punggungmu yang sepertinya berbahasa, “Semuanya akan baik-baik saja.”
Segala hal-hal kecil lainnya yang masih saya ingat: Bahasa tubuhnya ketika saya ajak berpikir, ujung-ujung kukunya, stiker yang menempel di plat motor AB-nya, makan di Tombo Luwe dengan menu Jangan Lodeh dan teh hangat (sayang, tempatnya sudah berubah), bau badannya setelah seharian ngampus belum mandi, caranya berbicara dengan logat Jogja yang masih menempel di lidahnya, dan masih banyak lagi.
4 September 2012, saya lihat ia begitu uring-uringan. Tembakannya digantung. Ia menyatakan perasaan ke gebetannya, tapi digantung. Sampai 19 September 2015, sampai saya bertemu dengannya di Jogja; saya tak bisa tak patah hati. Saya tak bisa jatuh cinta kepada yang bukan ia. Patah hati terhebat saya. Padahal saya cuma jatuh cinta sepihak kepadanya.
Pernah suatu kali teman saya berkata, “Perasaanmu kepadanya dalam sekali ya, Jun?” Saya cuma bisa meringis. Karena sebelumnya saya tak pernah bercerita tentang perasaan saya ke siapapun. Lebih baik saya nikmati sendiri daripada harus pengumuman.
Dari tahun 2012, 2013, tiap kali ke Jogja, saya selalu pamer kepadanya lewat SMS. Pamer kalau saya pulang ke kotanya. Pada tahun 2015, ia mengajak saya untuk melihat Mocca di Jogja. Saya berangkat, dan ternyata residu perasaan saya habis terkuras di belakang punggungnya ketika ia mengantarkan saya dari Terminal Giwangan ke Jakal. Jam lima pagi, ia berangkat dari Bantul. Percakapan kami hanya seputar apa kabar dan hal-hal remeh yang biasa dilakukan oleh dua orang teman yang lama tak berjumpa.
Jogja membuat saya membersihkan residu perasaan kepadanya. Dikuras habis oleh orang yang bersangkutan.
12 September 2016, saya memberanikan diri untuk menyatakan perasaan kepadanya. Saya pernah suka kepadanya. Tanggapannya? Takbir. Allahuakbar, katanya. Ia juga berpesan kepada saya, “Amat susah mendapatkan lelaki yang bisa memahamimu. Tapi bukan berarti tak ada. Tetap semangat, Jun.”
Jogja memang memiliki kemampuan untuk mengubah. Jika bukan Jogja sendiri yang mengubah kita, barangkali orang-orang yang pernah berhubungan dengan Jogja pernah. Orang Jogja itu sendiri, atau orang yang pernah berkuliah di Jogja. Ah, setiap orang pasti pernah bersinggungan dengan Jogja.
Orang Jogja satu itu telah mengubah kepercayaan saya. Yang sebelumnya saya percaya kepada love at the first sight dan witing tresna saka kulino, berubah menjadi falling in love with people we can't have. Hehe.
Pernah suatu waktu saya iseng membaca tulisan saya di blog lama yang menulis tentangnya. Saya tak percaya bisa jatuh cinta sebegitu jauhnya kepadanya. Gila. Jatuh cinta saya telah sampai kepada permohonan kepada Tuhan tentang kebahagiaannya semata, tentang pribadinya yang lebih baik dari hari kemarin. Meski perasaan saya tak pernah dibalas. Tak apa. Asal ia bahagia dengan perempuan yang dipilihnya. Dan sepertinya ia bahagia. Perempuan yang menggantungnya itu, yang saya ceritakan di atas, masih berpacaran dengannya sampai hari ini. Tak ada doa lain selain berakhir di pelaminan.
Sampai hari ini, meski perasaan saya kepadanya sudah habis, meski perasaan saya hanya sepihak, saya belum pernah jatuh cinta lagi. Tetapi saya akan selalu jatuh cinta dengan cara jatuh cinta saya kepadanya.
Jika suatu waktu tulisan ini telah sampai di hadapannya, saya ingin mengucapkan terima kasih. Terima kasih telah ada. Terima kasih telah memberikan kesempatan untuk jatuh cinta dengan lepas. Biarkan ini semua menjadi urusan saya. Saya tak pernah menyesal.
Jika suatu waktu tulisan ini telah sampai di hadapan kekasihnya, saya ingin berpesan satu hal, "Bahagiakan ia, dan saya tahu hanya kamu yang bisa. Dia lelaki yang baik."
Surat cinta ini dibuat hanya karena tiba-tiba saya rindu dengan Jogja. Dan juga sebagai pengingat untuk saya bahwasanya saya pernah jatuh cinta. Sampai sebegitunya.
Tak semua pulang harus ke rumah, tapi kalau ...
Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
No comments:
Post a Comment