Saturday, July 6, 2024

Surat Cinta

Kalau aku diberi pilihan terlahir menjadi siapa, aku akan tetap memilihmu. Aku akan tetap memilih hidup kita.

Kamu punya mata yang indah. Bulu matamu yang lebat itu membingkai indah matamu yang cemerlang. Alismu pun juga lebat—meski hanya bagian depannya saja. Aku suka hasil dari alis yang kamu rapikan sendiri.

Mata itu cocok dengan senyummu yang menawan—cerita cinta masih akan datang, kata Sinikini. Ah, kamu menangis pun tidak mengurangi estetika keindahan sorot matamu.

Aku suka hidungmu. Besaarrr. Daya pikat yang sering tak kamu sadari pada lawan jenis. Eit, bukan besar, deng. Lebar dan pesek. Kalau pakai kacamata suka melorot.

Jangan lupa, kamu juga punya rambut hitam lebat yang indah. Cuma ini standar kecantikan yang kamu punya. Jaga baik-baik karena mukamu jerawatan dan warna kulitmu belang. Tapi aku tak masalah dengan kekurangan ini. Toh kamu punya mata, senyum, dan rambut yang indah.

Kita belum bisa beli sepatu baru untuk jalan terjal di depan dan tas baru untuk membawa beban-beban baru. Untuk itu lah, Tuhan beri kamu betis yang besar dan pundak yang bidang. Banggakanlah!! Sebab betismu membuatmu berdikari, pundakmu membuatmu kuat sendiri.

Selain hal-hal yang bisa dilihat, aku juga suka pada hal-hal yang tak mudah orang lihat: hati dan isi kepalamu.

Kita sering protes kepada dunia mengapa kita diberi hati yang mudah berempati, sedangkan kau belum temui manusia yang bisa berempati pada hidup kita. Namun pelan-pelan kau sadari, barangkali ini jalan ninja yang harus dihadapi agar kau punya ketangguhan diri.

Soal isi kepalamu...sampai hari ini pun aku belum paham betul; bagaimana mungkin kekeuh dengan kau punya caramu sendiri dalam hadapi hidup?? Tak kau indahkan petuah dari kanan dan kiri. Maumu keras seperti batu.

Kita pun sering tak habis pikir; dari mana ide-ide cara pemecahan masalah hidup yang keluar dari kepalamu?? Bahkan kamu bisa memilah dan memilih cara yang benar dan cara yang salah. Dari hanya membaca dan belajar menulis fiksi?? Aneh.

Kamu juga menciptakan tokoh imajinasi yang sangat kompleks dan bisa membuatmu berjalan sejauh ini.

Belum lagi kemampuanmu untuk melihat diri sendiri dari sudut pandang ketiga. Kamu memanggil dirimu dengan sebutan 'dia' agar kamu bisa berempati dan obyektif dengan diri sendiri.

Ada di buku panduan mana itu?

Tulisan ini pun kamu buat karena kamu sedang haus afeksi, butuh afirmasi, kantong cintamu butuh diisi, dan kamu merasa bertanggung jawab dengan dirimu sendiri. 

Lalu kamu berkaca dan menulis tulisan di atas untuk dibaca.

Dasar, punya kepala kok ngeyel & ngayal.

Jadi, dengan segala kecanggihan dan kehebatan yang ada pada diri ini, aku hendak sampaikan:

Tiada mengapa tak hari ini. Bisa lain hari.

Mari, 

Kita usahakan hal yang diingin dan di angan itu.

Monday, March 25, 2024

Ide dan Sinikini

Setahun yang lalu, aku pulang dari psikolog dengan sebuah PR besar: sinikini. Bukan, bukan menjadi band favoritku yang hanya punya satu album itu. Tapi menjadi di sini, kini. Hari ini aku bertemu dengan sebuah pemikiran agar aku bisa lebih banyak melatih sinikini. Aku memisah diriku menjadi tiga subyek yang berbeda:

Aku, di sini, kini.
Dia, di sana, kemarin.
Siapa, di mana, entah kapan.

