Siang itu kutemukan seseorang tertidur di teras. Kuamati lekat-lekat garis wajah itu. Kelelahan menumpuk di dahi wajahnya yang terlihat tenang. Kelana, doa apa yang ibumu sematkan pada namamu? Sehinga lupa jalan pulang, lupa rumah, tapi kau tak lupa singgah.
Tiga puntung rokok bengkok mati di asbak. Kalau bukan rokok terakhir yang terselip di antara pangkal jari telunjuk dan tengah menyulut jarinya, barangkali ia tak akan terbangun. Lalu ia mengumpat sebelum sadar kalau aku telah berdiri di depan pintu.
“Kenapa tidak mengetuk?” tanyaku.
“Aku cuma singgah,” kalimat itu yang selalu ia lontarkan tiap kali kutemukan tertidur di teras rumah.
“Bagaimana jika aku sedang tidak di rumah?”
“Aku hapal tabiatmu. Anggrek-anggrek kesayanganmu itu akan kau simpan, tidak kau pajang menghadap jalanan kalau kau meninggalkan rumah.”
Serta merta kau masuk setelah membereskan putung rokok yang kau katai bajingan tadi.
“Di luar terik. Mau minum apa?”
“Perlu dipertanyakan?”
“Masih hapal kalau orang rumah tak minum air es, kan?”
“...”
“Kalau mau kopi, gas kompor sedang habis.”
“Kau tak perlu penuhi permintaanku”
“Aku memberikan apa yang kupunyai. Tamu adalah raja.”
“Aku cuma singgah.”
“Sudah kau katakan tadi.”
“Air putih saja. Sudah dingin dengan sikapmu.”
“Mandilah, aku tak suka bau keringatmu.”
“Sementara aku mandi, jangan biarkan es mencair.”
Lalu ia tersenyum. Tapi aku ingat, kalau kau memesan agar tak membiarkan es mencair. Maka kupilih masuk kamar. Menghindari pertanyaan-pertanyaan tidak penting yang membuat ruang tamu mendadak dapat beruah menjadi musim semi.
Lima belas menit. Kukira sudah cukup waktunya kusuguhkan air putih pesanannya.
“Air putih. Kau tahu sendiri bagaimana cara menjaga es tak mudah mencair. Bantulah aku.”
“Kucoba,” jawabnya sambil sibuk menata barang-barangmu tanpa menemui bola mataku yang mengekor mengikuti geraknya.
“Aku berbohong tentang belantara,” ujarnya sambil menempatkan diri untuk duduk. Dapat kurasakan bagaimana ketakutan menghampiri dirinya jika nanti aku tak dapat memberikan maaf. Padahal yang kutakutkan adalah ketika ia tak bisa memaafkan dirinyasendiri. Dengan menunduk, ia melanjutkan kalimatnya, “Aku tak pernah menaklukkan satupun belantara.”
Ia menarik napas panjang, kemudian melanjutkan, “Ternyata selama ini aku selalu terjebak di belantara yang sama. Tiap kali aku masuk,ternyata aku hanya mengitaro tepiannya saja. Jantung belantara amat mudah berpindah tanpa pengumuman.”
Matanya mendadak menyorot mataku. Dalam. “Pulang, aku tak pernah mengenalmu,”
Es mencair. “Singgahlah, jika aku enggan kau kenali. Aku bukan belantara. Pengelana tak mengenal pulang.”
Ia menenggak air putihnya. “Tidak dingin lagi. Tak apa. Ayah, ibu, dan adik ke mana?”
“Ke luar kota.”
“Kau tak ikut?”
“Aku tak suka ke mana-mana”
“Boleh aku singgah? Barangkali sampai besok”
“Boleh”
“...”
“Kau bawa tenda? Ontelmu masukkan, teras cukup untuk menampung tendamu”
“Rusak.”
“Adikku punya. Baru beli, belum dipakai. Aku ambilkan.”
“Perlu dipertanyakan?”
“Masih hapal kalau orang rumah tak minum air es, kan?”
“...”
“Kalau mau kopi, gas kompor sedang habis.”
“Kau tak perlu penuhi permintaanku”
“Aku memberikan apa yang kupunyai. Tamu adalah raja.”
“Aku cuma singgah.”
“Sudah kau katakan tadi.”
“Air putih saja. Sudah dingin dengan sikapmu.”
“Mandilah, aku tak suka bau keringatmu.”
“Sementara aku mandi, jangan biarkan es mencair.”
Lalu ia tersenyum. Tapi aku ingat, kalau kau memesan agar tak membiarkan es mencair. Maka kupilih masuk kamar. Menghindari pertanyaan-pertanyaan tidak penting yang membuat ruang tamu mendadak dapat beruah menjadi musim semi.
Lima belas menit. Kukira sudah cukup waktunya kusuguhkan air putih pesanannya.
“Air putih. Kau tahu sendiri bagaimana cara menjaga es tak mudah mencair. Bantulah aku.”
“Kucoba,” jawabnya sambil sibuk menata barang-barangmu tanpa menemui bola mataku yang mengekor mengikuti geraknya.
“Aku berbohong tentang belantara,” ujarnya sambil menempatkan diri untuk duduk. Dapat kurasakan bagaimana ketakutan menghampiri dirinya jika nanti aku tak dapat memberikan maaf. Padahal yang kutakutkan adalah ketika ia tak bisa memaafkan dirinyasendiri. Dengan menunduk, ia melanjutkan kalimatnya, “Aku tak pernah menaklukkan satupun belantara.”
Ia menarik napas panjang, kemudian melanjutkan, “Ternyata selama ini aku selalu terjebak di belantara yang sama. Tiap kali aku masuk,ternyata aku hanya mengitaro tepiannya saja. Jantung belantara amat mudah berpindah tanpa pengumuman.”
Matanya mendadak menyorot mataku. Dalam. “Pulang, aku tak pernah mengenalmu,”
Es mencair. “Singgahlah, jika aku enggan kau kenali. Aku bukan belantara. Pengelana tak mengenal pulang.”
Ia menenggak air putihnya. “Tidak dingin lagi. Tak apa. Ayah, ibu, dan adik ke mana?”
“Ke luar kota.”
“Kau tak ikut?”
“Aku tak suka ke mana-mana”
“Boleh aku singgah? Barangkali sampai besok”
“Boleh”
“...”
“Kau bawa tenda? Ontelmu masukkan, teras cukup untuk menampung tendamu”
“Rusak.”
“Adikku punya. Baru beli, belum dipakai. Aku ambilkan.”
No comments:
Post a Comment