Friday, August 25, 2017

Sepuluh Menit Paling Bajingan

“LDR itu bajingan. Jarak itu bajingan. Waktu yang memisahkan pun, juga bajingan.” Ujarku kepada Fajar malam tadi. Ia meneleponku tiba-tiba. Aku yang mendadak rindu, dan ia menyempatkan waktu sepulang bekerja untuk mendengarkan segala cerita dariku. Sampai hampir berganti hari, kami bertukar cerita.

Kami berteman dari SMP, dari tahun 2004. Tadi kami sempat membahasnya. Setelah lulus SMP, kami berteman baik. Lulus SMA pun, kami masih berteman dengan jarak. Kadang tiba-tiba ia meneleponku selama 30 menit dari Pontianak hanya karena ingin meneleponku. Kalimat di atas kusampaikan karena ia sedang menjalani hubungan jarak jauh dengan kekasihnya. Ia di Bali, kekasihnya di Surabaya.

Kalimat itu kulontarkan setelah kami habis membahas perbedaan waktu yang terjadi di Surabaya dan Bali yang begitu konyol dan aneh. Dan aku, terlalu konyol untuk protes mengapa jarak Surabaya-Bali nampak begitu aneh dirasakan. Aku seolah-olah pernah merasakan betapa jauh dan konyolnya waktu yang memisahkan Surabaya-Bali.

Seperti yang kita tahu, Indonesia dibagi menjadi tiga bagian waktu. WIB, WITA, WIT. Surabaya ada di bagian WIB, sedangkan Bali –atau selanjutnya kita sebut Denpasar saja– berada di bagian WITA. Jaraknya cukup satu jam. Tak seperti Surabaya-Sorong. Tapi ada yang aku benci dengan pembagian waktu ini.

Jika dilihat dari pergerakan matahari, Surabaya-Denpasar hanya berjarak 10 menit. Contohnya saja ketika sahur. Denpasar lebih dulu imsyak (ini jelas). Tak perlu memakai patokan waktu WIB-WITA, sepuluh menit kemudian Surabaya imsyak. Tapi jika dilihat dengan memakai waktu WIB-WITA, imsyak Denpasar terjadi pada pukul 5.00 WITA. Sedangkan imsyak Surabaya terjadi pada pukul 4.10 WIB. Ini menyebalkan. Yang harusnya terasa sepuluh menit, malah terlihat berjarak satu jam.

Aku marah-marah protes di telepon seolah-olah pernah merasakannya. Aku pernah merasakannya. Dengan Adyatarna. Ah, anggap saja sudah. Itulah mengapa aku berkata kepadanya bahwa jarak itu bajingan. Bukan karena memisahkan, terlebih karena membuat waktu menjadi konyol dan tidak masuk akal.

Jika nanti memang jarak yang membuat aku –dengan entah siapa nanti– menjadi dekat, semoga logika dapat mematahkannya menjadi hal yang tak konyol dan lumrah.

Jarak dan waktu telah mengelabui kita, Adyatarna. Ah, ataukah pemerintah? Ketika itu ingin rasanya mengubah aturan pembagian waktu WIB dan WITA menjadi waktu kesepakatan kita berdua saja. Tapi tak bisa. Nanti kita terlalu bersepakat dengan banyak hal.


No comments:

Post a Comment