Dulu, dulu sekali, aku memang petarung dan penantang sejati yang bodoh. Aku pernah menempuh 12 jam perjalanan darat-laut sendiri hanya untuk bertemu dengan seseorang. Tapi malah mendapat sebuah kepastian yang baru aku sadari hari ini.
Singkat cerita, setelah aku membereskan urusanku dan ia dengan urusannya, kami memutuskan bertemu dan berkeliling kota. Dibakar panas kota Denpasar, tak kunjung jua kami sampai di satu tempat.
"Ini kita mau ke mana, sih, Mas?" tanyaku dari jok belakang. Bingung dengan jalanan asing yang sepertinya sudah dilewati dua hingga tiga kali.
"Gatau, nyasar aja dulu," jawabnya ringan.
Kala itu aku hanya mengiyakan. Apalagi ditambah dengan celotehnya tentang betapa indahnya berkeliling kota tanpa tujuan.
Entah aku yang naif, atau memang kami berdua masih sama-sama remaja 20an, kami menikmati berjalan tanpa tujuan dan aku tak menangkap sebuah kepastian yang tersirat dari pertanyaan tersebut.
Tahun-tahun berlalu, dua-tiga manusia tukar temu. Aku terobsesi dengan perjalanan-perjalanan tanpa tujuan. Dalam satu-dua cerita, aku menggubah namaku menjadi nama kota yang tak menjanjikan pulang. Aku bakar waktu dengan keentahan.
Hari ini, delapan tahun kemudian, keberanian itu masih ada. Aku datangi kota-kota orang. Aku bertarung dengan rasa asing. Aku tantang perjalanan. Aku tebas waktu. Aku bunuh Kelana-Kelana tanpa tuju.
No comments:
Post a Comment