Selangnya mbulet, kayak donat. Stadion ITS, 2 Maret 2017 |
Sudah lima bulan lebih terhitung dari November 2016 saya bermain kamera analog. Bermain sambil belajar. Katanya, kalau mau belajar fotografi dari nol, mulailah dari memakai kamera analog. Itu salah satu alasan mengapa saya mulai bermain dengan kamera analog, namun itu bukan alasan utama. Alasan utamanya berupa saya tak mampu (menabung secara istiqomah untuk) membeli kamera.
Saya tak tahu pasti kapan pertama kali suka motret. Sepertinya SMA, semenjak mendengar pujian dari teman setelah melihat hasil foto dia di tangan saya. Sebagai sanguin sejati yang demen banget dipuji, saya makin demen pula motret teman. Kala itu masih pakai kamera ponsel. Sebenarnya saya orang yang lumayan fotojenik(kata beberapa teman). Tetapi karena jarang mendapatkan hasil foto yang memuaskan dari jepretan teman, maka saya lebih memilih untuk motoin ketimbang difoto.
Semenjak SMA saya juga sudah mulai terobsesi dengan kamera. Pegang kamera poket digital saja senengnya minta ampun. Saya yang menawarkan diri untuk motret anak-anak sekelas untuk keperluan buku kenangan. Pakai kamera poket digital pinjaman seadanya dengan kemampuan yang juga seadanya.
Masuk kuliah, kesempatan untuk memegang DSLR punya teman semakin besar. Saya masih ingat perasaan takjub pertama kali yang saya rasakan ketika melihat objek melalui view finder. Karena tak mampu membeli kamera, saya belajar dari kamera minjam. Mulai pakai auto, cuma paham ISO, motret pake feeling tapi setting-an manual, cuma paham dua dari segitiga exposure, sampe punya teori bahwa hasil jepretan saya berdasarkan 20% teknik dan 80% feeling atau perasaan.
Lalu datanglah suatu masa ketika saya akan ke Solo belok Yogya. Kepingin moto, tapi gak punya kamera dan enggan pinjam kamera.
Saya dan Fuji MDL-9 milik bapak berjodoh. Tak perlu susah mencari, kami dipertemukan.
Di Surabaya, saya tak menemukan film dengan harga murah. Kodak ColorPlus 200 dijual seharga 100 ribu! Kemahalan, saya berkelana ke Yogya dan mendapatkan satu roll Kodak ColorPlus 200 seharga 55 ribu!
Setelah sebulan perjalanan saya dengan si Kyano (nama compact camera milik bapak), saya sedikit kaget sekaligus bahagia melihat hasil cuci+scan roll pertama. Banyak yang kobong alias terbakar alias leak. Ada cahaya yang masuk dari lubang bodi kamera yang harusnya ditutup. Dan ini salah satu hasil favorit saya:
La La Lamp, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 19 November 2016. |
Kemarin Kamis (20/4), saya baru saja menerima hasil dev+scan
yang saya kirim ke @hipercatlab sebanyak lima roll. Hasil rekam jejak selama
empat bulan di empat kota yang berbeda. Bagus-bagus. Beberapa foto membuat saya
tak percaya bahwa sayalah yang memotretnya. Tapi tak sedikit juga foto yang
gagal. Leak di mana-mana, kepotong, under exposure, kebakar, dan macam-macam.
Ini juga jadi salah satu alasan saya main analog. Hasilnya tidak terduga, dan harus melalui proses cuci+scan yang bikin penasaran kayak gebetan.
Oke skip.
Sebelum hasil dari lima roll terakhir datang ke hadapan saya,
saya sempat terpikir, “Kok rasanya kurang ya cuma upload di Instagram dengan
caption biasa aja? Kalau tiap foto saya kasih cerita kayaknya menantang.”
By the way, saya tidak tahu mengapa saya bisa menyebutkan tanggal saya memotret dua foto di atas. Barangkali memang saya menitipkan ingatan pada foto-foto analog saya.
Saya tidak tahu seperti apa nanti jadinya. Yang jelas, sudah
lama saya menginginkan tulisan di blog saya berdampingan dengan gambar untuk
ilustrasi cerita. Karena saya susah menemukan illustrator yang tepat, dan tidak
memiliki cukup foto untuk disandingkan dengan cerita atau tulisan saya, maka
keinginan itu terabaikan. Kini saya punya stok foto dan stok tulisan di buku catatan.
Semoga mereka berjodoh. Jika ternyata foto saya jodohnya bukan di buku catatan,
maka saya harus mencarikan jodohnya di kepala.
Sudah lama saya tidak menulis. Semoga tantangan baru yang saya bikin untuk diri saya sendiri dapat membuat saya agak produktif sedikit.
×××,
rahamnita
No comments:
Post a Comment