I’ve lost my muse. I can’t write. Is it a writer’s block? Oh, I am not a writer.
Seminggu belakangan, saya tidak bersama Galang. Kamu boleh gembira atau bahagia. Harusnya saya pun. Tapi ternyata, tidak bersama Galang membuat saya tak bisa menulis. He is my muse, my sanity. Narasi yang biasanya mengalir begitu lancarnya di kepala tiba-tiba tersumbat. Diksi-diksi yang biasanya hadir bak kejutan ketika menulis tiba-tiba tak bisa dihubungi. Imaji dan diskripsi yang biasanya saling kejar berdua tiba-tiba bersembunyi entah di mana.
Kamu boleh protes, “Nah, bukankah kamu sedang menulis?” Iya, saya sedang menulis untuk menyampaikan pesan kepadamu. Butuh waktu setidaknya setengah jam untuk menulis satu paragraf di atas.
Saya sedang menulis cerpen. Storyline, karakter, dan plot; semuanya sudah diracik. Tapi saya tak bisa menyelesaikannya. Alih-alih menyelesaikan, menemukan cara untuk memulai saja tak bisa. Cerpen saya sebelumnya yang berjudul Kelanai Juni begitu amat mudah dikerjakan. Saya ingat betul, saya menyelesaikan cerpen tersebut di McD, sendiri, sampai jam tiga pagi. Seperti orang kerasukan: tangan saya tak berhenti menekan tuts keyboard, sambil neleng, dan ngomong sendiri.
Perlu diakui, muse Kelanai Juni bukanlah Galang Adyatarna. Tapi tentu saja dalam peracikannya, diperlukan Acidum Metaforicum yang cukup banyak untuk menyembunyikan kesan lugas dan denotasi.
Mungkinkah saya sedang kehilangan diri saya sendiri? Sebab tiba-tiba saja menari menjadi kegiatan yang tidak begitu menyenangkan, tak seperti sebelum-sebelumnya.
Ah, kalau berbicara tentang kehilangan diri sendiri, sepertinya terlalu jauh dan rumit. Barangkali saya sedang berada di satu fase yang belum saya namai. Karena memaafkan diri sendiri cenderung lebih susah, maka secara tak sadar saya memiilih untuk untuk menyalahkan ketidakhadiran Galang Adyatarna daripada harus menyalahkan diri sendiri.
No comments:
Post a Comment