Friday, October 8, 2021

Lima Pertemuan dengan Gunawan Maryanto

"Gunawan Maryanto meninggal, kata Diah."

Sebuah pesan singkat masuk di WhatsApp dari mbak Nabila malam (05/10) kemarin. Aku tentu tercengang. Bingung dan tidak percaya campur jadi satu. Aku hanya mampu membalas dengan emoji patah hati. Lalu tangan menelusur ke sosial media orang-orang terdekat Gunawan Maryanto untuk mencari kebenaran kabar. Belum ada tersiar kabar. Tapi betul, hatiku sungguh patah.

Aku menelusur kolom pencarian di Twitter: Gunawan Maryanto. Memang benar adanya, mas Cindhil telah berpulang. Aku menangis. Hatiku patah tak keruan. Aku kembali mengingat memoar-memoar bagaimana karyanya dan aku bertemu.

Pertemuan pertama kami adalah di dalam bioskop. Aku melihat ia memerankan Widji Thukul di film Istirahatlah Kata-Kata. Ia juga memperkenalkan aku dengan sosok Widji Thukul lewat keaktorannya yang ciamik. Aku ingat, aku sempat menangis di bioskop karena melihat keindahan film tersebut. Pada hari itu aku berjanji untuk melihat karya-karya Gunawan Maryanto dan sutradaranya, Anggi Noen.

source: catchplay

Pertemuan kedua kami ada di toko buku, di sebuah buku puisi. Aku membaca puisi-puisinya. Senyum tersungging. Aku suka dengan cara bertutur dan berpikirnya. Namun sayang, aku tak bisa menebus buku puisinya karena satu-dua lain hal (aku lupa).

Pertemuan ketiga kami adalah ketika aku menonton film Mencari Hilal di layanan streaming, Hooq, Mei 2018 lalu. Ia menjadi salah seorang warga sekitar.

Juli 2018, aku hampir saja bertemu dengannya di Folk Musik Festival. Tapi sayang gak jadi berangkat karena aku tidak memenuhi janjiku sendiri bulan itu: sidang. 


 
Menengok lebih ke belakang lagi, tahun 2015 silam, aku pernah sowan ke Teater Garasi untuk ngambil backdrop putih menemani seorang teman dari Teater Gadjah Mada. Backdrop itu nantinya akan digunakan pentas teman-teman Pappermoon Puppet Theatre. Pappermoon Puppet Theater adalah pertunjukan boneka yang aku temui di internet. Aku pernah membayangkan menonton pertunjukan Papermoon Puppet, kemudian main sebentar ke Teater Garasi. Ternyata, tak disangka, ternyata kedua tempat tersebut jaraknya tidak jauh.

Pertemuan keempat kami lagi-lagi terjadi di bioskop, tepatnya ketika pemutaran film Nyai. Aku begitu girang ketika Gunawan Maryanto mengisi peran di situ. Lagi-lagi, ia mampu mencuri perhatian. Ia memerankan seorang abdi. 

source: IMDb

Begitu tahu Anggi Noen menelurkan film lagi bersama Gunawan Maryanto, aku adalah salah satu orang yang paling ingin menikmatinya. Film itu berjudul The Science of Fiction, atau dalam bahasa Indonesianya adalah Hiruk-Pikuk sang Al-Kisah. Belum lagi isu yang diangkat sangat menarik dan berkaitan erat dengan naskah teaterku yang sudah tujuh tahun ini menjadi magak-karya.

Film tersebut sempat diputar di JAFF 2019. Aku sempat ke JAFF, tapi aku tidak sempat menyaksikan film tersebut. Aku sempat lega dan senang ketika ada pengumuman bahwa TSoF akan tayang tahun 2020 di bioskop-bioskop reguler. Namun sayang, beberapa pemutaran film banyak yang tertunda karena pandemi.

Begitu tahu TSoF ditayangkan di salah satu bioskop Malang, tanpa pikir panjang aku langsung merencanakan untuk ke sana dan nonton. Sekaligus menikmati short escape.

Pertemuan ke lima kami lagi-lagi di bioskop, ketika aku menonton The Science of Fiction. Ketika menontin film TSoF, aku merinding dan menangis. Aku juga sering misuh-misuh karena melihat keaktoran Gunawan Maryanto yang luar biasa. 

Tubuh adalah modal utama seorang aktor. Ia memiliki kemampuan yang luar biasa dalam mengendalikan tubuh. Aku sempat menangis melihatnya tablo sambil membawa beban yang tampak berat. Aku tak menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana ia bisa dengan penuh mengendalikan tubuhnya. 

Aku pikir aku akan diberi kesempatan untuk ke Yogya dan melihatnya pentas, atau bertemu saja dengannya secara langsung, mengobrol basa basi dengannya, lalu berfoto. Aku pikir aku bisa bertemu dengannya kembali di bioskop lewat film-film yang dimainkannya. Aku pikir aku bisa meguru tentang keteateran, mengobrol sampai pagi, mendengar sudut pandangnya terhadap dunia. Tapi ternyata tidak.

Lima pertemuan kami memang tak pernah secara langsung. Tapi aku seperti merasakan kedekatan dengannya karena ada bidang-bidang seni yang beririsan. Mengutip kata Intan Paramaditha: 

Ia salah satu dari sedikit seniman yang bekerja secara konsisten melintasi sekat-sekat disiplin: sastra, teater, film.

Sastra, teater, dan film. Tiga bidang seni yang juga aku minati.

Sampai sekarang, sampai tulisan ini ditulis, hatiku masih patah. Aku masih menitikkan air mata ketika Melihat orang-orang masih mengenang Gunawan Maryanto lewat tulisan, postingan, atau apapun itu. Aku, yang cuma menikmati dan mengagumi karya-karyanya saja, amat sangat merasakan kehilangan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan orang-orang yang pernah mengenal, berkarya, dan bekerja bersama.

Selamat pulang, Mas Cindhil. Sampai jumpa nanti, di kehidupan yang abadi. Terima kasih atas karya-karyamu.

1 comment: