Tuesday, September 2, 2025

Bertarak

Selama bertahun-tahun aku telah membohongi diriku untuk merasakan bagaimana rasa makanan yang ingin aku rasakan dan kunyah. Aku perbuat ini kepadaku karena kala itu ingin juga merasakan apa yang orang lain rasakan, namun aku tiada punyai seorang lain untuk bertukar rasa. Maka aku buat sendiri seorang lain itu di kepala agar aku dapat pura pura tahu juga bagaimana rasanya. Ah, aku sungguh lihai membohongi diriku sendiri.

Aku pernah berhadapan dengan seseorang lain di atas meja makan. Barangkali dua hingga tiga orang dalam lima belas tahun belakang. Kami pernah bertukar cerita, berkelana ke masing-masing ruang waktu yang dituturkan. Aku selalu memakan setengah porsi makanan yang tersaji di depan mata dan menikmatinya. Namun piringnya selalu kosong. Hanya aku yang merasakan nikmat makanan yang tersaji.

Sudah kulakukan itu semua dan aku masih memandang pahit pada orang-orang yang makanannya aku inginkan itu.

Barangkali aku harus mengaku dengan jujur bahwa aku juga ingin merasakan makanan yang sama bersama seorang yang lain. Aku harus mengakui rasa kosong dan mengakuinya dengan baik dan jujur. Aku harus mengikuti ke mana perutku hendak mengarah. Aku lapar, tapi aku harus bertarak.

Aku wartakan ke banyak kawanku bahwa aku lapar. Barangkali itu dapat membantuku untuk bisa menerima rasa lapar dan kuat bertarak hingga dapat kutemukan makanan yang ingin kurasakan itu. Tapi semua orang rasanya seperti mendesakku untuk bergegas. Sedangkan aku tiada pernah merasa terburu untuk ke satu titik tuju. Tiada pernah terpikir olehku kalau semua makanan bisa dimakan atau diperuntukkan untuk aku makan. Bisa saja makanan tersebut hanya untuk aku pandang, aku hirup aromanya saja, atau hanya mengenal namanya. Aku tidak serakus itu. Aku lapar dan perutku kosong, tapi bukan berarti aku memakan semua makanan yang ada.

Memiliki kawan sebanyak ikan di laut juga tak dapat mengisi rasa kosong itu. Kawan yang cukup dekat pun tak selalu dapat mengisi rasa lapar meski mereka sering mencurahkan hati dan waktunya untuk memasakkan hidangan lezat untukku. Tapi bukan itu yang aku mau. Selain itu, kawan-kawanku bisa saja pergi mengurus hidupnya yang lebih penting daripada aku. Aku tentu saja tiada bisa mencegahnya. Maka itu aku selalu melihat kawan dekat sebagai ancaman; seorang yang akan pergi meninggalkanku untuk mengurus hidupnya. 

Sempat aku berpikir barangkali Tuhan tidak menuliskan namaku dan sebuah nama lain untuk ada di satu halaman yang sama dan sama sama dapat berbagi makanan di atas meja bersama. Sempat juga aku berpikir barangkali Tuhan mengutukku karena satu-dua dosa yang telah kuperbuat. Tapi aku percaya Tuhan tidak sejahat itu untuk mengecualikanku mendapatkan kasih sebab Ia Mahakasih dan Mahacinta.

Rasa-rasanya hidup makin rumit dan sulit. Keinginan untuk bisa senang merasakan dan merayakan makanan di atas meja bersama seseorang makin meningkat. Itulah sebabnya aku sering ketakutan mendaki tangga hidup. Banyak orang bilang bahwa di atas sana rasanya sepi dan kosong. Ah, untuk apa aku menaiki tangga hidup jika di tempatku berdiri sekarang ini saja rasanya sepi dan kosong. Tiada yang bisa diajak makan di atas meja makan yang sama dan bertukar cerita. 

Bertarak tidaklah mudah; setidaknya tidak semudah membuat seorang di kepala agar aku dapat membuat tipuan rasa untukku sendiri.

Barangkali bertarak akan lebih mudah jika aku tiada pernah tahu bagaimana rasanya mengisi perut dengan percakapan, pertukaran pikiran, saling berkelana ke ruang waktu masing-masing —meski hanya aku saja yang menghabiskan setengah piring makanan yang disajikan di depan kami. Aku tiada pernah ingin bergegas segera melahap makanan apapun yang ada di depan mata, tapi aku juga tiada lagi bisa lebih lama membohongi diriku sendiri.