Bentuk kalimat di atas adalah salah satu contoh jajanan yang selalu aku kunyah selama bertahun-tahun. Jajan lainnya memiliki bentuk yang berbeda tapi rasanya sama: nylekit. Aku masih ingat betul kek mana bentuk kalimat-kalimat lainnya. Kurang lebih seperti ini:
“Mbok ya manut gitu lho jadi cewek.”
“Jangan terlalu mandiri, sekali-kali minta tolong ke gebetan.”
“Makanya, ta, Jun, jangan terlalu pintar. Cowok jadi minder, kan.”
“Coba deh dipikir, masa iya cowok kayak dia suka ama cara berpakaianmu yang kek gitu.”
Aku tak perlu menyebutkan konteks pembicaraan di atas. Kalau saja aku punya keberanian yang cukup, aku akan menjawab,
“Who hurt you?”
Sayangnya, aku hanya bisa diam, menahan amarah, lalu menangis di belakang mereka.
Aku sering mendengar komentar-komentar dari teman tentang mengubah diri sendiri untuk menarik lawan jenis(ya, aku berbicara perkara heteronormatif karena kupikir permasalah non-binary, ekspresi gender, dan hal-hal non-heteronormatif lainnya masih terlalu jauh untuk aku bicarakan—dan mereka tangkap). Aku pernah mengubahnya. Aku pernah mengubah diriku untuk menarik lawan jenis. Tahu apa yang terjadi? Pasangan tetap saja tidak kudapatkan dan aku kelelahan karena kehilangan diri sendiri.
Aku senang mengevaluasi diri. Aku senang mendengar masukan-masukan tentang diri. Aku akan mengubah diri menjadi manusia yang lebih baik, yang tidak menyakiti manusia lainnya. Tapi tentu saja tidak untuk meminta lawan jenis agar tertarik denganku.
Aku akan menjadi manusia yang manut kalau aku tidak tahu apa-apa dan argumen lawan bicaraku adalah benar. Aku akan merendahkan hati untuk meminta tolong jika aku menghadapi sesuatu di luar kemampuanku. Aku akan menjadi bodoh ketika aku sedang belajar agar aku bisa menyerap banyak ilmu. Aku akan mengubah cara berpakaianku jika pakaianku tidak sesuai dengan kondisi dan acara.
Aku bingung, kenapa perempuan harus mengubah hal-hal yang dimilikinya untuk memenuhi ego dan ekspektasi lawan jenis agar perempuan bisa ‘dipilih’ oleh lawan jenis?
Selama ini kita selalu dicekoki tentang perempuan di dalam media yang sering dinarasikan lemah lembut, cantik luar dalam, bertutur halus, penurut, berambut panjang, berkulit putih, dan lain-lain. Kini, standar kecantikan bergeser. Media sosial dan brand-brand kecantikan berlomba-lomba untuk menciptakan narasi baru soal kecantikan. Bahwa cantik tak harus berkulit putih, berambut hitam legam panjang, atau memiliki warna kulit rata nan halus tak berpori.
Kalau kita setuju bahwa perempuan memiliki definisi cantiknya masing-masing, harusnya kita juga bisa belajar setuju bahwa perempuan bisa menarik dengan caranya masing-masing.
Aku bahagia dengan diri sendiri. Aku bahagia dan senang karena aku adalah perempuan yang ngeyelan, keras kepala, mandiri, dan ambisius. Sifat ini akan terus aku pertahankan. Karena inilah caraku untuk bisa jujur dengan diri sendiri. Menurutku, sifat-sifat yang aku miliki ini membuat laki-laki yang suka berkuasa atas perempuan dah auto terseleksi oleh alam. Aku bersyukur karena aku tak perlu menghabiskan tenaga untuk melakukan screening ke laki-laki seperti itu.
Satu lagi: aku yakin, laki-laki yang menjadi ‘target pasar’-ku adalah laki-laki yang suka ama perempuan yang bisa diajak mikir dan bekerja sama agar nantinya kami bisa berjalan bersama.
Sori dori mori nih ye aku gak sesuai ekspektasi. Yaelah, apa sih yang diekspektasikan dari seseorang yang namanya Juni tapi lahirnya Maret?
No comments:
Post a Comment