Ini semua bermula karena aku merasa aku lebih bisa menghargai teman-temanku daripada diriku sendiri. Aku selalu melihat teman-temanku dengan positif: pekerja keras, baik hati, logis, mudah memaafkan, dll. Akhirnya aku mencoba memandang diri sendiri dari sudut pandang ketiga.

Aku mengenalnya sejak kecil. Sejak dia tidak tahu apa-apa tentang kehidupan. Aku melihatnya berpikir, melakukan banyak hal, dan segala pertumbuhan yang terjadi pada dirinya. Dia orang yang gigih. Dia usahakan hal-hal yang ia ingin dapatkan. Pun sekarang masih belum banyak yang dia ketahui, dia tak henti-hentinya belajar.

Aku lebih bisa melihat diri sendiri secara obyektif ketika aku memisahkan diri sendiri menjadi dua: aku dan dia. Cara ini pernah dicoba oleh salah seoang teman. Selain bisa melihat diri sendiri secara obyektif, dia juga mengaku bisa lebih banyak menghargai dirinya sendiri.

Selain sinikini, satu PR besar dari psikologku adalah menurunkan ekspektasi. Dalam perjalanan menurunkan ekspektasi, aku mencari definisi tentang ekspektasi yang terjadi di dalam diriku. Lalu aku menemukan diriku sangat lihai dalam berpikir dan beride. 

Ide adalah hasil kerja otak. Apa yang terjadi di otak adalah ide. Aku sering mengalami jatuh cinta dengan ide tentang seseorang(we falling in love with the idea of someone). Aku sering membayangkan seseorang tersebut di dalam kepalaku menjadi sebuah ide dan inspirasi untuk tulisan-tulisanku. 

Ekspektasi adalah bagian dari ide. Aku suka membayangkan hal-hal yang belum terjadi di masa depan sebagai ekspektasi yang indah. Kekecewaan selalu terjadi ketika kenyataan berlainan dengan ekspektasi.

Nostalgia juga bagian dari ide. Bedanya, nostalgia terjadi di masa lalu. Aku suka meromantisasi hal-hal yang sudah terjadi di masa lalu. Hal ini membuatku menjadi individu yang susah move on.

Ide dalam dimensi waktu

Ide–yang di dalamnya terdapat nostalgia dan memori–tidak benar-benar terjadi di depan mata. Semuanya tidak nyata. Semuanya hanya terjadi di dalam kepala. Apalagi aku suka sekali berpikir. Banyak pekerjaan-pekerjaan yang aku lakukan lebih banyak menggunakan kepala: analisa, mengonsep, merancang, memikirkan ide cerita, dll. Nostalgia dan ekspektasi membuat otakku berdaya karena otakku sedang bekerja. Tapi sayangnya hal ini yang membuatku kesulitan untuk sinikini. 

Aku sudah bisa memisahkan diriku sendiri menjadi dua subyek: aku dan dia. Aku juga memisahkan dua subyek ini dengan dua dimensi waktu dan tempat yang berbeda:

Aku, di sini, kini.
Dia, di sana, kemarin.

Aku adalah orang yang aku kenal sekarang. Dia adalah orang yang pernah aku kenal.

Agaknya ada yang kurang. Ada satu subyek yang belum aku temui. Siapa? Di mana? Kapan? Maka aku melengkapinya:

Siapa, di mana, entah kapan.

Untuk bertemu dengan siapa, aku harus terus berjalan. Aku tidak bisa terus-terusan bersama dia. Suatu hari kelak, aku akan menjadi dia, aku menjadi seseorang yang pernah aku tanyakan siapa, dan akan selalu ada siapa yang tak pernah habis.

Dia, aku, dan siapa pada kemarin, hari ini, dan entah kapan.

Inilah mengapa ke-aku-an tidak pernah habis. Aku akan terus menanyakan siapa aku?

Lihatlah, betapa aku suka berpikir seperti ini. Tulisan ini ditulis karena pemikiranku. Aku yakin konsep ini pernah dipaparkan oleh ahlinya. Alih-alih mencari literatur atau artikel, aku mengonsepkan sendiri apa yang terjadi di dalam pikiranku.

