Sudah hampir setengah jam kursor pada layar kupandangi. Dia berkedip dua sampai tiga kali lebih cepat dari mataku. Barangkali sudah tiga atau empat gelas air putih telah kutenggak. Apalagi ketukan telunjukku kepada meja; tak terhitung berapa kecepatannya. Entah tak terhitung berapa kali aku menghapus kata yang kurasa tak perlu diutarakan.
Otakku tak menemukan perumpamaan yang tepat untuk mengutarakan jalan pikirnya. Katanya tak seperti maze. Tapi dia sendiri yang tak mengerti bagaimana dia akan menyampaikan apa maksdunya.
Sudah 24,5 tahun lebih dua hari aku hidup dengan dia. Dengan otak berantakan ini. Barangkali dia hanya menurut jika dihadapkan oleh soal matematika atau dengan kata-kata. Itulah mengapa aku sering menolak jatuh cinta karena tak jelas bagaimana algoritmanya; yang tak aku mengerti pola paling sederhananya.
Bayangkan saja; ketika badan sudah lelah hendak beristirahat, otakku mengajukan pernyataan tentang wafer introver dan ekstrover. Wafer yang dibungkus satu-satu dan dibungkus dalam kaleng dengan teman-temannya. Dia juga menanyakan, “Pabrik memproduksi wafer introver dulu atau wafer ekstrover dulu?”
Mau tak mau jemariku harus mengutarakannya ke notes dalam ponsel pintarku. Agar si otak tak menuntut banyak pertanyaan dan membuat pernyataan yang tak jelas ke mana juntrungannya.
Kurasa yang kubutuhkan saat ini adalah sepasang mata yang terlihat seperti ingin meniadakan nyawa orang; atau sebuah punggung yang nampak seperti pameran lukisan pemandangan dengan bukit-bukit yang landai; atau jemari yang tak hanya digunakan untuk bermain senar layangan.
Agar aku tak perlu lagi tiba-tiba mencuci lima celana jeans yang sudah delapan minggu bertengger di gantungan baju; agar aku tak perlu lagi tiba-tiba ke luar rumah membeli selotip kertas ke toko ATK terdekat berjalan kaki; agar aku tak perlu mengendarai sepeda motor ke taman kota hanya untuk merasakan berpindah tempat.
Sebenarnya aku hanya ingin menanyakan suatu hal padamu. Bagaimana jika engkau memiliki kemampuan untuk membuatku merasakan pulang tanpa aku menuntut untuk berkelana lebih dahulu? Bagaimana jika engkau memiliki kemampuan untuk menyederhanakan kerumitan berpikirku?
Aku tak bisa melakukan apa-apa selain menyerah.
No comments:
Post a Comment