Friday, September 1, 2017

Perkara Dua Pihak

Suatu hari aku bertanya kepada bapak bagaimana cara membuat rumah dengan pondasi yang kuat, tembok yang kokoh, dan atap tangguh. Bapak bercerita semuanya. Dari cara memilih semen; teori perbandingan antara semen, pasir, dan air; unsur estetik interior dan eksterior; ventilasi udara; cara menghitung batu-bata; memilih jendela; sampai cara memilih tukang yang tepat.

Setelah mengumpulkan kebutuhan untuk pulang yang cukup, kubuat rumah sesuai instruksi bapak. Kubangun dengan caraku sendiri. 

Suatu pagi di bulan Januari yang cerah, seseorang mengetuk pintu. Aku tak begitu mengingat wajahnya. Yang kuingat hanyalah percakapan kami.

Kutanyakan, "Ya, ada apa?" 

Ia menjawab, "Aku telah lelah berkelana. Aku ingin pulang kepadamu."

Samar-samar kukerutkan keningku. Kutanya lagi, "Mana rumahmu?"

"Tak punya," katanya.

Kutarik napas dalam-dalam sambil masih mengerutkan keningku. Sambil menahan amarah tak terima yang tercekat di kerongkongan, kutanyakan lagi pertanyaan terakhir, "kalau kau tak punya rumah, lalu ke mana aku harus pulang nantinya? Ke mana biasa kau pulang sebelum-sebelumnya?" 

"Kita akan pulang ke sini juga. Sebelumnya aku biasa pulang ke pelukan ibuku."

Dengan amarah yang masih kutahan, kuminta ia untuk kembali lagi esok.

Selepas kepergiannya, kutelepon bapak. "Pak, sepertinya aku butuh pagar. Juga belantara dan segara di depan rumahku."

"Untuk apa, Nak?"

"Untuk menghalau pria yang semena-mena minta pulang kepadaku. Aku bukan ibunya tempat merengek."

"Jangan terlalu keras, Nak."

"Aku juga telah berkelana, Pak. Meski sejatinya aku tak ke mana-mana. Seenak jidat saja ingin pulang kepadaku." Bapak diam. Aku melanjutkan cerita, "Bagiku pulang itu perkara dua pihak, Pak. Entah punya tujuan atau tidak, dirasakannya berdua."

Seperti itulah.

No comments:

Post a Comment