Aku sendiri memahami bahwa kerja otakku sering berlebihan. Aku lebih suka berpikir daripada eksekusi. Aku harus bisa mengendalikannya dan melampiaskan ke hal-hal yang tidak melukaiku atau orang lain.

Ketika overthink, aku membaginya dalam dua overthink: (1) overthink yang harus diladeni dan perlu diuraikan lewat menulis, dan (2) overthink yang tidak perlu. Untuk overthink yang tidak perlu, aku percaya kalau otakku sedang butuh kerjaan. Aku biasanya menggunakannya untuk bermain TTS, mengerjakan soal, atau meriset tulisan.

Belakangan, ketika aku mulai beride dan berekspektasi tentang seseorang, aku memberi otakku pekerjaan dengan mengonsep cerita atau memikirkan jalan cerita. Ketika aku mulai mengungkit masa lalu yang seharusnya nggak diungkit, aku mengajak kepalaku untuk mempelajari sejarah.

*

Pekerjaan-pekerjaanku yang lebih banyak menggunakan kepala ini membuatku ingin lebih banyak menganggarkan uangku untuk pergi ke psikolog.

Saturday, February 24, 2024

Mari Kita Pergi Saja

Kita sama-sama sedang menanggung duka dan kesukaran hidup yang telah lama membebani bahu. Aku memang tiada banyak tahu seberapa berat duka yang engkau tanggung. Tapi, dari raut sayu matamu, telah dapat kubaca bahwa kau telah menahan keluh yang begitu lama.

Kalaulah bisa bebanmu kau bagi denganku, aku mau membawanya. Tiada mengapa jika aku harus membawa beban berlipat ganda. Asal kau dapat bernapas lega. Tapi sayang beban nasib selalu menempel pada tubuh masing-masing kita. Bebanmu tetap menempel padamu, dan beban hidupku pun.

Kau sering berujar bahwa kau ingin pergi saja. Jika kau pergi, aku mau ikut serta. Aku juga ingin pergi. Atau kau saja yang ikut pergi bersamaku.

Jika kau pergi bersamaku, aku akan mengajakmu ke tempat yang orang lain tiada akan pernah tahu. Tiada orang lain yang akan mau mengekor. Kita buat sendiri dunia yang tiada miliki kesukaran itu. Barangkali jika kita bisa meniadakan hukum grafitasi, mari kita tiadakan saja. Agar beban yang selalu kau bawa itu terasa lebih ringan.

Di sana, hanya akan aku dan engkau. Kita akan buat dunia yang tidak bisa melukai kita dan apa-apa yang kita inginkan bisa di depan mata. Aku tak bisa janji kau bisa menghapus duka itu. Tapi kita bisa sama-sama saling bergurau melupakan waktu sampai mata kita berair. Kurasa itu sama saja dengan air mata.

Namun, kalau kalau kau tak bisa tertawa juga, barangkali kita memang harus menangis saja. Nanti akan aku buat peraturan bahwa air mata adalah alat tukar yang paling berharga. Semakin banyak air mata yang dikumpulkan, maka akan semakin ringan langkah kaki.

Jika memang kita harus menangis selama tiga hari tiga malam untuk meringankan langkah kaki selama sehari, aku mau menangis bersamamu sepanjang tahun untuk meringankan kakimu selama empat bulan. Kalau aku bisa memberikan keringanan langkahku untukmu saja, akan kuberikan. Biarlah aku menangis sepanjang tahun, menggantikan dukamu, agar langkah kakimu terasa ringan lebih lama.

Tak perlu kau risaukan aku. Hatiku akan ringan jika melihat langkah kakimu ringan. Kalau kau bersikeras tak mau menerima upah air mataku, tak apa. Aku pakai sendiri. Tapi izinkan aku menemanimu menangis selama yang kau ingin. Meski duka tak bisa dibagi dua, aku mau ikut merasakan dukamu yang memberatkan itu.

Maka, mari kita pergi saja ke tempat itu. Mari kita menangis saja. Mari kita rasai duka berdua. Mari kita kumpulkan liter-liter air mata.