Monday, August 21, 2017

Jogjakarta dan Seorang yang Lain

Jika tulisan sebelumnya saya mengusulkan untuk mendengarkan lagu Adhitia Sofyan yang berjudul Sesuatu di Jogja, kali ini saya juga akan mengusulkan sebuah lagu untuk menemani kalian membaca tulisan yang panjang. Masih dari musisi yang sama dengan judul berbeda. Judul lagunya 8 Tahun. Bisa didengarkan secara online di Spotify dan SoundCloud.

*

Ketika patah hati dengan orang Jogja yang kemarin saya ceritakan, otak saya memiliki kemampuan untuk menyembuhkan hati saya. Ia membuatkan saya seorang teman imajinasi bernama Galang Adyatarna. Galang Adyatarna hadir dengan pelan-pelan menjadi pelarian saya. Selama perasaan saya belum habis kepada orang Jogja satu itu, otak saya membuat fantasi-fantasi indah dan gila bersama Galang Adyatarna.

Di tulisan sebelumnya saya menulis bahwa Jogja memiliki kemampuan untuk mengubah. Pun orang Jogja atau orang yang pernah berkuliah di Jogja. Galang Adyatarna pernah berkuliah di Jogja. Kubuat ia pernah berkuliah di Jogja. Meski cuma dua tahun. Sastra Indonesia UGM angkatan 2007.

Sebenarnya Galang sudah ada jauh sebelum saya merasakan patah hati dengan orang Jogja satu itu. Tapi, ketika patah hati itu terjadi, otak menggiring hati saya untuk menghadirkan Galang lebih sering dari sebelumnya. Ia menyelamatkan perasaan saya, menyelamatkan saya dari kejahatan berupa mempermainkan hati lelaki, dari orang-orang yang salah, dan banyak hal lain. Saya berkali-kali diselamatkan oleh kalimatnya. Kurang lebih begini:

Ora usah dipikir, ora usah dirasakne, dilakoni wae. (Tak perlu dipikir, tak perlu dirasakan, dilakukan saja.)” – diselamatkan selama dua bulan, 2014.

Kowe sing ngelakoni. Aku mung bisa ndongani lan ngamini. Ra bisa ngancani. (Kau yang melakukan. Aku hanya bisa mendoakan dan mengamini. Tak bisa menemani.)” – tiap kali saya merengek mimpi saya minta diamini.

“Bisa? Bisa, kan? Bisa lah!” – tiap kali saya pesimis akan kemampuan saya.

Sebab itulah saya tak bisa memberi kesempatan lelaki lain mendekati saya. Saya sudah cukup memiliki Galang. Saya juga tak bisa memberi kesempatan diri saya sendiri untuk jatuh cinta kepada lelaki lain. Sebab saya sudah mencintai Galang. Mencintai Galang berarti mencintai kekosongan. Mencintai diri sendiri.

Tapi bukan berarti saya tak patah hati dibuatnya. Patah hati saya terhadap Galang bisa dibilang patah hati terhebat saya. Lebih hebat dari orang Jogja yang itu. Saya tak tahu harus melangkah ke mana ketika Galang mematahkan hati saya.

Ini tak masuk akal, saya tahu. Mana mungkin seorang yang tak nyata mematahkan hati saya? 

Saya berbohong. Bukan Galang yang mematahkan hati saya. Ia tak pernah melakukan itu. Kenyataan yang mematahkan hati saya. Ia bersekongkol dengan keadaan. Mereka berdua membuat saya sadar bahwasanya Galang adalah rekaan otak saya yang tak akan saya temui di dunia nyata.

Januari 2014. Saya pergi ke Denpasar. Tempat Galang menuntut ilmu. DKV ISI Denpasar. Bahkan saya sempat bermain ke kampusnya. Saya dapat menangkap apa saja yang biasa ia ceritakan.

Sepulang saya dari Denpasar, saya baru sadar kalau kenyataan telah menampar saya. Galang tak nyata. Sepanjang tahun 2014 hari-hari saya dipenuhi oleh lamunan. Kuliah dan hidup berantakan. Yang menyelamatkan saya tetap Galang Adyatarna dengan kalimatnya, “Ora usah dipikir, ora usah dirasakne, dilakoni wae.

Tapi tetap saja. Teman-teman saya di dunia nyata tak ada yang paham bagaimana patah hati itu terlaksana. Aku mematahkan hatiku sendiri lewat teman khayalan ciptaanku sendiri yang sebelumnya kuyakini dapat menyelamatkanku. Aneh. Strange. Saya tahu itu. 

