Hanya warna biru dongker dan merah marun yang dipilih. Dari atas kasur, aku hanya dibiarkan diam menyaksikannya mengepak baju.
Ia hendak pergi. Ia tak kuasa menahan rindu yang menggerogoti batinnya selama seminggu belakangan. Berkali-kali ia bergantian menyeka air mata dan mengepalkan tangannya. Ia nampak tergesa ingin segera bertemu dengan kekasihnya.
Oh, jelas aku tahu itu semua. Aku yang mengusap air matanya tiap malam. Aku yang dipeluknya tiap malam ketika ia tak sanggup menghentikan derau tangisnya. Aku yang selalu menemaninya tidur dengan tenang. Aku yang mendengarkan keluh kesah hariannya.
Sedangkan kekasihnya? Apa fungsi kekasihnya? Menanyakan kabar? Memberi selamat pagi dan malam? Ah, tak perlu bertanya kabar, aku sudah tahu bagaimana raut mukanya ketika memasuki kamar. Pesan-pesan yang dikirimkan ke kekasihnya itu palsu.
Lalu kini, ketika ia tak sanggup membendung rindunya, ia siapkan baju-baju dengan warna favorit kekasihnya. Ia ingin menyenangkan hati kekasihnya dengan baju-baju itu.
Setelah semua baju masuk ke dalam tas ranselnya, ia pergi. Tak pamit.
Aku cemburu. Tapi aku tak bisa beranjak dari atas ranjang dan menahannya untuk tidak pergi. Kini aku harus melewati tiga malam panjang tanpa kehadiran tubuhnya di ruang kos bersama bantal dan kasur.
No comments:
Post a Comment