Ada jiwa masa kecil yang masih tertanam padaku. Menunggu. Entah sejak mulai kapan, menunggu adalah hal yang paling menyenangkan. Apalagi jika yang ditunggu memiliki kepastian datang.
Sejak kecil aku berkenalan dengan menunggu dari sepupuku. Tiap kali lebaran tiba, aku dan keluarga selalu hadir sehari sebelum hari raya. Sedangkan sepupuku selalu hadir pada hari kedua atau ketiga. Selama beberapa hari itu, temanku bermain hanyalah sepi. Sedang adikku selalu bermain ke sawah, sungai, dan hutan tanpa pernah mengajakku. Tapi aku ingat betul ada perasaan tidak sabar yang meletup-letup untuk bertemu dengan sepupu setahun sekali.
"Mas Ario kapan datang, Yah?" adalah pertanyaan yang selalu aku lontarkan kepada ayah karena hanya ayah yang memiliki kuasa menanyakan kepada kakaknya. Tak peduli seberapa lama aku menunggu sepupuku, ayah selalu merancang kepulangan lebih lama agar aku bisa bertemu dengan sepupuku.
Setelah dewasa, setelah kepentingan-kepentingan pribadi merenggut kami, setelah kebebasan-kebebasan pada pilihan menjadi keniscayaan, setelah memiliki ponsel pintar masing-masing, aku masih bertanya kepada ayah, "Mas Ario kapan datang, Yah?" Sampai suatu ketika ayah menjawabnya dengan, "Coba kamu tanya sendiri."
"Nggak tahu, El," begitu jawabnya setiap tahun. Kadang disertai dengan embel-embel alasan yang lebih jelas. Meski begitu, aku selalu menyisakan waktuku untuk menunggunya.
Lalu pada suatu pergantian hari, saat baju-baju telah masuk ke tas ransel bersiap untuk balik ke Surabaya, suara deru mobil hadir. Mas Ario datang. Aku memupuk kembali niat untuk langsung balik bergegas. Bisa agak siangan nanti jam 12an setelah mengobrol sekecap dua kecap dengan mas Ario.
Lalu pada suatu pergantian hari, saat baju-baju telah masuk ke tas ransel bersiap untuk balik ke Surabaya, suara deru mobil hadir. Mas Ario datang. Aku memupuk kembali niat untuk langsung balik bergegas. Bisa agak siangan nanti jam 12an setelah mengobrol sekecap dua kecap dengan mas Ario.
Namun ternyata Mas Ario datang dengan seorang perempuan. Sengaja tak aku ingat namanya. Siapa peduli? Gemuruh dendam telah aku tanam seiring tangannya menjabat tamanku. Ia merebut mas Arioku.
"Lho, pulang sekarang, El?" tanyanya
"Iya, harus mengurus berkas klien. Di sini sinyal susah," jawabku singkat. Aku lantas pamit, pergi, minta antar bapak ke terminal.
Setelah hari itu, pertemuan kami tak pernah lebih lama seperti biasanya. Tapi bodohnya, aku selalu menunggu. Meski Mas Ario selalu hadir setelah aku hadir dan pergi sebelum aku pergi.