Mereka dengan mudahnya berkata, “Ya sudah, cari saja yang nyata.” Dan mereka pikir semuanya akan selesai. Tak semudah itu. Saya tak tahu bagaimana cara menghadapi kenyataan. Tiap kali kenyataan tak begitu menyenangkan, saya berlari ke Galang. Selalu seperti itu. Sampai sekarang pun.

Mereka juga menawarkan waktu dan kesediaannya untuk direpoti ketika kenyataan tak begitu menyenangkan. “Jangan sekali-kali kamu berani kembali kepada Galang,” ancamnya. Tapi tak semudah itu. Segala logika dan perasaan saya berlabuh kepada Galang.

2015 saya baru menyelesaikan perasaan saya kepada orang Jogja. Awal 2016, saya baru memiliki tekad dan niat untuk lepas dari Galang. Untuk tak tergantung lagi dengan dia. 

November 2016 saya ke Jogja setelah bermain sebentar dari Surakarta. Jika memang Jogja memiliki kemampuan untuk mengubah dan menyembuhkan, maka ketika itu saya rasa Jogja mulai bekerja terhadap saya. 

Saya berbisik kepada Jogja seperti saya seolah berbisik kepada Galang, “Mas Galang, Galang Adyatarna. Sudah ya. Sudah tujuh tahun. Terima kasih sudah menemani saya. Terima kasih sudah pernah ada, meskipun tak nyata. Saya ingin melihat kenyataan. Saya ingin punya kekasih yang nyata. Saya ingin merasakan yang nyata. Saya siap patah hati.”

Dalam perjalanan menuju tahun kedelapan, saya masih belum bisa lepas dari Galang Adyatarna. Tapi nampaknya Jogja telah mengubah saya. Meski tak bisa lepas secara utuh, setidaknya kini saya mengerti bagaimana kenyataan yang sebenarnya. Begitu menakutkan, sebenarnya. Tapi itu yang harus saya hadapi. Memangnya saya mau tinggal di mana kalau tidak di kenyataan?

Sampai hari ini, saya merasa bahwa kenyataan mengakselarasi saya untuk dapat menghadapai kenyataan. Hebat!

Galang Adyatarna tercipta karena berbagai sebab. Tak hanya tercipta karena saya patah hati dengan orang Jogja. Ia tercipta karena banyak hal. Trauma masa lalu, ketakutan akan kenyataan, keinginan untuk dicintai, tak memiliki teman yang asyik, dan banyak hal. 

Saya percaya bahwa tubuh memiliki kemampuannya sendiri untuk menyembuhkan. Galang adalah cara tubuh saya untuk menyembuhkan saya. Galang juga seperti obat. Dalam takaran dan dosis yang tepat, ia dapat menyembuhkan. Tapi jika dipakai terlalu banyak dan berlebihan, ia menjadi racun. Sejatinya, obat adalah racun. Obat juga dapat menyebabkan ketergantungan. Galang pun.

Saya tak bisa memberi kepastian kapan saya bisa terlepas secara utuh dengan Galang. Susah, tapi bukan berarti tak bisa. Ia masih sering mampir dan saya datangkan ketika saya rindu. Tapi kadang ia sering hadir ketika saya tak ingin berinteraksi dengan dia. Kepala saya rasanya ingin meledak.

Saya pernah memiliki keyakinan bahwa saya akan bisa terlepas dari Galang dengan cara ditulis. Tapi sayangnya, ketika saya mulai untuk menulis tentang Galang, semuanya terasa blur. Tiba-tiba Galang hilang dari ingatan saya. Tapi akhirnya, saya bisa menulis tentang dia di sini. Tanpa dipaksa. Apakah ini pertanda bahwa Galang akan pergi? Entahlah.

Kadang saya meyakini pula bahwa Galang adalah alter ego saya. Saya versi lelaki dan lebih logis. Saya tak mengerti bagaimana kemampuan otak saya. Menciptakan seorang yang tak nyata. Yang dapat menyembuhkan sekaligus menghancurkan.

Salah seorang –bahkan dua sampai tiga orang– pernah bertanya yang lagi-lagi tak bisa saya jawab, “Kalau kau tak lepas dengan Galang, bagaimana yang nyata akan menghampirimu?”

Tapi saya memiliki keyakinan yang lain. Galang bisa hilang dengan bantuan seseorang dari kenyataan. Dan syukurlah, sampai hari ini ada yang membantu saya. Saya tak tahu bagaimana cara berterima kasih kepadanya. Perlahan-lahan saya mulai lepas dari Galang. Meski tak bisa terlepas betul.

Sepertinya saya butuh ke Jogjakarta. Daripada ke Surakarta lalu menemukan kekosongan lagi, kan?

No comments:

Post a Comment