Kalau aku diberi pilihan terlahir menjadi siapa, aku akan tetap memilihmu. Aku akan tetap memilih hidup kita.
Kamu punya mata yang indah. Bulu matamu yang lebat itu membingkai indah matamu yang cemerlang. Alismu pun juga lebat—meski hanya bagian depannya saja. Aku suka hasil dari alis yang kamu rapikan sendiri.
Mata itu cocok dengan senyummu yang menawan—cerita cinta masih akan datang, kata Sinikini. Ah, kamu menangis pun tidak mengurangi estetika keindahan sorot matamu.
Aku suka hidungmu. Besaarrr. Daya pikat yang sering tak kamu sadari pada lawan jenis. Eit, bukan besar, deng. Lebar dan pesek. Kalau pakai kacamata suka melorot.
Jangan lupa, kamu juga punya rambut hitam lebat yang indah. Cuma ini standar kecantikan yang kamu punya. Jaga baik-baik karena mukamu jerawatan dan warna kulitmu belang. Tapi aku tak masalah dengan kekurangan ini. Toh kamu punya mata, senyum, dan rambut yang indah.
Kita belum bisa beli sepatu baru untuk jalan terjal di depan dan tas baru untuk membawa beban-beban baru. Untuk itu lah, Tuhan beri kamu betis yang besar dan pundak yang bidang. Banggakanlah!! Sebab betismu membuatmu berdikari, pundakmu membuatmu kuat sendiri.
Selain hal-hal yang bisa dilihat, aku juga suka pada hal-hal yang tak mudah orang lihat: hati dan isi kepalamu.
Kita sering protes kepada dunia mengapa kita diberi hati yang mudah berempati, sedangkan kau belum temui manusia yang bisa berempati pada hidup kita. Namun pelan-pelan kau sadari, barangkali ini jalan ninja yang harus dihadapi agar kau punya ketangguhan diri.
Soal isi kepalamu...sampai hari ini pun aku belum paham betul; bagaimana mungkin kekeuh dengan kau punya caramu sendiri dalam hadapi hidup?? Tak kau indahkan petuah dari kanan dan kiri. Maumu keras seperti batu.
Kita pun sering tak habis pikir; dari mana ide-ide cara pemecahan masalah hidup yang keluar dari kepalamu?? Bahkan kamu bisa memilah dan memilih cara yang benar dan cara yang salah. Dari hanya membaca dan belajar menulis fiksi?? Aneh.
Kamu juga menciptakan tokoh imajinasi yang sangat kompleks dan bisa membuatmu berjalan sejauh ini.
Belum lagi kemampuanmu untuk melihat diri sendiri dari sudut pandang ketiga. Kamu memanggil dirimu dengan sebutan 'dia' agar kamu bisa berempati dan obyektif dengan diri sendiri.
Ada di buku panduan mana itu?
Tulisan ini pun kamu buat karena kamu sedang haus afeksi, butuh afirmasi, kantong cintamu butuh diisi, dan kamu merasa bertanggung jawab dengan dirimu sendiri.
Lalu kamu berkaca dan menulis tulisan di atas untuk dibaca.
Dasar, punya kepala kok ngeyel & ngayal.
Jadi, dengan segala kecanggihan dan kehebatan yang ada pada diri ini, aku hendak sampaikan:
Tiada mengapa tak hari ini. Bisa lain hari.
Mari,
Kita usahakan hal yang diingin dan di angan itu.