Barangkali, hanya di hadapannya aku tak dapat menahan rindu. Bahkan, jika rinduku harusnya disampaikan untuk orang lain, maka akan kuutarakan kepadanya. Sepertinya, semua rindu hanya menuju untuk ia.
“Aku rindu merayakan ulang tahun berdua.”
“Maret masih lama,” katanya di seberang.
“Tak bisa kah kita rayakan tiap setengah tahun sekali?”
“Bisa tiap hari. Dirayakan bersama orang yang selalu bersyukur akan kehadiran kita di tiap harinya.”
Maret lalu, ia manusia terakhir yang memberikanku ucapan selamat ulang tahun via telepon. Dan aku adalah manusia terakhir yang menemani menghabiskan tanggal istimewanya. Lucunya, meski tanggal ulang tahun kami tidak sama, tahun ini kami sama-sama menghabiskan hari ulang tahun kami dalam sebuah perjalanan menuju Surabaya. Aku di bus, ia di kereta lima hari kemudian. Lalu selang beberapa hari setelahnya, kami meniup lilin di atas kue yang sama. Di sebuah kota yang mempertemukan kami. Surabaya.
Berbicara tentang rindu, tadi malam kami membahasnya. Katanya, kepekatan rindu dapat diukur dari jarak waktu yang mengutarakan. Jika diutarakan tiap hari, maka rindu itu encer. Jika sebulan sekali, rindu itu pekat. Kuiyakan. Tapi ia protes. Malam tadi ia banyak protes.
“Lemah! Main setuju saja? Tak kau sanggah atau protes?”
Terserah. Yang jelas, dini hari tadi kami menghabiskan satu setengah jam mengobrol. Entah kapan terakhir kali kami mengobrol tak ada juntrungnya sampai ia menanyakan, “Kita nih membicarakan apa, sih?”
Aku masih mengingat kalimatnya tiga tahun yang lalu. Kami bertemu di sebuah restoran fast food. Kami memutuskan untuk bertemu setelah sadar kalau lima pertemuan sebelumnya tak pernah sampai lima menit. Selepas pertemuan itu, sebelum berpisah, ia berkata, “Ini kalau diteruskan, bisa sampai subuh.”
Di telinga kami, tak ada yang salah dengan ceracau dan Bahasa Kesepakatan yang-sejatinya-tak-pernah-disepakati. Orang-orang seperti kita. Itu yang selalu ia ucapkan. Padahal aku tak paham seperti apakah kita ini, K?
Tadi malam kami juga bicarakan tentang surat. Yang aku ingat tentang Palembang-Surabaya adalah jarak yang ibu dan bapakku ciptakan untuk bertukar kabar via surat. Lantas ia bercerita kalau ia rindu berkirim surat. Kenapa kita tak berkirim surat saja, K?
“Di sini tak ada kantor pos. Kan aku di hutan.”
Jika memang jodoh tak hanya untuk pasangan yang akan menikah nantinya, kita ini berjodoh, kan, K? Teman juga jodoh, kan?
Kami telah sepakat tentang hal ini.
No comments:
Post a Comment